Senin, 01 Juni 2020

MERANTAU (antara tradisi dan ambisi)

MERANTAU

September 2017, adalah awal mula saya menginjakkan kaki di kota Ternate. Kota yang semula hanyalah sekedar bahan ajar mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam yang biasanya saya terangkan di hadapan para santri Pondok Pesantren An Nahdlah Makassar. Awalnya hanyalah sebuah candaan dihadapan para santri, sayapun berkata kepada mereka “kayaknya kurang mantap menjelaskan sesuatu yang kita sendiri tidak pernah merasakan hal tersebut, apalagi jika berhubungan dengan sejarah, semestinya kita harus mendatangi tempatnya”. Jadi seharusnya kita harus datang dulu melihat lansung kota tersebut yang menjadi basis kekuasaan sultan Babullah.

Bel telah berbunyi menandakan waktu istirahat telah tiba, para santri berhamburan keluar kelas menuju kantin dan saya pun menuju ke ruangan guru untuk istirahat.  Sambil di temani dengan segelas kopi hangat, saya pun membuka sebuah kitab hadis dan entah mengapa pandangan saya tertuju pada sebuah hadis yaitu:

عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.

رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري وأبو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة

Artinya:

“Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin al-Khattab ra, dia berkata, "Saya mendengar Rasulullah shallahu`alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya  karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena menginginkan kehidupan yang layak di dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.

Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naisaaburi di dalam dua kitab Shahih, yang merupakan kitab yang paling shahih yang pernah dikarang)”.

Menurut Ulama, hadis tersebut muncul dikarenakan ada di antara sahabat Nabi saw yang ikut berhijrah ke Madinah semata-mata disebabkan terpikat seorang wanita. Beliaupun mengetahui hal itu, lalu bersabdalah dengan hadis tersebut. Yang membuat saya  penasaran, bukan pada persoalan niatnya, akan tetapi proses hijrahnya. Dasa rasa penasaran itu makin bertambah dikarenakan sebuah pertanyaan kecil dalam benak saya, “kira-kira mengapa Nabi harus berhijrah, bukankah tugas Nabi itu membawa risalah, menyelamatkan manusia dari kegelapan dan kebodohan, bukankah di Mekah terkenal dengan jahiliyahnya ?”, jadi mengapa harus hijrah, kan tantangannya jauh lebih banyak di Mekah dibandingkan di Madinah. Jika tantangannya banyak, otomatis pahalanya banyak, tapi itu hanya pertanyaan spekulasi saja. Setelah membaca beberapa keterangan ulama, saya pun berkesimpulan bahwa ternyata Nabi berhijrah bukan karena takut dengan kaum kafir Quraisy, lari dari tugas atau selainnya, akan tetapi itu adalah tuntunan dari Allah agar meninggalkan kota Mekah yang dinilai sudah tidak kondusif lagi buat dihuni. Jadi intinya di suruh untuk merantau agar agama Islam bisa lebih berkembang, apalagi di kota Madinah yang dulunya bernama Yasrib, sudah banyak bibit agama Islam dan tentunya kota Madinah juga jauh lebih maju dibandingkan Mekah. Dari kronologis hadis tersebut saya dapat memahami bahwa ternyata ketika kita sudah mengalami yang namanya jalan buntu, tidak ada perkembangan, bahkan kita malah ketinggalan zaman, maka solusinya adalah berhijrah atau dengan kata lain merantau. Hasilnya pun terbukti, ketika Nabi berhijrah, agama Islam mampu berkembangan dengan pesat hingga ke seluruh jazirah arab, bahkan sampai ke seluruh pelosok dunia.

Berdasarkan hasil dari perenungan hadis tersebut, maka saya pun memutuskan untuk berhijrah dalam artian bukan berhijrah meninggalkan perbuatan dosa menuju kepada pertaubatan, akan tetapi hijrah yang saya maksudkan adalah merantau ke kota lain dalam bahasa bugis biasa dinamai dengan sompe’. Keinginan untuk berhijrah atau merantau sebenarnya bukan karena saya kelaparan, dapur tidak lagi berasap, tidak ada pekerjaan, daerah saya tandus atau kering, akan tetapi saya hanya ingin mencari ketenangan hidup serta mencapai kehidupan yang lebih sejahtera, apalagi saya berdarah Bugis Makassar yang terkenal dengan istilah perantauannya. Saya pernah mendengar salah seorang peneliti sejarah mengatakan bahwa meratau bermakna kesediaan untuk berubah dan mengikuti perubahan. Perubahan untuk menyesuaikan diri mengandung faktor pengorbanan, perjuangan, pemberian dan perolehan, kerena hanya dengan begitu bisa diterima dalam kehidupan lingkungan sosial yang baru.

Para leluhur kami juga berpesan bahwa jangan marantau tanpa arah dan tujuan yang jelas (merantau buta), karena perantau sejati tidak merantau dengan mengikuti arah kaki kemana hendak melangkah, tidak boleh mempunyai prinsip “tegi monro tallenttung ajeku konatu leppang” (dimana kakiku terantuk , disanalah saya berhenti, karena prinsip seperti ini bersugesti negatif. Merantau harus disertai dengan kepastian tempat yang akan dituju, apa yang ingin dikerjakan di sana, bahkan calon perantau harus meyakinkan ruh dan jiwanya untuk menyatu dengan negeri rantau yang akan dituju.

Salah satu pepatah Bugis mengatakan “pura babbara sompe’ku, pura tangkisi gulikku, ulebbireng tellengnge natowalia” artinya jika saya (pelaut) telah memasang kemudiku, telah kubentangkan layarku, lebih baik saya tenggelam dan tersungkur dengan perahuku dari pada harus surut. Falsafah ini mengajarkan kepada seseorang yang telah betekad untuk memilih rantau sebagai jalan hidupnya, maka ia harus istiqamah denga pilihan tersebut, apapun resikonya tidak boleh ada kata mundur. Mundur, mengabaikan, mengingkari sebuah  ikrar, janji, sumpah apalagi telah diumumkan atau telah diketahui oleh banyak orang adalah aib (siri’) bagi orang Bugis Makassar. Harga diri menjadi jatuh tak berharga, seumur hidup akan dicemooh, dihinakan, dihujat dengan kata “paccocoreng manu” yang berarti ia hanya mempunyai nyali sebatas kedutan pada dubur ayam yang telah disembelih.

Setelah ada pengumuman dari KEMENPAN serta KEMENAG tentang formasi CPNS, maka saya berinisiatif  untuk mendaftarkan diri jadi peserta, ya hitung-hitung cari pengalaman sekalian mengadu nasib di negeri orang. Pada saat ingin memilih Istansi saya agak kebingungan, karena ada beberapa kota-kota besar yang menyediakan peluang yang sesuai dengan formasi bidang studi yang saya ampuh. Maka saya pun menunggu beberapa waktu sambil berfikir dan berembuk dengan istri tercinta sembari meminta masukan atau pendapatnya. Setelah sekian lama menunggu akhirnya saya menjatuhkan pilihan ke salah satu istansi dibawah naungan kementerian agama yaitu IAIN Ternate yang berlokasi di kota Ternate provinsi Maluku Utara. Sebuah kota yang semula saya kenal melalui pelajaran sejarah kebudayaan Islam. Ya luman jauh juga sih, sambil istri tersenyum dan mengatakan kira-kira bisa lulus atau tidak ya?, soalnya dari formasi yang kami pilih untuk jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir hanya ada satu yang diterima artinya peluangnya sangat kecil dibandingkan dengan formasi istri saya yaitu sebanyak tiga orang.

IAIN Ternate sengaja saya pilih karena menyediakan formasi yang sesuai dengan keahlian saya beserta istri. Ya lumayan juga buat jalan-jalan dan menikmati bulan madu, karena kami masih termasuk kategori pengantin baru. Akhirnya kami pun tiba dengan selamat di kota Ternate. Ada ungkapan yang mengatakan bahwa “kesan pertama begitu menggoda selanjutnya terserah anda”, ya mirip mirip dengan iklan batu ajaiblah (batu tawas). Demikian  kata yang mewakili perasaan saya saat itu, penuh rasa takjub apalagi disambut dengan gunung gamalama yang berdiri kokoh sambil mengeluarkan asap tebalnya. Setelah keluar dari bandara, kamipun diantar oleh salah seorang teman saya yang kebetulan ada di kota tersebut untuk bersantap siang, menu khas Maluku Utara atau bisa dibilang wilayah timurlah. Papeda, ya itu dia papeda makanan khas orang timur. Klo di Makassar sangat khas dengan istilah Kapurung yaitu sejenis sagu yang dimasak dengan campuran sayur-sayuran. berbekal pengalaman memakan kapurung, kamipun bisa beradaptasi dengan cepat menu khas masakan Maluku utara tersebut. Setelah selesai bersantap siang, kamipun berangkat menuju tempat penginapan untuk istirahat sambil mempersiapkan diri untuk ujian CPNS besok.

Hari yang dinanti pun telah tiba, yang namanya ujian biasanya tidak jauh dari rasa deg-degan, penuh kekhawatiran jangan sampai tidak lulus. Dengan berbekal pengalaman tes CAT sewaktu di kota Palu, maka saya pun memulai tes dengan penuh keyakinan serta tawakkal kepada Allah. Dan Alhamdulillah saya dinyatakan lulus dan berhak untuk mengikuti tes selanjutnya. Sedangkan sang istri tercinta belum beruntung, akan tetapi diapun merasa bangga karena salah satu dari kami ada yang lulus, ya mengingat perjuangan untuk menuju ke lokasi tes juga tidaklah mudah. Setelah berada di kota Ternate selama tiga hari, kami pun kembali ke kampung halaman untuk melaksanakan tugas seperti biasanya, sambil menunggu konfirmasi selanjutnya.

Hari demi hari telah berlalu, tibalah saatnya saya mendapatkan panggilan untuk mengikuti tes selanjutnya. Jadwal tes semakin dekat akan tetapi saya belum memesan tiket pesawat, ya lagi-lagi terkendala dengan persoalan finansial. Namun alhamdulillah Allah memberikan saya jalan keluar dan akhirnya tiket pesawat pun sudah ada ditangan.

Tes yang kedua ini adalah sebuah penentuan lulus atau tidaknya. Perasaan saya pada tes yang kedua  ini tidak terlalu menegangkan, dikarenakan tidak adanya saingan pada formasi tersebut. Begitupun beberepa peserta lainnya, yang sudah yakin 99% akan lulus. Namun ada juga sebahagian peserta yang masih belajar dengan serius agar dapat bersaing dengan yang lainnya. Dengan modal kepercayaan tersebut maka dengan sangat yakin bahwa saya pasti lulus dan bisa diterima di instansi tersebut, ditambah lagi saya memohon sebuah wasilah melalui salah seorang habib asal Yaman untuk didoakan, yang menurut orang do’anya sangat makbul karena masih mengalir darah Nabi.

Tiba saatnya KEMENAG mengeluarkan pengumuman resmi nama-nama yang lulus sebagai CPNS 2017 dan Alhamdulillah sesuai yang diharapkan nama saya salah satu yang terpajang di papan pengumuman dan akhirnya saya pun dinyatakan lulus. Perasaan gembira, terharu, bahkan sedih tentunya silih berganti menghiasi saat membaca pengumuman tersebut. Gembira dan terharu karena Ibu saya sangat ingin melihat ada anaknya yang bekerja sebagai ASN. Dan sedihnya karena tidak lama lagi saya akan meninggalkan kampung halaman, jauh dari keluarga, teman, kerabat dan lain-lain.

Surat pemanggilan untuk melaksanakan tugas telah terbit, tibalah saatnya saya mengucapkan salam perpisahan. Dengan berat hati saya mohon pamit kepada teman seperjuangan saya, para dewan guru, staf, serta para santri dan santriwati pondok pesantren An Nahdlah Makassar, tempat dimana saya mengenal yang namanya agama, tempat mengasa keikhlasan, dan tempat meraih keberkahan. Perpisahan itu dihiasi dengan linangan air mata, seakan-akan para santri mengatakan “Ustadz mohon jangan pergi, kami masih ingin menimbah ilmu kepadamu”. yang lebih mengharukan lagi saya dibuatkan acara khusus perpisahan oleh para santri, dewan Guru, serta pihak yayasan pesantren, acara perpisahan yang belum pernah dilakukan sebelumnya kepada guru-guru lain yang hendak pindah tugas. Linangan air mata tidak berhenti sampai disitu, keluarga yang ikut mengiringi kepergiaan saya ke bandara pun tak kuasa menahannya. Sekali lagi saya pamit kepada Ayah Ibu, Istri tercinta, serta keluarga. Teriring do’a dari mereka “semoga selamat sampai tujuan, dan tentunya meraih kesuksesan” sahutnya.

Selamat datang di bandara sultan Babullah kota Ternate, ya kalimat itu terdengar sangat jelas ditelinga menandakan saya telah tiba dengan selamat di kota tersebut. Suasana baru telah menyambut, entah itu bahasa, adat kebiasaan mereka mengharuskan saya untuk menyesuaikan diri. Seperti biasanya setealah turun dari pesawat saya pun ikut antri mengambil barang bawaan sambil memerhatikan beberapa orang di samping saya yang sementara bercakap-cakap menggunakan aksen ternate, ternyata ini bukanlah sebuah mimpi, saya betul-betul telah menginjakkan kaki di kota yang terkenal dengan hasil rempah-rempahnya. Inilah dunia baru yang saya harus jalani, harus senantiasa istiqamah, tegar,dan sabar, agar dapat meraih kesuksesan seperti yang mereka harapakan.

Hidup sendiri di tanah rantau, jauh dari sanak keluarga serta istri memang sangatlah sulit. Akan tetapi saya harus kuat menjalani semua ini, demi mewujudkan harapan mereka yaitu meraih kesuksesan. Sesekali saya menghibur diri dengan melantunkan ayat-ayat suci al-Qur’an, sejuk tentulah sangat terasa ketika meresapi makna ayat demi ayat. Hingga tak terasa sampai pada salah satu ayat yang berhubungan dengan berhijrah/merantau yaitu:

هُوَ ٱلَّذِي جَعَلَ لَكُمُ ٱلۡأَرۡضَ ذَلُولٗا فَٱمۡشُواْ فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُواْ مِن رِّزۡقِهِۦۖ وَإِلَيۡهِ ٱلنُّشُورُ

Terjemah:

“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan” (QS. Al Mulk: 15)

 

Dalam sebuah tafsir dijelaskan bahwa Allah SWT  menjadikan bumi tunduk dan patuh agar mudah untuk dilewati, digali, ditanami, dan didirikan bangunan di atasnya. Allah tidak menjadikan bumi itu sulit dan tidak mungkin, Allah menjadikan bumi seperti unta yang penurut, kemanapun ia dituntun, maka ia akan mengikuti. Itu sebabnya bumi disifati dengan kata  ذَلُولٌ, maka sangat tepat mengungkapkannya dengan kata مَنَاكِبِهَا, bukan dengan طُرُقِهَا, dan فِجَاجِهَا. Orang yang berjalan di atas manakib bumi, yaitu sesuatu yang tertinggi darinya. Karena itu manakib ditafsirkan dengan gunung-gunung, seperti manakib manusia, yaitu bagian tertinggi darinya.

Ayat ini pula mengandung petunjuk tentang Rububiyah Allah, keesaanNya, kuasaNya, hikmahNya, dan kelembutanNya, mengingatkan nikmat-nikmat Allah dan kebaikan-kebaikanNya, juga memperingatkan dari sikap condong kepada dunia, dan menjadikan dunia sebagai tempat tinggal selamanya, sebaliknya kita berjalan dengan bergegas di dunia ini menuju alam akhirat dan surga. Sungguh menakjubkan apa yang dikandung oleh ayat ini, berupa pengetahuan tentang Allah, tauhidNya, peringatan tentang nikmat-nikmatNya, dorongan untuk berjalan kepadaNya, bersiap diri untuk bertemu dengan-Nya, dan pulang kepadaNya.

Ibnu Kasir dalam kitab tafsirnya ia mengatakan bahwa Allah SWT menjelaskan nikmat-Nya kepada makhluk-Nya yang telah menundukan bumi untuk mereka. Dia telah menjadikannya terhampar dan tenang, tidak goncang atau bergerak-gerak, karena Dia telah menjadikan gunung-gunung (sebagai pasaknya). Dia telah mengalirkan mata air, membentangkan padanya jalan-jalan, menyiapkan padanya berbagai manfaat serta tempat-tempat yang cocok untuk menanam tanaman-tanaman dan buah-buahan. Allah berfirman, “Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kalian, maka berjalanlah di segala penjurunya,” yakni pergilah kalian ke mana saja yang kalian suka di seluruh penjuru bumi. Dan berpencaranlah kalian di berbagai belahannya untuk melakukan berbagai aktivitas dan perdagangan.

Dari ayat inilah saya bertambah yakin untuk merantau karena saya juga sangat yakin bahwa ditempat perantauan, saya tidak akan menderita. Binatang saja terjamin reskinya apalagi manusia, makhluk yang paling dimuliakan. Episode dari perjalanan hidup ini baru saja dimulai, badai yang besar akan siap menghantam perahu layarku yang sudah berlabuh. Dan tentunya hal itu takkan menyurutkan niat untuk kembali ke kampung halaman sebelum membawa mahkota kesuksesan. Akhirnya saya ucapkan selamat berpisah ayah ibu, sanak keluarga, sahabat-sahabatku, kota kelahiranku, kudekap engkau dalam hembusan angin kerinduan. Bismillahi tawakkaltu ‘alallahi lahaula wala kuwwata illa billahil aliyyil ‘Adzim.  wassalam

 

 

    


4 komentar:

  1. Wah hebat pak Irfan, selalu bisa mencari titik temu kesesuaian Islam dengan nilai nilai adiluhung masyarakat Bugis.

    BalasHapus
  2. itu hikmahnya merantau pak..semakin jauh merantau semakin cinta kepada tanah air sendiri
    ibarat hujan emas di tanah orang tidak sama dengan hujan batu di negri sendiri

    BalasHapus
  3. Mantap dari bacaan ini tergambar nilai filosofis yang dalam

    BalasHapus
  4. terima kasih atas segalanya Bapk Ibu semoga sya bisa belajar terus dari Bapk IBu

    BalasHapus

asasas

 sasasasas