MERANTAU
September 2017, adalah awal mula saya
menginjakkan kaki di kota Ternate. Kota yang semula hanyalah sekedar bahan ajar
mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam yang
biasanya saya terangkan di hadapan para santri Pondok Pesantren An Nahdlah Makassar.
Awalnya hanyalah sebuah candaan dihadapan para santri, sayapun berkata kepada
mereka “kayaknya kurang mantap menjelaskan sesuatu yang kita sendiri tidak
pernah merasakan hal tersebut, apalagi jika berhubungan dengan sejarah,
semestinya kita harus mendatangi tempatnya”. Jadi seharusnya kita harus datang
dulu melihat lansung kota tersebut yang menjadi basis kekuasaan sultan
Babullah.
Bel telah berbunyi menandakan waktu istirahat telah tiba, para santri
berhamburan keluar kelas menuju kantin dan saya pun menuju ke ruangan guru
untuk istirahat. Sambil di temani dengan
segelas kopi hangat, saya pun membuka sebuah kitab hadis dan entah mengapa
pandangan saya tertuju pada sebuah hadis yaitu:
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ
عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى
الله عليه وسلم يَقُوْلُ: إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ
امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ
فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا
يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.
رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن
بردزبة البخاري وأبو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في
صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة
Artinya:
“Dari Amirul Mu’minin,
Abi Hafs Umar bin al-Khattab ra, dia berkata, "Saya mendengar Rasulullah
shallahu`alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya
setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang
(akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena
(ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada
(keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena menginginkan kehidupan
yang layak di dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya
(akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.
Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin
Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhari dan Abu Al Husain,
Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naisaaburi di dalam dua kitab
Shahih, yang merupakan kitab yang paling shahih yang pernah dikarang)”.
Menurut Ulama, hadis tersebut muncul dikarenakan ada di
antara sahabat Nabi saw yang ikut berhijrah ke Madinah semata-mata disebabkan
terpikat seorang wanita. Beliaupun mengetahui hal itu, lalu bersabdalah dengan
hadis tersebut. Yang membuat saya penasaran, bukan pada persoalan niatnya, akan
tetapi proses hijrahnya. Dasa rasa penasaran itu makin bertambah dikarenakan
sebuah pertanyaan kecil dalam benak saya, “kira-kira mengapa Nabi harus
berhijrah, bukankah tugas Nabi itu membawa risalah, menyelamatkan manusia dari
kegelapan dan kebodohan, bukankah di Mekah terkenal dengan jahiliyahnya ?”,
jadi mengapa harus hijrah, kan tantangannya jauh lebih banyak di Mekah
dibandingkan di Madinah. Jika tantangannya banyak, otomatis pahalanya banyak,
tapi itu hanya pertanyaan spekulasi saja. Setelah membaca beberapa keterangan
ulama, saya pun berkesimpulan bahwa ternyata Nabi berhijrah bukan karena takut
dengan kaum kafir Quraisy, lari dari tugas atau selainnya, akan tetapi itu
adalah tuntunan dari Allah agar meninggalkan kota Mekah yang dinilai sudah
tidak kondusif lagi buat dihuni. Jadi intinya di suruh untuk merantau agar agama
Islam bisa lebih berkembang, apalagi di kota Madinah yang dulunya bernama
Yasrib, sudah banyak bibit agama Islam dan tentunya kota Madinah juga jauh
lebih maju dibandingkan Mekah. Dari kronologis hadis tersebut saya dapat
memahami bahwa ternyata ketika kita sudah mengalami yang namanya jalan buntu,
tidak ada perkembangan, bahkan kita malah ketinggalan zaman, maka solusinya
adalah berhijrah atau dengan kata lain merantau. Hasilnya pun terbukti, ketika
Nabi berhijrah, agama Islam mampu berkembangan dengan pesat hingga ke seluruh
jazirah arab, bahkan sampai ke seluruh pelosok dunia.
Berdasarkan hasil dari perenungan hadis
tersebut, maka saya pun memutuskan untuk berhijrah dalam artian bukan berhijrah
meninggalkan perbuatan dosa menuju kepada pertaubatan, akan tetapi hijrah yang
saya maksudkan adalah merantau ke kota lain dalam bahasa bugis biasa dinamai
dengan sompe’. Keinginan untuk
berhijrah atau merantau sebenarnya bukan karena saya kelaparan, dapur tidak
lagi berasap, tidak ada pekerjaan, daerah saya tandus atau kering, akan tetapi
saya hanya ingin mencari ketenangan hidup serta mencapai kehidupan yang lebih
sejahtera, apalagi saya berdarah Bugis Makassar yang terkenal dengan istilah
perantauannya. Saya pernah mendengar salah seorang peneliti sejarah mengatakan
bahwa meratau bermakna kesediaan untuk berubah dan mengikuti perubahan.
Perubahan untuk menyesuaikan diri mengandung faktor pengorbanan, perjuangan,
pemberian dan perolehan, kerena hanya dengan begitu bisa diterima dalam
kehidupan lingkungan sosial yang baru.
Para leluhur kami juga berpesan bahwa jangan
marantau tanpa arah dan tujuan yang jelas (merantau buta), karena perantau
sejati tidak merantau dengan mengikuti arah kaki kemana hendak melangkah, tidak
boleh mempunyai prinsip “tegi monro
tallenttung ajeku konatu leppang” (dimana kakiku terantuk , disanalah saya
berhenti, karena prinsip seperti ini bersugesti negatif. Merantau harus
disertai dengan kepastian tempat yang akan dituju, apa yang ingin dikerjakan di
sana, bahkan calon perantau harus meyakinkan ruh dan jiwanya untuk menyatu
dengan negeri rantau yang akan dituju.
Salah satu pepatah Bugis mengatakan “pura babbara sompe’ku, pura tangkisi
gulikku, ulebbireng tellengnge natowalia” artinya jika saya (pelaut) telah
memasang kemudiku, telah kubentangkan layarku, lebih baik saya tenggelam dan
tersungkur dengan perahuku dari pada harus surut. Falsafah ini mengajarkan
kepada seseorang yang telah betekad untuk memilih rantau sebagai jalan
hidupnya, maka ia harus istiqamah denga pilihan tersebut, apapun resikonya tidak
boleh ada kata mundur. Mundur, mengabaikan, mengingkari sebuah ikrar, janji, sumpah apalagi telah diumumkan
atau telah diketahui oleh banyak orang adalah aib (siri’) bagi orang Bugis
Makassar. Harga diri menjadi jatuh tak berharga, seumur hidup akan dicemooh,
dihinakan, dihujat dengan kata “paccocoreng
manu” yang berarti ia hanya mempunyai nyali sebatas kedutan pada dubur ayam
yang telah disembelih.
Setelah ada pengumuman dari KEMENPAN serta
KEMENAG tentang formasi CPNS, maka saya berinisiatif untuk mendaftarkan diri jadi peserta, ya
hitung-hitung cari pengalaman sekalian mengadu nasib di negeri orang. Pada saat
ingin memilih Istansi saya agak kebingungan, karena ada beberapa kota-kota
besar yang menyediakan peluang yang sesuai dengan formasi bidang studi yang
saya ampuh. Maka saya pun menunggu beberapa waktu sambil berfikir dan berembuk
dengan istri tercinta sembari meminta masukan atau pendapatnya. Setelah sekian lama
menunggu akhirnya saya menjatuhkan pilihan ke salah satu istansi dibawah
naungan kementerian agama yaitu IAIN Ternate yang berlokasi di kota Ternate
provinsi Maluku Utara. Sebuah kota yang semula saya kenal melalui pelajaran
sejarah kebudayaan Islam. Ya luman jauh juga sih, sambil istri tersenyum dan
mengatakan kira-kira bisa lulus atau tidak ya?, soalnya dari formasi yang kami
pilih untuk jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir hanya ada satu yang diterima
artinya peluangnya sangat kecil dibandingkan dengan formasi istri saya yaitu
sebanyak tiga orang.
IAIN Ternate sengaja saya pilih karena
menyediakan formasi yang sesuai dengan keahlian saya beserta istri. Ya lumayan
juga buat jalan-jalan dan menikmati bulan madu, karena kami masih termasuk
kategori pengantin baru. Akhirnya kami pun tiba dengan selamat di kota Ternate.
Ada ungkapan yang mengatakan bahwa “kesan
pertama begitu menggoda selanjutnya terserah anda”, ya mirip mirip dengan
iklan batu ajaiblah (batu tawas). Demikian
kata yang mewakili perasaan saya saat itu, penuh rasa takjub apalagi
disambut dengan gunung gamalama yang berdiri kokoh sambil mengeluarkan asap
tebalnya. Setelah keluar dari bandara, kamipun diantar oleh salah seorang teman
saya yang kebetulan ada di kota tersebut untuk bersantap siang, menu khas
Maluku Utara atau bisa dibilang wilayah timurlah. Papeda, ya itu dia papeda
makanan khas orang timur. Klo di Makassar sangat khas dengan istilah Kapurung yaitu sejenis sagu yang dimasak
dengan campuran sayur-sayuran. berbekal pengalaman memakan kapurung, kamipun bisa beradaptasi dengan cepat menu khas masakan
Maluku utara tersebut. Setelah selesai bersantap siang, kamipun berangkat
menuju tempat penginapan untuk istirahat sambil mempersiapkan diri untuk ujian
CPNS besok.
Hari yang dinanti pun telah tiba, yang
namanya ujian biasanya tidak jauh dari rasa deg-degan, penuh kekhawatiran jangan
sampai tidak lulus. Dengan berbekal pengalaman tes CAT sewaktu di kota Palu,
maka saya pun memulai tes dengan penuh keyakinan serta tawakkal kepada Allah.
Dan Alhamdulillah saya dinyatakan lulus dan berhak untuk mengikuti tes
selanjutnya. Sedangkan sang istri tercinta belum beruntung, akan tetapi diapun
merasa bangga karena salah satu dari kami ada yang lulus, ya mengingat
perjuangan untuk menuju ke lokasi tes juga tidaklah mudah. Setelah berada di
kota Ternate selama tiga hari, kami pun kembali ke kampung halaman untuk
melaksanakan tugas seperti biasanya, sambil menunggu konfirmasi selanjutnya.
Hari demi hari telah berlalu, tibalah saatnya
saya mendapatkan panggilan untuk mengikuti tes selanjutnya. Jadwal tes semakin
dekat akan tetapi saya belum memesan tiket pesawat, ya lagi-lagi terkendala
dengan persoalan finansial. Namun alhamdulillah Allah memberikan saya jalan
keluar dan akhirnya tiket pesawat pun sudah ada ditangan.
Tes yang kedua ini adalah sebuah penentuan
lulus atau tidaknya. Perasaan saya pada tes yang kedua ini tidak terlalu menegangkan, dikarenakan
tidak adanya saingan pada formasi tersebut. Begitupun beberepa peserta lainnya,
yang sudah yakin 99% akan lulus. Namun ada juga sebahagian peserta yang masih
belajar dengan serius agar dapat bersaing dengan yang lainnya. Dengan modal
kepercayaan tersebut maka dengan sangat yakin bahwa saya pasti lulus dan bisa
diterima di instansi tersebut, ditambah lagi saya memohon sebuah wasilah
melalui salah seorang habib asal Yaman untuk didoakan, yang menurut orang
do’anya sangat makbul karena masih mengalir darah Nabi.
Tiba saatnya KEMENAG mengeluarkan pengumuman
resmi nama-nama yang lulus sebagai CPNS 2017 dan Alhamdulillah sesuai yang
diharapkan nama saya salah satu yang terpajang di papan pengumuman dan akhirnya
saya pun dinyatakan lulus. Perasaan gembira, terharu, bahkan sedih tentunya
silih berganti menghiasi saat membaca pengumuman tersebut. Gembira dan terharu
karena Ibu saya sangat ingin melihat ada anaknya yang bekerja sebagai ASN. Dan
sedihnya karena tidak lama lagi saya akan meninggalkan kampung halaman, jauh
dari keluarga, teman, kerabat dan lain-lain.
Surat pemanggilan untuk melaksanakan tugas
telah terbit, tibalah saatnya saya mengucapkan salam perpisahan. Dengan berat
hati saya mohon pamit kepada teman seperjuangan saya, para dewan guru, staf,
serta para santri dan santriwati pondok pesantren An Nahdlah Makassar, tempat
dimana saya mengenal yang namanya agama, tempat mengasa keikhlasan, dan tempat
meraih keberkahan. Perpisahan itu dihiasi dengan linangan air mata, seakan-akan
para santri mengatakan “Ustadz mohon jangan pergi, kami masih ingin menimbah
ilmu kepadamu”. yang lebih mengharukan lagi saya dibuatkan acara khusus
perpisahan oleh para santri, dewan Guru, serta pihak yayasan pesantren, acara
perpisahan yang belum pernah dilakukan sebelumnya kepada guru-guru lain yang
hendak pindah tugas. Linangan air mata tidak berhenti sampai disitu, keluarga
yang ikut mengiringi kepergiaan saya ke bandara pun tak kuasa menahannya.
Sekali lagi saya pamit kepada Ayah Ibu, Istri tercinta, serta keluarga.
Teriring do’a dari mereka “semoga selamat sampai tujuan, dan tentunya meraih
kesuksesan” sahutnya.
Selamat datang di bandara sultan Babullah
kota Ternate, ya kalimat itu terdengar sangat jelas ditelinga menandakan saya
telah tiba dengan selamat di kota tersebut. Suasana baru telah menyambut, entah
itu bahasa, adat kebiasaan mereka mengharuskan saya untuk menyesuaikan diri. Seperti
biasanya setealah turun dari pesawat saya pun ikut antri mengambil barang
bawaan sambil memerhatikan beberapa orang di samping saya yang sementara
bercakap-cakap menggunakan aksen ternate, ternyata ini bukanlah sebuah mimpi,
saya betul-betul telah menginjakkan kaki di kota yang terkenal dengan hasil
rempah-rempahnya. Inilah dunia baru yang saya harus jalani, harus senantiasa
istiqamah, tegar,dan sabar, agar dapat meraih kesuksesan seperti yang mereka
harapakan.
Hidup sendiri di tanah rantau, jauh dari sanak
keluarga serta istri memang sangatlah sulit. Akan tetapi saya harus kuat
menjalani semua ini, demi mewujudkan harapan mereka yaitu meraih kesuksesan.
Sesekali saya menghibur diri dengan melantunkan ayat-ayat suci al-Qur’an, sejuk
tentulah sangat terasa ketika meresapi makna ayat demi ayat. Hingga tak terasa
sampai pada salah satu ayat yang berhubungan dengan berhijrah/merantau yaitu:
هُوَ ٱلَّذِي جَعَلَ لَكُمُ
ٱلۡأَرۡضَ ذَلُولٗا فَٱمۡشُواْ فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُواْ مِن رِّزۡقِهِۦۖ
وَإِلَيۡهِ ٱلنُّشُورُ
Terjemah:
“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi
kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari
rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan” (QS.
Al Mulk: 15)
Dalam sebuah tafsir dijelaskan bahwa Allah SWT menjadikan bumi
tunduk dan patuh agar mudah untuk dilewati, digali, ditanami, dan didirikan
bangunan di atasnya. Allah tidak menjadikan bumi itu sulit dan tidak mungkin,
Allah menjadikan bumi seperti unta yang penurut, kemanapun ia dituntun, maka ia
akan mengikuti. Itu sebabnya bumi disifati dengan kata ذَلُولٌ, maka sangat tepat mengungkapkannya dengan kata مَنَاكِبِهَا, bukan dengan طُرُقِهَا, dan فِجَاجِهَا.
Orang yang berjalan di atas manakib bumi, yaitu sesuatu yang
tertinggi darinya. Karena itu manakib ditafsirkan dengan
gunung-gunung, seperti manakib manusia, yaitu bagian tertinggi
darinya.
Ayat ini pula mengandung petunjuk tentang Rububiyah Allah,
keesaanNya, kuasaNya, hikmahNya, dan kelembutanNya, mengingatkan nikmat-nikmat
Allah dan kebaikan-kebaikanNya, juga memperingatkan dari sikap condong kepada
dunia, dan menjadikan dunia sebagai tempat tinggal selamanya, sebaliknya kita
berjalan dengan bergegas di dunia ini menuju alam akhirat dan surga. Sungguh
menakjubkan apa yang dikandung oleh ayat ini, berupa pengetahuan tentang Allah,
tauhidNya, peringatan tentang nikmat-nikmatNya, dorongan untuk berjalan
kepadaNya, bersiap diri untuk bertemu dengan-Nya, dan pulang kepadaNya.
Ibnu Kasir dalam kitab tafsirnya ia mengatakan bahwa Allah SWT menjelaskan
nikmat-Nya kepada makhluk-Nya yang telah menundukan bumi untuk mereka. Dia
telah menjadikannya terhampar dan tenang, tidak goncang atau bergerak-gerak,
karena Dia telah menjadikan gunung-gunung (sebagai pasaknya). Dia telah
mengalirkan mata air, membentangkan padanya jalan-jalan, menyiapkan padanya
berbagai manfaat serta tempat-tempat yang cocok untuk menanam tanaman-tanaman
dan buah-buahan. Allah berfirman, “Dia-lah yang
menjadikan bumi itu mudah bagi kalian, maka berjalanlah di segala
penjurunya,” yakni pergilah kalian ke mana saja yang kalian suka di
seluruh penjuru bumi. Dan berpencaranlah kalian di berbagai belahannya untuk
melakukan berbagai aktivitas dan perdagangan.
Dari ayat inilah saya bertambah yakin untuk merantau karena saya
juga sangat yakin bahwa ditempat perantauan, saya tidak akan menderita.
Binatang saja terjamin reskinya apalagi manusia, makhluk yang paling dimuliakan. Episode dari perjalanan hidup
ini baru saja dimulai, badai yang besar akan siap menghantam perahu layarku
yang sudah berlabuh. Dan tentunya hal itu takkan menyurutkan niat untuk kembali
ke kampung halaman sebelum membawa mahkota kesuksesan. Akhirnya saya ucapkan
selamat berpisah ayah ibu, sanak keluarga, sahabat-sahabatku, kota kelahiranku,
kudekap engkau dalam hembusan angin kerinduan. Bismillahi tawakkaltu ‘alallahi lahaula wala kuwwata illa billahil
aliyyil ‘Adzim. wassalam
Wah hebat pak Irfan, selalu bisa mencari titik temu kesesuaian Islam dengan nilai nilai adiluhung masyarakat Bugis.
BalasHapusitu hikmahnya merantau pak..semakin jauh merantau semakin cinta kepada tanah air sendiri
BalasHapusibarat hujan emas di tanah orang tidak sama dengan hujan batu di negri sendiri
Mantap dari bacaan ini tergambar nilai filosofis yang dalam
BalasHapusterima kasih atas segalanya Bapk Ibu semoga sya bisa belajar terus dari Bapk IBu
BalasHapus