Sabtu, 29 Agustus 2020

Tradisi Yang Terlupakan (Peca’ Sura’)

 

Tradisi Yang Terlupakan

(Peca’ Sura’)

Oleh : Muhammad Irfan Hasanuddin

Resep Bubur suro oleh evha hazny - Cookpad

Hari Asyura’  adalah hari kesepuluh dalam bulan Muharram pada penanggalan Hijriyah. Pada hari tersebut, berbagai aktifitas ibadah mulai dari pembacaan do’a Asyura’ hingga tradisi “Peca’ Sura” sangat dinanti-natikan oleh  masyarakat Sulawesi Selatan lebih khusus masyarakat Bugis Makassar.

Salah satu kebiasaan atau tradisi masyarakat Bugis Makassar ketika menjelang hari kesepuluh dalam bulan Muharram, yaitu adanya perayaan “manre peca sura”. Kata manre diartikan sebagai makan, sedangkan kata peca’ diartikan sebagai bubur yang bahan bakunya dari nasi. Adapun istilah sura’ diambil dari kata asyura’  yaitu hari kesepuluh dalam bulan Muharram.

Dahulu tradisi peca sura’ dilakukan sebagai bentuk kepekaan sosial antar sesama maupun dalam keluarga. Mengingat pada saat itu makan nasi adalah suatu hal yang terbilang mewah. Olehnya itu agar seluruh anggota keluarga mendapatkan jatah makanan yang sama, maka di buatlah nasi tersebut menjadi bubur.

Ada pula referensi yang menyebutkan bahwa hal tersebut dilakukan sebagai bentuk pengamalan dari hadis Nabi yang artinya:

“Barangsiapa yang memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang berpuasa tersebut”. (HR Tirmidzi no 807 dan Ibnu Majah No 1746 ).

Karena pada saat itu banyak yang melakukan puasa sunnah, maka disajikanlah peca’ sura’ sebagai makanan tardisional yang sarat akan makna.

Referensi lainnya menyebutkan bahwa perayaan peca sura’ berdasarkan pengamalan hadis oleh nenek moyang terdahulu pada sebuah riwayat tentang anjuran memperbanyak sedekah pada sepuluh Muharram, sebab hal tersebut sangat dianjurkan oleh Rasulullah. Sebagaimana riwayat yang dikutip dari kitab i’anat al-Thalibin yang artinya:

“Barangsiapa yang melapangkan keluarganya atau orang yang menjadi tanggungannya pada 10 Muharram, maka Allah akan melapangkan urusannya pada setahun yang akan dilaluinya”.

Terbatasnya lembaga pendidikan pada saat itu, membuat sebahagian nenek moyang kita kesulitan menulis serta membaca huruf-huruf Arab. Namun hal itu tidaklah menyurutkan semangat keberagamaan mereka. Bahkan keyakinan dalam pengamalan setiap ajaran agama menjadi modal utama bagi mereka diatas pengetahuannya. Artinya lebih dulu mengamalkan hadisnya dari pada memperdebatkan kualitasnya.

Dalam penyajian peca’ sura’, tentu tidak hanya bubur semata, melainkan diberi beberapa hiasan yang terbuat dari makanan lainnya, seperti telur yang terlebih dahulu didadar, kemudian diberi pewarna makanan agar tampilannya lebih menarik. Telur yang telah matang kemudian di bagi beberapa bahagian, tujuannya agar setiap orang yang makan dapat bahagian yang sama. Berbeda halnya ketika disajikan dengan bentuk utuh, tentu terbatas orang yang akan mencicipinya. Hal ini juga mengajarkan kepada kita agar jangan pernah pelit dalam berbagi. Berikanlah bantuan sebisa mungkin kepada keluarga maupun orang lain ketika membutuhkan pertolongan kita.

Berbagai hiasan tambahan pada peca’ sura’ juga dianggap sebagai simbol kesejahteraan dalam mengarungi kehidupan serta menjadi simbol saling melengkapi satu sama lain. Adapun warna-warni pada hiasannya melambangkan sebuah semangat hidup dan jangan pernah patah semangat ketika gagal menjalani. Setelah pembacaan do’a asyura selesai dibacakan, maka peca’ sura’ pun siap dibagikan dan disantap bersama.

Seiring berjalannya waktu, tradisi semacam ini pun sudah mulai ditinggalkan, apalagi sebahagian generasi saat sekarang ini, lebih mengedepankan keabsahan sebuah dalil dibandingkan melihat sisi kemashlahatannya. Peca’ Sura’ adalah salah satu dari sekian banyak dari bentuk kearifan lokal yang ada di Indonesia, olehnya itu akal dapat menerimanya dengan bijak selama kita menganggap hal tersebut sebagai sebuah syiar Islam dan bukan sebagai Syariat Islam. Mari merawat tradisi maupun budaya yang ada sebagai warisan dari para leluhur.  Wallhu ‘alam bish Shawab

 

Ternate 30 Agustus 2020

 

  

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

asasas

 sasasasas