Tradisi Yang Terlupakan
(Peca’ Sura’)
Oleh
: Muhammad Irfan Hasanuddin
Hari Asyura’ adalah hari kesepuluh dalam bulan Muharram
pada penanggalan Hijriyah. Pada hari tersebut, berbagai aktifitas ibadah mulai dari
pembacaan do’a Asyura’ hingga tradisi “Peca’ Sura” sangat
dinanti-natikan oleh masyarakat Sulawesi
Selatan lebih khusus masyarakat Bugis Makassar.
Salah satu
kebiasaan atau tradisi masyarakat Bugis Makassar ketika menjelang hari
kesepuluh dalam bulan Muharram, yaitu adanya perayaan “manre peca sura”. Kata
manre diartikan sebagai makan, sedangkan kata peca’ diartikan
sebagai bubur yang bahan bakunya dari nasi. Adapun istilah sura’ diambil
dari kata asyura’ yaitu hari
kesepuluh dalam bulan Muharram.
Dahulu tradisi peca
sura’ dilakukan sebagai bentuk kepekaan sosial antar sesama maupun dalam
keluarga. Mengingat pada saat itu makan nasi adalah suatu hal yang terbilang
mewah. Olehnya itu agar seluruh anggota keluarga mendapatkan jatah makanan yang
sama, maka di buatlah nasi tersebut menjadi bubur.
Ada pula
referensi yang menyebutkan bahwa hal tersebut dilakukan sebagai bentuk
pengamalan dari hadis Nabi yang artinya:
“Barangsiapa
yang memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang
berpuasa tersebut, tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang berpuasa
tersebut”. (HR
Tirmidzi no 807 dan Ibnu Majah No 1746 ).
Karena pada saat
itu banyak yang melakukan puasa sunnah, maka disajikanlah peca’ sura’ sebagai
makanan tardisional yang sarat akan makna.
Referensi lainnya
menyebutkan bahwa perayaan peca sura’ berdasarkan pengamalan hadis oleh
nenek moyang terdahulu pada sebuah riwayat tentang anjuran memperbanyak sedekah
pada sepuluh Muharram, sebab hal tersebut sangat dianjurkan oleh Rasulullah. Sebagaimana
riwayat yang dikutip dari kitab i’anat al-Thalibin yang artinya:
“Barangsiapa
yang melapangkan keluarganya atau orang yang menjadi tanggungannya pada 10
Muharram, maka Allah akan melapangkan urusannya pada setahun yang akan
dilaluinya”.
Terbatasnya lembaga
pendidikan pada saat itu, membuat sebahagian nenek moyang kita kesulitan
menulis serta membaca huruf-huruf Arab. Namun hal itu tidaklah menyurutkan
semangat keberagamaan mereka. Bahkan keyakinan dalam pengamalan setiap ajaran
agama menjadi modal utama bagi mereka diatas pengetahuannya. Artinya lebih dulu
mengamalkan hadisnya dari pada memperdebatkan kualitasnya.
Dalam penyajian peca’
sura’, tentu tidak hanya bubur semata, melainkan diberi beberapa hiasan
yang terbuat dari makanan lainnya, seperti telur yang terlebih dahulu didadar,
kemudian diberi pewarna makanan agar tampilannya lebih menarik. Telur yang
telah matang kemudian di bagi beberapa bahagian, tujuannya agar setiap orang
yang makan dapat bahagian yang sama. Berbeda halnya ketika disajikan dengan
bentuk utuh, tentu terbatas orang yang akan mencicipinya. Hal ini juga
mengajarkan kepada kita agar jangan pernah pelit dalam berbagi. Berikanlah bantuan
sebisa mungkin kepada keluarga maupun orang lain ketika membutuhkan pertolongan
kita.
Berbagai hiasan
tambahan pada peca’ sura’ juga dianggap sebagai simbol kesejahteraan
dalam mengarungi kehidupan serta menjadi simbol saling melengkapi satu sama
lain. Adapun warna-warni pada hiasannya melambangkan sebuah semangat hidup dan
jangan pernah patah semangat ketika gagal menjalani. Setelah pembacaan do’a asyura
selesai dibacakan, maka peca’ sura’ pun siap dibagikan dan disantap
bersama.
Seiring
berjalannya waktu, tradisi semacam ini pun sudah mulai ditinggalkan, apalagi
sebahagian generasi saat sekarang ini, lebih mengedepankan keabsahan sebuah
dalil dibandingkan melihat sisi kemashlahatannya. Peca’ Sura’ adalah salah
satu dari sekian banyak dari bentuk kearifan lokal yang ada di Indonesia,
olehnya itu akal dapat menerimanya dengan bijak selama kita menganggap hal
tersebut sebagai sebuah syiar Islam dan bukan sebagai Syariat Islam. Mari merawat
tradisi maupun budaya yang ada sebagai warisan dari para leluhur. Wallhu ‘alam bish Shawab
Ternate
30 Agustus 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar