Menggugat
Tradisi (Makna Filosofi Onde-Onde)
Oleh:
Muhammad Irfan Hasanuddin
Akhir-akhir ini
tersebar sebuah berita bahwa onde-onde bukanlah makan yang syar’i. Olehnya itu sebaiknya
diganti dengan buah kurma yang jelas-jelas memiliki dalil baik dari al-Qur’an
maupun hadis Nabi. Terlepas dari berita yang kontraversial tersebut, sejenak
kita mengkaji lebih jauh sejarah dan makna filosofis dari onde-onde.
Menurut sebahagian
ahli sejarah, bahwa jajan pasar yang satu ini bukanlah jajanan asli dari
Indonesia, melainkan dari negeri tirai bambu atau Tiongkok. Ada yang menduga
bahwa onde-onde masuk ke Indonesia pada abad ke 13 atau 15 M, yang dibawa oleh
Laksamana Cheng Ho dari dinasti Ming. Kemudian tersebarlah hingga ke karajaan
majapahit yang ada di Mojokerto Provinsi Jawa Timur.
Salah satu
sumber mengatakan bahwa jajanan tradisional ini telah dikenal sejak zaman dinasti
Zhou, yaitu sekitar 1045-256 SM. Kue ini biasanya disajikan untuk para tukang
kayu dan batu yang sedang membangun istana kekaisaran. Menurut kepercayaan
leluhur mereka bahwa kue ini merupakan lambang keselamatan dan kebersamaan.
Salah seorang
sastrawan bernama wang Fanzhi yang hidup Pada masa dinasti Tang mengatakan,
bahwa onde-onde merupakan makanan istimewa di Istana kekaisaran Chang’an yang
terkenal dengan nama ludei. Sementara masyarakat di Tiongkok utara
menyebutnya dengan istilah matuan. adanya perbedaan latar belakang budaya
, menjadikan sebutan dari onde-onde pun berbeda-beda, termasuk di Indonesia.
Jika di pulau jawa
terkenal dengan onde-onde yang berisikan toping kacang hijau, lalu ditaburi
dnegan wijen, namun berbeda halnya di Sulawesi Selatan, utamanya daerah Bugis di
kenal dengan sebutan umba-umba sebagai lambang sebuah harapan untuk
mendaptkan manisnya kehidupan.
Jenis onde-onde
yang satu ini terbuat dari tepung ketan yang diberi sedikit garam kadang juga
diberi pewarna makanan biar tampilannya lebih menarik, kemudian dicampur dengan
air, diaduk hingga semuanya menyatu dengan rata serta dipadatkan agar gampang
dibentuk jadi bulat. Setelah itu barulah diisi dengan gulah merah, direbus
kemudian ditaburi dengan kelapa parut. Perpaduan warna antara putih dan hijau,
disesuaikan dengan warna favorit Nabi saw.
Biasanya kue
tradisional ini disajikan pada acara-acara tertentu, misalnya acara adat,
perkawinan, lamaran, lahiran, syukuran memasuki rumah baru hingga memiliki
kendaraan baru. Tentu ini bukanlah sebuah syari’at yang membutuhkan adanya
dalil, akan tetapi ini hanyalah sebuah budaya yang telah mengalami islamisasi
sebagai bahagian dari syi’ar Islam. Tujuannya tentu untuk meningkatkan
ketaqwaan kita kepada Allah swt. Sebagaimana dalam firmannya QS al-Hajj ayat 32
ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللهِ فَإِنَّهَا
مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ
Terjemah:
“Demikianlah
(perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka
sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 32)
Menurut ulama
tafsir bahwa konteks ayat ini secara khusus berbicara persoalan rangkaian ibadah
haji sebagai bahagian dari pada syi’ar Islam. Namun pada ayat sebelumnya, yaitu
ayat ke 30 didahului dengan bentuk syi’ar secara umum. Termasuklah hal-hal atau
tradisi yang tidak bertentangan dengan agama dan memiliki nilai plus dalam hal
mempromosikan tentang kebaikan dari agama Islam.
Onde-onde
termasuk bahagian dari pada bentuk syi’ar, karena memiliki nilai filosofi yang
luar biasa. Dari bentuknya yang bulat dan tidak rata, diibaratkan dengan
perjalanan kehidupan yang tidak selamanya berada dalam koridor kebenaran maupun
kesempurnaan. Olehnya itu diberilah rasa manis yang terdapat di tengahnya,
sebagai lambang sebuah harapan dalam mendapatkan kehidupan yang manis pula,
serta dijauhkan dari segala keburukan.
Sebelum dikonsumsi, terlebih dahulu di rebus
pada air yang mendidih. Hal ini memiliki makna bahwa jika ingin menjadi pribadi
yang tangguh, maka harus bisa menghadapi berbagai ujian kehidupan serta
melaluinya dengan penuh kesabaran serta keikhlasan. Masyarakat sulawesi selatan
kadang menggunakan perpaduan antara wana putih dan hijau sesuai dengan warna
favorit Nabi saw. Teksturnya yang legit dan lengket memiliki makna bahwa dalam
hidup bermasyarakat mesti mengedepankan nilai-nilai persatuan serta menghindari
percerai-beraian.
Olehnya itu kue
tradisional yang satu ini tidak seharusnya dijadikan sebagai bahan perdebatan, apa
lagi sampai mencari dalil untuk melegalisasi. Karena hanya sebatas jajanan
tardisional saja. Ukuran syar’i dan tidaknya sesuatu tidak boleh diukur dengan
apa yang berasal dari tanah Arab, sebab apa yang ada disana belum tentu semuanya
Syar’i (Islami). Memang Nabi Muhammad berasal dari Arab, akan tetapi jangan
lupa bahwa Abu Jahal juga berasal dari tanah Arab.
Memakannya pun
tentu tidak akan mengurangi keimanan kita, kecuali di dapatkan melalui jalan
yang haram. Apa lagi syarat makanan yang ditetapkan oleh Allah dalam al-Qur’an
hanya mengatakan halalan dan tayyiban (yang halal dan baik) tanpa
menyebutkan bentuknya. Baik itu kurma maupun onde-onde, masing-masing mempunyai
keunggulan, nilai gizi dan tentuya sarat
akan makna. Wallahu ‘alam bish Shawab.
Ternate 22 Juli. 2020
konon orang Jepang yg begitu canggih teknologinya, tapi terkagum-kagum dan terheran-heran terhadap kue tradisional ini, mereka tdk bisa memikirkan dan tdk mampu menemukan bagaimana caranya memasukkan gula merah di dalam onde-onde itu karena tdk terdapat bekas sama sekali. Wallahu A'lam
BalasHapusBetul sekali Pak Dr. Bahkan Ada candaan dr teman, katanya krn tdk tau maka mereka pke suntik untuk memasukkan gulah merahnya, 🤗🤗
BalasHapusTiga hari ini, saya membaca di berbagai media online, tentang "klefon". Umumnya tokoh2 muslim, menanggapi bhw itu adalah kerja para buzzer, untuk menyudutkan umat Islam. Imbas dari gerakan umat Islam yg akhir2 intens ttg kritik thd rezim dan kroninya.
BalasHapusMakna "filosfis" onde2 mgkin perlu dipertegas, agar berbeda dgn makna "simbolis".👍👍👍
siap Pak Dr trm ksih
BalasHapus