Memusnahkan Sifat Kebinatangan Demi
Mencapai Nilai-Nilai Kemanusiaan
(Refleksi
Atas Kisah Pengorbanan Nabi Ibrahim AS)
Oleh;
Irfan Hasanuddin
Ibadah haji dan Kurban
adalah dua peristiwa yang tak terpisahkan pada perayaan hari raya Idul ‘Adha.
Namun pelaksanaannya pada tahun ini tentu sedikit berbeda dari tahun-tahun
sebelumnya. Hal ini dikarenakan adanya pandemi covid-19 yang sampai saat
sekarang ini masih melanda seluruh Negeri. Olehnya itu kedua ibadah tersebut
tidak boleh dikerjakan begitu saja, melainkan harus sesuai dengan standar
kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Pelaksanaan
ibadah haji pun tahun ini ditiadakan oleh pemerintah Indonesia, berdasarkan
adanya aturan dari kerajaan Arab Saudi yang tidak mengizinkan adanya jama’ah
dari lintas negara, dan hanya penduduk setempat yang diberikan izin untuk
melaksanakan ibadah haji dengan pembatasan jumlah serta aturan yang ketat. Tentu
hal ni semata-mata demi kemashlahatan bersama serta memprioritaskan keselamatan
ummat.
Meskipun Ibadah
Haji ditiadakan tahun ini, namun hal tersebut tidak menyurutkan semangat untuk
merayakan Idul ‘Adha. Apa lagi masih ada ibadah Kurban yang bisa kita kerjakan.
Yaitu sebuah rangkaian ibadah yang akan meningkatkan ketakwaan kita kepada sang Pencipta, serta melatih diri
untuk memliki jiwa sosial antar sesama.
Seperti yang
telah kita ketahui bersama bahwa ibadah kurban sangat erat kaitannya dengan
kisah Nabi Ibrahim AS beserta keluarganya. Hal ini berawal dari keikhlasan
beliau melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih putranya yaitu Nabi Ismail
AS, dan Allah pun memerintahkan malaikat Jibril untuk menggantikannya dengan
seeokor kibas karena telah menunaikan janjinya. Berdasarkan proses inilah,
mayoritas Ulama menilai bahwa hal tersebut hanyalah berupa ujian dari Allah
untuk mengukur sejauh mana ketakwaan yang dimiliki oleh Nabi Ibrahim AS.
Sebelum
melakukan eksekusi, Nabi Ibrahim AS melakukan proses penghayatan atas mimpinya
yang terjadi pada tanggal 8 dzul hijjah atau dikenal dengan hari tarwiyah,
kemudian dilanjutkan dengan perencanaan hingga proses pelaksanaan. Sebagaimana
firman Allah dalam Q.S al-Shaffat: 102-103
فَلَمَّا
بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ
اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ
سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ
Terjemah:
“Maka
ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim)
berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka
pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku!
Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan
mendapatiku termasuk orang yang sabar.”
فَلَمَّآ اَسْلَمَا وَتَلَّهٗ
لِلْجَبِيْنِۚ
Terjemah:
“Maka
ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas
pelipis(nya), (untuk melaksanakan perintah Allah)”
Rentetan atau
urutan dari setiap proses yang Ia lakukan ternyata memiliki makna yang luar
biasa dan bahkan dijadikan sebagai rangkaian dari pelaksanaan ibadah haji
seperti berdiam diri di mina, hingga melaksanakan wukuf di padang arafah.
Dari proses
tersebut kita bisa belajar bahwa untuk melaksanakan hingga mengambil sebuah
keputusan, tidak boleh terburu-buru. Diawali dengan proses penghayatan atas
sebuah perkara, kemudian melahirkan perencanaan dan akhirnya tertuang dalam
sebuah pelaksanaan yang tentunya
diharapkan akan bedampak pada sebuah perubahan dan menjawab tuntutan batin.
Sebagaimana riwayat dari Sayyidina Ali ra, bahwa “barang siapa yang hari ini
lebih baik dari pada kemarin, maka Ia adalah orang yang beruntung, barang siapa
hari ini sama dengan kemarin, maka Ia adalah orang yang merugi, dan barangsiapa
hari ini lebih buruk dari pada kemarin, maka Ia adalah orang yang terlaknak”.
Ibadah kurban
juga mengajarkan kepada kita agar berusaha untuk mengendalikan nafsu hewani. Sebab
jika tidak, bisa berakibat fatal dalam memberi arah pada setiap langkah
kehidupan. Berbeda halnya dengan nafsu insani yang tentunya akan mengarahkan
kita kepada jiwa dan rasa kemanusiaan. Hal ini sangat diharapakan akan
terciptanya sikap memanusiakan manusia, karena tidak sedikit orang yang berpenampilan
manusia tetapi berwatak hewan. Itu sebabnya perbedaan antara manusia dan hewan
sangat sedikit, sesuai dengan istilah al-Insan huwa hayawan al-Nathiq (manusia
adalah hewan yang mampu menggunakan daya nalar dan pikiran). Adapun nafsu
(sifat) hewani yang dimaksud antara lain:
1.
Buta
akan sebuah batasan. Maksdunya adalah
hewan memiliki sifat yang tidak tahu akan sebuah batasan. Apakah hal yang
dikerjakan itu tercela, terlarang atau diperbolehkan, milik sendiri atau milik
orang lain semuanya dimakan atau diambil tanpa adanya batasan. Dan ketika
terjadi kesalahan atau pelanggaran pun pasti tidak akan disadari. Bahkan yang
baik kadang disangka jelek dan yang jelek disangka baik. karakter yang semacam
ini terkadang juga mendiami hati manusia. Karena buta akan sebuah batasan, maka
kadang perbuatan hina yang Ia lakukan dianggap sebuah kebanggaan. Dan akhirnya
kehormatan serta harga diri pun jadi tumbalnya.
2. Rakus/Tamak. Karakter ini menjadikan
binatang semakin buas ketika diberikan kesempatan, karena memang alat pemuasnya
hanyalah berupa materi (material satisfaction), jadi tidak heran Ia
ingin mengambil sebanyak-banyaknya tanpa harus memandang kepentingan, keadaan
serta perasaan yang lainnya. Jika hal ini ada pada diri manusia, maka tentu Ia
akan mengambil hak orang lain tanpa melihat resiko serta dampak buruknya.
3. Tidak memiliki akal pikiran. Hewan hanya
mengandalkan insting, olehnya itu sangat wajar ketika menghadapi sesuatu, Ia
tidak mampu mempertimbangkan mana hal yang menguntungkan dan mana yang
merugikan, mana yang membawa mudharat dan mana yang bermanfaat. Sebagai contoh,
hewan ternatak yang memakan rerumputan tidak pernah menyeleksi apakah rumput
itu bergizi ataukah beracun. Bahkan tidak bisa membedakan mana yang bersih dan
mana yang kotor. Berbeda halnya dengan manusia yang senantiasa menggunakan akal
pikirannya ketika hendak melakukan sebuah tindakan, halal dan haram pun tentu
menjadi bahan pertimbangan. Olehnya itu ketika ada manusia yang tidak mampu
menggunakan fungsi akalnya dengan baik, maka tidak ada bedanya Ia dengan
karakter binatang yang hanya memperturutkan hawa nafsunya.
4. Tidak memiliki rasa malu. Karakter hewan
yang satu ini, menjadikan dirinya tidak pernah memilih tempat atau waktu untuk
melakukan hal-hal yang tercela. Kadang Ia mempertontonkannya di depan umum. Membuka
aurat hingga melakukan hal-hal yang berbau seksual di depan umum pun tidak
pernah dipersoalkan. Ketika manusia memiliki sifat yang seperti ini, maka tidak
ada lagi perasaan malu dalam melakukan
hal-hal yang tercela, serta tidak lagi memiliki rasa perikemanusiaan yang
mendiami hatinya. Bahkan merasa bangga
ketika melakukan kesalahan.
Dari peristiwa
kurban yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS, memberikan sebuah gambaran bahwa
dalam melakukan pendekatan (taqarrub/qurbanan) kepada Allah, tentunya
kita akan mendapatkan godaan, yaitu berupa kesenangan hidup yang bisa jadi akan
mengantarkan kita kepada sifat kebinatangan.
Olehnya itu
sebagai manusia yang telah dianugerahi akal dan pikiran, maka sudah sepatutnya
untuk menyembelih serta memusnahkan sifat kebinatangan yang ada dalam dirinya.
Sehingga yang tersisa hanyalah sifat kemanusiaannya yang tentu akan mengarahkan
kepada sifat saling tolong menolong, kasih sayang, saling menghormati hingga
sifat positif lainnya. Dan pastinya akan terlihat secara jelas perbedaan antara
perilaku manusia dan perilaku hewan.
Wallau ‘alam bish
shawab
Ternate 28 Juli 2020
Setiap penulis punya style. Pertahankan, perdalam dan lanjutkwn.
BalasHapussiap Pak Doktor trm ksh mohon bimbingannya selalu
HapusAlhamdulillah Ustatz Irfan terus berkarya. Jangan lelah, tetap istiqamah. Sudah menemukan gaya menulis, mudah2an semakin bagus dan keren.
BalasHapusamiin syukran Ustku mhn bimbingan dan arahannya
Hapus