Sebuah Harapan Kepada Sang Haji
(sebuah makna filosofis rukun haji)
Oleh : Muhammad Irfan Hasanuddin
Bulan dzul hijjah adalah salah satu bulan yang dinanti-nantikan
oleh umat Islam, karena pada bulan
tersebut, dilaksanakan ibadah haji maupun ibadah kurban. Diantara beberapa
deretan rukun Islam, pelaksanaan ibadah haji menjadi sesuatu yang sangat
istimewa. Hal ini disebabkan hanya orang-orang tertentu yang dapat
melaksanakannya. Kemampuan dari segi mental hingga materi pun tak luput dari
persiapan. Sebagaimana firman Allah dalam QS Ali Imran: 97
فِيْهِ اٰيٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ
مَّقَامُ اِبْرٰهِيْمَ ەۚ وَمَنْ دَخَلَهٗ كَانَ اٰمِنًا ۗ وَلِلّٰهِ عَلَى
النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ
فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ – ٩٧
Terjemah
:
“Di sana terdapat tanda-tanda yang
jelas, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah)
amanlah dia. Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah
melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu
mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka
ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam”.
Ayat ini dipahami oleh sebahagian ulama sebagai dasar
wajibnya mengerjakan ibadah haji. Hal ini dijelaskan oleh Allah pada kalimat walillahi
alan nasi hijjul baiti. Artinya semua manusia dipanggil oleh Allah ke
Baitullah untuk melaksanakan ibadah haji. Akan tetapi mengenai rukun Islam yang
satu ini, diberikan pengecualian hanya bagi orang yang memiliki kesanggupan
untuk mengadakan perjalanan tersebut.
Lebih jauh Ulama menjelaskan maksud dari kata kesanggupan
(yang menjadi syarat wajib Haji), yaitu sehat jasmani dan rohani, memiliki
kemampuan materi berupa biaya/ bekal perjalanan, serta biaya hidup untuk keluarga yang
ditinggalkan.
Setelah melaksanakan seluruh rangkaian Ibadah Haji, mereka pun berhak menyandang titel haji. Namun
yang terpenting dari hal itu ialah adanya makna-makna filosofis dari setiap pelaksanaan
ibadah tersebut. Misalnya pada rukun Haji. Terdapat niat Ihram, yang di
barengi dengan memakai pakaian Ihram yang berbahan baku kain putih tanpa
ada jahitan. Hal ini dipahami oleh sebahagian Ulama sebagai simulasi memakai
kain kafan ketika kita meninggal dunia nantinya.
Tidak adanya jahitan pada kain, hingga warna (putih) yang
seragam, menandakan tidak adanya batasan status sosial karena semua sama dimata
Allah. Dan yang membedakan hanyalah ketakwaan kepada-Nya. Setelah niat, rukun
haji berikutnya adalah melaksanakan Thawaf. Yaitu mengelilingi ka’bah
sebanyak tujuh kali yang arah putarannya berlawanan dengan arah jarum jam. Hal ini
menandakan bahwa kehidupan diibaratkan sebagai roda yang berputar. Kadang berada
di bawah dan kadang juga berada di atas. Olehnya itu Jangan pernah merasa
bangga dengan jabatan maupun prestasi yang telah ditorehkan, karena semua itu
hanyalah titipan atau ujian dari Allah.
Ketika berada di bawah, jangan pernah merasa kecewa dan
berkecil hati. Karena akan ada masanya kita juga akan berada di atas. Teruslah
bersabar, bersyukur, kerja keras, serta senantiasa optimis bahwa cepat atau
lambat pasti harapan dan cita-cita akan kita gapai. Demikian juga yang sedang
berada di atas (punya jabatan tinggi), jangan berbangga diri, menyusahkan orang
lain atau mempersulit yang seharusnya dipermudah, apalagi sampai menzalimi
orang lain. karena semua yang kita lakukan tersebut pasti akan ada balasannya sebagaimana
firman Allah dalam QS al-Zalzalah: 7-8
فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ - ٧
وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ ࣖ - ٨
Terjemah:
“Maka
barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya”,
“Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya”.
Setelah melakukan Thawaf dilanjutkan dengan Sa’i,
yaitu berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwah. Shafa
berarti putih bersih. Hal ini menandakan bahwa jika mengerjakan sesuatu
harus dengan hati yang ikhlas tanpa adanya kepentingan lain. sedangkan marwah berarti sempurna. Yang salah satu maknanya adalah
mengerjakan sesuatu secara totalitas serta profesional. Tentunya diawali dengan
sebuah perencanaan hingga pertimbangan yang matang serta melibatkan Tuhan dalam
setiap urusan. Seperti halnya Nabi Ibrahim ketika meninggalkan sitti Hajar
beserta Ismail as di sebuah padang tandus tak berpenghuni. Dan tidak disangka
bahwa disanalah akan lahir sebuah peradaban baru yang juga menjadi titik awal
dari perkembangan agama Islam.
Rukun ibadah Haji selanjutnya adalah melakukan Wukuf
di padang Arafah, yaitu sebuah aktivitas yang dilakukan dengan berdiam diri
sambil memperbanyak ibadah, seperti shalat sunnah, membaca al-Qur’an hingga
berzikir. Kegiatan ini dilakukan pada tanggal 9 dzul hijjah dari waktu dhuhur
hingga menjelang magrib. Hal ini sebagai gambaran adanya padang mahsyar sebagai
tempat berkumpulnya seluruh manusia untuk mempertanggung jawabkan segala apa
yang Ia kerjakan.
kemudian melakukan perjalanan menuju Mina untuk melontar
jumrah dan bermalam di musdalifah untuk mencari batu krikil yang akan dipakai
saat melontar jumrah ula, wushtha, dan aqabah yang merupakan simbol
pernyataan permusuhan manusia dengan Iblis laknatullah ‘alaih dan tidak
akan melakukan kompromi (bersekutu), mengikuti langkah-langkah serta segala
godaannya.
Rukun berikunya ialah
melakukan tahallul, yaitu memotong (mencukur) rambut kepala minimal tiga
helai secara bergantian, sebagai tanda bahwa selesainya rukun ibadah haji dan
sudah boleh melepas pakaian ihramnya. Hal ini sebagai simbol kesucian yang
diibaratkan seperti bayi yang baru dilahirkan. Tentu diharapkan ketika kembali
nanti Ia dapat memulai sesuatu dengan semangat baru, menumbuhkan kebaikan baru.
Serta menjadi teladan bagi keluarga dan masyarakat.
Wallahu ‘alam bish shawab
Ternate, 2 Agustus 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar