Selasa, 26 Mei 2020

Makna Filosofis Burasa', Ketupat Dan Coto Makassar

Burasa', Ketupat Dan Coto Makassar

Coto Makassar dengan Buras - Foto Coto Nusantara, Makassar ...

Oleh: Muh. Irfan Hasanuddin

Hari kemenangan telah tiba, dan status baru pun (kembali fitrah) telah disandang bagi mereka yang telah melaksanakan ibadah selama bulan suci ramadhan. Saling mengunjungi (ziarah) pun turut menghiasi kegembiraan di hari raya. di tengah pandemi covid-19 ini  kita hanya bisa bersilaturrahim lewat virtual saja. Tentu kurang lengkap rasanya karena tidak dapat saling berjabat tangan. Namun hal itu tidak mengurangi rasa khidmat kita untuk saling bermaaf-maafan.

Burasa’, Ketupat, hingga coto Makassar tentu menjadi menu favorit suku bugis makassar dalam melengkapi kebersamaan di hari raya. Kuliner tersebut bukanlah sebatas panganan pelengkap  saja, namun pemilihan buras, ketupat hingga coto Makassar dalam menu hidangan hari raya penuh dengan makna filosofis yang dalam.

Burasa’ (logat Sulawesi) atau Buras adalah  salah satu panganan khas masyarakat Bugis Makassar yang terbuat dari beras yang bukan pulut kemudian ditanak  hingga setengah matang lalu diaduk  dengan santan kelapa asli dan selanjutnya dibungkus dengan daun pisang yang kata orang sulawesi haram hukumnya jika dibungkus pake kertas koran karena bisa hancur ketika dimasak. Biasanya dibuat menjaid dua, tiga, bahkan empat bahagian ya mirip-mirip lah QS an-Nisa: 3. Kemudian diikat menggunakan tali rapiah atau tali yang lain sehingga menjadi satu bahagian yang tak terpisahkan. Setelah itu barulah dimasak hingga matang dan siap disantap dengan opor ayam atau coto makassar.

Dahulu kala buras digunakan oleh masyarakat bugis makassar sebagai bekal ketika bepergian. Dan kebiasaan tersebut dilakukan hingga sekarang ketika seseorang ingin mengadakan perjalanan jauh, maka biasanya ia dibekali oleh keluarganya dengan burasa’ sebagai makna dari sennu sennureng atau dalam bahasa agama disebut (تَفَاعُل ) optimisme. Dengan harapan sekalipun kita  dalam perantauan, namun hatinya tetap menyatu. Itu sebabnya bentuk burasa’ terdiri dari batangan tunggal yang pipih kemudian diikat menjadi satu kesatuan. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS Ali Imran: 103: ”Wa’tasimu bihablillahi jami’an wala tafarroqu...” yang terjemahannya: (dan berpegang teguhlah kalian semuanya pada tali (agama) Allah dan janganlah bercerai berai).

Mulai dari awal pembuatan burasa’ sudah memiliki makna yang luar biasa, dimana kita diajarkan untuk senantiasa memiliki sifat gotong royong atau saling tolong-menolong. Hal ini tergambar dari cara pembuatannya yang dilakukan oleh beberapa orang saling bekerja sama tujuannya agar pekerjaan tersebut  lebih mudah dan ringan, tentu  jika dikerjakan oleh satu orang saja maka akan terasa sulit dan berat, tenaga lebih terkuras dan memakan waktu yang lebih lama. Bukankah dalam agama kita senantiasa dianjurkan untuk saling membantu satu sama lain sebagaimana firman Allah dalam QS al-Maidah: 2:“wa ta ‘awanu alal birri wat taqwa wala ta’awanu alal ismi wal ‘udwan” (dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan...).

Demikian halnya dengan ketupat atau bahasa lainnya kupat, yang juga memiliki makna filosofi yang luar biasa. Menurut ahli sejarah istilah ketupat sudah ada sejak masa kerjaan majapahit dan pajajaran, yang merupakan demitologisasi dan desakralisasi pemujaan Dewi Sri yang dimuliakan. Ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa istilah kupat atau kupatan pertama kali dipopulerkan oleh Raden Mas Said atau sunan Kalijaga sebagai bentuk hari raya bagi orang-orang yang melaksanakan puasa syawal selama enam hari.

Ketupat  atau kupat  sendiri merupakan singkatan dari farasa dalam bahasa jawa “ngaku lepat” yang maknanya mengakui kesalahan, yang biasanya dibarengi dengan tradisi sungkeman yang dilakukan dengan bersimpuh dihadapan orang tua sambil meminta maaf atas berbagai kesalahan terdahulu.

Ketupat dibuat menggunakan janur yaitu daun kelapa yang menjadi bahan pembungkus, yang dalam filosofi jawa dikenal dengan nama “jatining nur” yang berarti hati nurani. hal ini menandakan bahwa segala tingkah laku manusia harus berasal dari hati nuraninya, dan sebahagian masyarakat jawa menyebut janur sebagai “sejatine nur” atau cahaya sejati. Bahkan ada yang menduga berasal dari bahasa arab yaitu :”ja’a al-nur’ yang bermakna telah datang cahaya. Tentu yang dimaksud adalah cahaya kemenangan di hari raya.

Anyaman yang sulit pada ketupat menggambarkan kompleksitas masyarakat nusantara khususnya masyarakat jawa dijaman dahulu, dan rapatnya anyaman dimaknai sebagai eratnya kekerabatan dan silaturrahim yang harus terus dijalin. Hal ini tentu sangat relevan dengan QS al-Nisa: 1

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَٰحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَآءً ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Terjemah:

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

Burasa’ maupun ketupat kurang lengkap rasanya ketika tidak disandingkan dengan coto Makassar. Kuliner yang satu ini adalah makanan tradisional masyarakat sulawesi selatan yang terbuat dari jeroan sapi yang diiris kecil lalu diberi bumbu khusus. Menurut ahli sejarah, Kuliner ini diperkiran telah ada semenjak masa kerjaan Gowa tepatnya abad ke-16. Dahulu hidangan coto bahagian daging sapi hanya disajikan untuk para keluarga kerjaan, sementara bagian jeroannya disajikan untuk masyarakat kelas bawah atau abdi dalem pengikut kerjaan.

Koki kerajaan merasa menyayangkan jika setiap bahagian dalam hewan itu dibuang dengan percuma. Sedangkan masyarakat di luar kerajaan tidak pernah merasakan nikmatnya daging. Koki handal ini juga memiliki kekerabatan yang baik dengan pedagang rempah-rempah dari tiongkok, persia, dan beberapa negara laiinya. Dengan segala keahliannya, dia mulai membersihkan jeroan itu, mengukus dan meracik bumbunya. Namun anehnya dia tidak menggunakan santan sebagai campuran kuah, tetapi air beras dan diberi kacang. Jadilah coto dan siap dibagikan kepada warga miskin disekitar kerajaan, bahkan diberikan kepada rekan-rekannya dari negara lain yang kebetulan ada di kawasan itu. Dan menurut mereka sangat nikmat, akhirnya diapun dipercaya untuk menyeguhkan hidangan tersebut kepada sang raja.

Kuliner ini harus memenuhi empat elemen yaitu air, api, udara, dan unsur bumi. Hal ini memiliki makna filosofi bahwa dalam mengarungi kehidupan harus seimbang. Membuat bumbunya pun harus bersih. Dan tempat membuat bumbunya tidak boleh dicampur. Hal ini memiliki makna kesucian baik lahir maupun batin. Dan tentu ini sejalan dengan ajaran agama (fiqhi) yaitu thahara, bahkan ayat al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah sangat menyukai orang-orang yang menyucikan diri (lihat QS al-Baqarah: 222).

Ketika hendak dimasak maka harus menggunakan wadah kuali dari tanah liat di atas perapian yang tepat. Kuali diibaratkan dengan keimanan yang kokoh yang tak mudah tergoyahkan, sekalipun dihantam dengan gelombang panas yang dahsyat (ujian kehidupan). Adapun lokasi masaknya harus di depan rumah, tidak bisa di belakang karena rasanya akan berbeda. Dengan dimaksaknya didepan rumah memiliki makna harus saling terbuka satu sama lain tidak boleh ada dusta diantara kita kata sebuah judul lagu. Apa lagi selalu berburuk sangka, tentu hal tersebut dilarang oleh agama. Sebagaimana firman Allah dalam QS al-Hujurat: 12

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ

Terjemah:

“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang”.

 

Keunikan lain dari coto Makassar yaitu tidak mau dimadu. Dalam artian menjual makanan ini tidak bisa bersama dengan soto lainnya. Misalnya sop konro, soto banjar dan semua jenis soto dan sop-sopan lainnya. Karena jika itu dilanggar, rasanya akan jauh berbeda. Begitupula dengan urusan harta yang tidak bisa dicampur adukkan dengan sesuatu yang sifatnya syubhat dan bahkan yang haram, karena dapat merusak kulitas kehidupan kita.

Bahkan untuk menikmatinya pun ada aturannya, karena coto bukanlah makanan untuk sarapan maupun makan siang, apalagi malam, maka makanan ini paling nikmat disantap pada pukul 09.00 hingga 11.00 siang. Porsinya pun tidak boleh banyak, jadi mangkuknya harus kecil dan sendoknya harus sendok bebek. Sebab makanan ini memiliki unsur tionghoa di dalamnya. Hal ini adanya perpaduan rempah dari beberapa negara. Perpaduan rempah serta penggunaan alat makan menandakan pentingnya saling menghargai satu sama lain baik itu antar agama, etnis, budaya, bangsa maupun antar negara. Bahkan dalam agamapun di perintahkan untuk saling menghargai satu sama lain, seperti firman Allah dalam QS al-Hujurat:10 yang terjemahannya:

“orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapatrahmat.”ayat ini memiliki makna bahwa semua orang di bumi ini adalah saudara. Tidak peduli agamanya apa, atau budayanya seperti apa, memperbaiki sebuah hubungan sangat dianjurkan.

Bahkan di ayat 11 juga ditegaskan untuk tidak saling meredahkan satu sama lain, sebagaimana terjemahan ayatnya:

hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah imandan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yangzalim.”

Dari dua ayat ini saja, jelas sekali maksudnya. Hormat menghormati sangat dianjurkan dalam ajaran agama  demi terciptanya sebuah perdamaian.

Demikian sedikit makna filosofis dari Burasa’, Ketupat Dan Coto Makassar yang sarat akan makna bukan hanya sebatas kuliner biasa. Taqabbalallahu minna wa minkum taqabbal ya karim, mohon maaf lahir batin selamat menikmati Burasa’, Ketupat Dan Coto Makassarnya.

Wallahu’alam bi al-Shawab

Ternate, 26 Mei 2020 M

  3 Syawal 1441 H

 

 


4 komentar:

asasas

 sasasasas