Hari
Kemenangan Yang Hampa
Allahu Akbar
Allahu Akbar Allahu Akbar la ilaha illallah wallahu akbar allahu akbar wa lil
lahil hamd. Suara takbir, tahmid serta tahlil
telah menggema di seluruh persada bumi ini menandakan hari kemenangan telah tiba.
Rasa haru pun ikut menghiasi relung hati, dan tentu ada yang tidak biasa dalam momentum lebaran
kali ini. Bisa jadi kita tak dapat saling berjabat tangan, saling silaturrahim
bersama orang tua, keluarga, kerabat, sahabat maupun handaitolan, namun hal itu
tidak menguragi rasa gembira kita akan datangnya hari kemenangan. Sebagaimana janji
Allah yang telah menjadikan kita seperti bayi yang baru lahir, hal ini
tergambar dari pemaknaan ‘Idul Fitri yang terdiri dari dua kata yaitu Id
(kembali) dan Fitr (suci). Dari kata dasar inilah muncul
istilah “suci ibarat bayi yang baru lahir
dari perut ibunya”.
Saya teringat
salah satu kisah dimana seorang anak yatim sedang bersedih pada hari raya. Disaat
semua orang (anak-anak yang lain) bergembira dengan memakai pakaian yang baru
sambil mengumandangkan takbir, tahmid, dan tahlil. Terlihat anak tersebut hanya
memakai pakaian bekas yang penuh dengan tambalan kain, serta hanya memakai sepasang
sepatu yang telah usang. Melihat anak
tersebut menangis, Rasulullah pun bergegas menghampirinya, namun anak itu mencoba menyembunyikan
kesedihannya.
Sambil mendekati
anak itu Rasulullah pun bertanya dengan suara yang lembut: “wahai anakku, mengapa
engkau menagis ?, sambil terisak-isak ia pun menjawab: “dihari raya yang suci
ini semua anak merayakan dengan riang gembira bersama orang tuanya. Namun berbeda dengan aku
yang tidak bisa lagi berlebaran dengan orang tua”. Aku teringat pada ayah, itu
sebabnya aku menangis, di ramadhan terakhir ia membelikanku sebuah gaun
berwarna hijau beserta sepatu baru dan waktu itu aku sangat bahagia. Lalu suatu
hari ayahku pergi berperang bersama engkau wahai Rasulullah, dan diapun syahid
di medan perang. Kini ayahku telah tiada aku telah menjadi seorang yatim, jika
aku tidak mengis untuknya, lalu bagaimana lagi aku mengenangnya?”.
Setelah
mendengar kisah dari anak tersebut, Rasulullah pun berkata: Wahai anakku
angkatlah wajahmu hapuslah air matamu tak usahlah kamu bersedih hati, maukah
engkau menerimaku sebagai ayahmu? Dan apakah engkau juga ingin agar Fatimah
menjadi kakak perempuanmu serta Aisyah menjadi Ibumu?, anak itupun seraya
terhenti dari isak tangis. Dengan penuh keheranan gadis kecil tersebut
menganggukkan kepalanya dengan perlahan sebagai tanda persetujuan, maka ia pun
menuju ke rumah Rasulullah. Akhirnya ia kembali tersenyum gembira oleh karena
mendapatkan keluarga yang lengkap apa lagi ayahnya adalah Rasulullah.
Kisah ini tentu
tidak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan oleh sebahagian orang, mungkin
diluar sana ada anak yang tidak bisa berkumpul dengan keluarga disebabkan
adanya pembatasan sosial serta larangan mudik, dan tidak sedikit juga yang
hanya mampu memandangi batu nisan yang mulai usang seraya memanjatkan do’a bagi
ibu bapaknya.
Terkadang kesedihan
seorang anak kian memuncak ketika mendengar suara takbir, tahmid, dan tahlil menggemah
dimana-mana, tentu ia akan teringat wajah orang tuanya yang dulu tiap lebaran
ada tangan yang diraih untuk dicium seraya memohon maaf atas segala dosa dan
khilaf. Bisa jadi wajah tersebut
hanyalah tinggal kenangan yang senantiasa disambut dengan tangisan. Tinggalah sebuah
penyesalan seorang anak ketika tidak bisa lagi bersama dengan kedua orang
tuanya, sebab jasa-jasanya tidak mampu kita bayar dengan apapun entah itu uang,
emas, atau berlian yang bahasa al-Qur’an menyatakan seorang anak hanya bisa
berbuat Ihsan atau sekedar berbakti kepadanya.
Orang tua terkadang
tidak mengharapakan apa-apa dari anak-anaknya. Ia hanya ingin memberikan yang
terbaik buat mereka. Sosok seorang ayah yang punya peran penting dalam menopang
ekonomi keluarga juga tidak luput dari kisah yang memilukan hati. Terkadang sepotong
roti yang seharusnya ia makan saat rehat kerja, namun makanan tersebut ia simpan,
ia rela menahan lapar dan dahaga demi membawa sepotong roti tersebut buat
anak-istrinya. Ia rela mempertaruhkan nyawa, menahan teriknya matahari,
dinginnya udara malam, dan terkadang ia juga kehujanan, namun semua itu
tidaklah dihiraukannya, semua dilakukan hanya demi anak dan istrinya.
Begitu pula
dengan sosok seorang Ibu yang tangguh dan sabar membesarkan serta mendidik
anak-anaknya dengan penuh kasih sayang. Rela tidak memakai pakaian yang baru
dihari raya hanya demi mempersiapkan pakaian yang baru buat anak-anaknya. Ia tak
kenal lelah sekalipun semua pekerjaan rumah ia lakukan, sesekali ia
menyandarkan punggungnya, menopang tulang belakang yang mulai keropos, iapun
sesekali menarik nafas yang dalam dengan harapan tenaganya bisa kembali pulih.
Disetiap sudujnya
ia tak pernah lupa akan do’a-do’a yang dipanjatkan
buat anak-anaknya dan berharap seluruh anaknya bisa sukses tanpa harus
mengikuti jejak orang tuanya, yang mungkin hanya bekerja sebagai buruh harian
ataupun seorang petani. Itu sebabnya Allah sangat murka terhadap anak yang
berani durhaka kepada kedua orangtuanya. Jangankan masuk ke dalam surga, mencium
baunya pun tidak akan mampu. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Ridha
Allah tergantung ridhanya orangtua kepada kita, begitu pula murkanya Allah
tergantung murka orangtua kepada kita”. Maka berbahagialah bagi yang masih hidup kedua
orangtuanya, karna masih ada tangan yang bisa kita raih dihari raya. Dan jangan
bersedih bagi yang sudah tidak bersama dengan orangtuanya, tentu mereka sangat
menantikan do’a-do’a yang terbaik dari anak-anaknya.
Kini
hampa sudah hari kemenangan yang diraih dengan tetesan air mata haru, berharap
Allah masih mempertemukan kita di surga-Nya nanti. Teruntuk para orangtua maafkanlah
anakmu ini karena belum bisa menjadi anak yang terbaik, yang sesuai engkau
harapakan. Teriring do’a dalam setiap sujud kami kepada kedua Ayah Ibu, berharap
belas kasih Allah yang maha Rahman lagi maha Rahim. “Ya Allah ampunilah
dosaku dan dosa orang tuaku, dan sayangilah mereka karena ia telah menyayangiku
sewaktu kecil. Taqabbalallahu wa minkum taqabbal ya karim mohon maaf
lahir dan batin teruntuk ayah bunda al-Fatihah. Wassalam.
Penulis: Irfan
Dosen : Ilmu al-Qur’an dan Tafsir IAIN Ternate.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar