Jumat, 22 Mei 2020

Hari Kemenangan Yang hampa


Hari Kemenangan Yang hampa

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar la ilaha illallah wallahu akbar allahu akbar wa lil lahil hamd. Suara takbir, tahmid serta tahlil telah menggema di seluruh persada bumi ini menandakan hari kemenangan telah tiba. Rasa haru pun ikut menghiasi relung hati, dan tentu  ada yang tidak biasa dalam momentum lebaran kali ini. Bisa jadi kita tak dapat saling berjabat tangan, saling silaturrahim bersama orang tua, keluarga, kerabat, sahabat maupun handaitolan, namun hal itu tidak menguragi rasa gembira kita akan datangnya hari kemenangan. Sebagaimana janji Allah yang telah menjadikan kita seperti bayi yang baru lahir, hal ini tergambar dari pemaknaan ‘Idul Fitri yang terdiri dari dua kata yaitu Id (kembali) dan Fitr (suci). Dari kata dasar inilah muncul istilah  “suci ibarat bayi yang baru lahir dari perut ibunya”.
Saya teringat salah satu kisah dimana seorang anak yatim sedang bersedih pada hari raya. Disaat semua orang (anak-anak yang lain) bergembira dengan memakai pakaian yang baru sambil mengumandangkan takbir, tahmid, dan tahlil. Terlihat anak tersebut hanya memakai pakaian bekas yang penuh dengan tambalan kain, serta hanya memakai sepasang sepatu  yang telah usang. Melihat anak tersebut menangis, Rasulullah pun bergegas menghampirinya,  namun anak itu mencoba menyembunyikan kesedihannya.
Sambil mendekati anak itu Rasulullah pun bertanya dengan suara yang lembut: “wahai anakku, mengapa engkau menagis ?, sambil terisak-isak ia pun menjawab: “dihari raya yang suci ini semua anak merayakan dengan riang gembira  bersama orang tuanya. Namun berbeda dengan aku yang tidak bisa lagi berlebaran dengan orang tua”. Aku teringat pada ayah, itu sebabnya aku menangis, di ramadhan terakhir ia membelikanku sebuah gaun berwarna hijau beserta sepatu baru dan waktu itu aku sangat bahagia. Lalu suatu hari ayahku pergi berperang bersama engkau wahai Rasulullah, dan diapun syahid di medan perang. Kini ayahku telah tiada aku telah menjadi seorang yatim, jika aku tidak mengis untuknya, lalu bagaimana lagi aku mengenangnya?”.
Setelah mendengar kisah dari anak tersebut, Rasulullah pun berkata: Wahai anakku angkatlah wajahmu hapuslah air matamu tak usahlah kamu bersedih hati, maukah engkau menerimaku sebagai ayahmu? Dan apakah engkau juga ingin agar Fatimah menjadi kakak perempuanmu serta Aisyah menjadi Ibumu?, anak itupun seraya terhenti dari isak tangis. Dengan penuh keheranan gadis kecil tersebut menganggukkan kepalanya dengan perlahan sebagai tanda persetujuan, maka ia pun menuju ke rumah Rasulullah. Akhirnya ia kembali tersenyum gembira oleh karena mendapatkan keluarga yang lengkap apa lagi ayahnya adalah Rasulullah.
Kisah ini tentu tidak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan oleh sebahagian orang, mungkin diluar sana ada anak yang tidak bisa berkumpul dengan keluarga disebabkan adanya pembatasan sosial serta larangan mudik, dan tidak sedikit juga yang hanya mampu memandangi batu nisan yang mulai usang seraya memanjatkan do’a bagi ibu bapaknya.
Terkadang kesedihan seorang anak kian memuncak ketika mendengar suara takbir, tahmid, dan tahlil menggemah dimana-mana, tentu ia akan teringat wajah orang tuanya yang dulu tiap lebaran ada tangan yang diraih untuk dicium seraya memohon maaf atas segala dosa dan khilaf. Bisa jadi  wajah tersebut hanyalah tinggal kenangan yang senantiasa disambut dengan tangisan. Tinggalah sebuah penyesalan seorang anak ketika tidak bisa lagi bersama dengan kedua orang tuanya, sebab jasa-jasanya tidak mampu kita bayar dengan apapun entah itu uang, emas, atau berlian yang bahasa al-Qur’an menyatakan seorang anak hanya bisa berbuat Ihsan atau sekedar berbakti kepadanya.  
Orang tua terkadang tidak mengharapakan apa-apa dari anak-anaknya. Ia hanya ingin memberikan yang terbaik buat mereka. Sosok seorang ayah yang punya peran penting dalam menopang ekonomi keluarga juga tidak luput dari kisah yang memilukan hati. Terkadang sepotong roti yang seharusnya ia makan saat rehat kerja, namun makanan tersebut ia simpan, ia rela menahan lapar dan dahaga demi membawa sepotong roti tersebut buat anak-istrinya. Ia rela mempertaruhkan nyawa, menahan teriknya matahari, dinginnya udara malam, dan terkadang ia juga kehujanan, namun semua itu tidaklah dihiraukannya, semua dilakukan hanya demi anak dan istrinya.
Begitu pula dengan sosok seorang Ibu yang tangguh dan sabar membesarkan serta mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih sayang. Rela tidak memakai pakaian yang baru dihari raya hanya demi mempersiapkan pakaian yang baru buat anak-anaknya. Ia tak kenal lelah sekalipun semua pekerjaan rumah ia lakukan, sesekali ia menyandarkan punggungnya, menopang tulang belakang yang mulai keropos, iapun sesekali menarik nafas yang dalam dengan harapan tenaganya bisa kembali pulih.
Disetiap sudujnya ia tak pernah lupa akan  do’a-do’a yang dipanjatkan buat anak-anaknya dan berharap seluruh anaknya bisa sukses tanpa harus mengikuti jejak orang tuanya, yang mungkin hanya bekerja sebagai buruh harian ataupun seorang petani. Itu sebabnya Allah sangat murka terhadap anak yang berani durhaka kepada kedua orangtuanya. Jangankan masuk ke dalam surga, mencium baunya pun tidak akan mampu. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Ridha Allah tergantung ridhanya orangtua kepada kita, begitu pula murkanya Allah tergantung murka orangtua kepada kita”.  Maka berbahagialah bagi yang masih hidup kedua orangtuanya, karna masih ada tangan yang bisa kita raih dihari raya. Dan jangan bersedih bagi yang sudah tidak bersama dengan orangtuanya, tentu mereka sangat menantikan do’a-do’a yang terbaik dari  anak-anaknya.
Kini hampa sudah hari kemenangan yang diraih dengan tetesan air mata haru, berharap Allah masih mempertemukan kita di surga-Nya nanti. Teruntuk para orangtua maafkanlah anakmu ini karena belum bisa menjadi anak yang terbaik, yang sesuai engkau harapakan. Teriring do’a dalam setiap sujud kami kepada kedua Ayah Ibu, berharap belas kasih Allah yang maha Rahman lagi maha Rahim. “Ya Allah ampunilah dosaku dan dosa orang tuaku, dan sayangilah mereka karena ia telah menyayangiku sewaktu kecil. Taqabbalallahu wa minkum taqabbal ya karim mohon maaf lahir dan batin teruntuk ayah bunda al-Fatihah. Wassalam.

Penulis: Irfan
Dosen  : Ilmu al-Qur’an dan Tafsir IAIN Ternate.

9 komentar:

  1. pragraf kedua dari yang akhir, air mata saya jatuh, kenapa orangtua kita begitu ikhlas mendoakan anak-anaknya, itulah berkahnya, sehingga kita bisa berhasil, mudah2an bisa kita contojh

    BalasHapus
    Balasan
    1. ikhlas karena tidak menuntut apa2 bgtlah cara mereka mengajarkan akhlak kepada kita

      Hapus

asasas

 sasasasas