Senin, 28 September 2020

Antara Berjiwa Kerdil dan Berjiwa Besar

 

Antara Berjiwa Kerdil dan Berjiwa Besar

Oleh: Muhammad Irfan Hasanuddin



Dalam mengarungi samudera kehidupan, manusia tidak pernah terlepas dari yang namanya ujian dan cobaan. Sebab hal tersebut merupakan bahagian dari tantangan. Bahkan menurut salah seorang sejarawan terkenal yaitu Arnold Toynbee mengatakan bahwa jika masyarakat mau maju, maka harus melalui tantangan. Tantangan tersebut tidak dimaksudkan untuk mematikan semangat, melainkan untuk menggugah semangat agar senantiasa tanggap terhadap lingkungannya.

Seperti halnya dalam sebuah kompetisi, seseorang yang berjiwa kerdil biasanya memiliki keberanian untuk tampil jika Ia menganggap usahanya akan berhasil, akan tetapi bila ada indikasi kegagalan, maka dengan segera Ia akan mundur. Bahkan jika Ia kalah, biasanya cenderung menyalahkan orang lain. Berbeda halnya dengan orang yang berjiwa besar, Ia lebih senang menghadapi kehidupan dengan penuh tantangan, bahkan menganggapnya sebagai lambang dari dinamika serta romantika kehidupan.

Meraka juga  berpendapat bahwa hidup yang penuh dengan ujian, akan lebih memberi hikmah dibandingkan dengan hidup yang penuh dengan pujian, dan senantiasa mendorong serta menggiring kita bersikap dewasa, sadar hingga sabar atas segala kehendak yang maha kuasa. Lain halnya dengan seseorang yang hidup dalam ujaran pujian, biasanya ia akan merasa serba bisa dalam segala hal, dan akhirnya bukan solusi yang diberikan melainkan ia akan menyeret serta menjerat kita ke lubang bahaya. Semuanya ini dikarenakan ketidak tahuan terhadap kelemahan serta kekurangannya.

Setiap manusia akan diuji sesuai dengan kadar dan keadaan, porsi, serta sesuai dengan posisinya pada ruang gerak kehidupan. Hal ini sejalan dengan apa yang telah difirmankan oleh Allah dalam QS al-Baqarah: 286

لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ

Terjemah:

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya.”

Ulama tafsir memberikan komentar terhadap ayat di atas, bahwa batas kemampuan setiap manusia berbeda-beda dalam menghadapi ujian dari Allah. Misalnya ujian yang diberikan kepada Nabi atau Rasul. Tentunya ujian pada tingkatan tersebut lebih berat dari pada manusia biasa. sebut saja Rasulullah Muhammad SAW yang dengan sabar mengahadapi kaum jahiliyah yang setiap saat datang menerornya serta mengancam keselamatan jiwanya.

Dalam hal yang berkaitan dengan persoalan lingkungan sosial, ujian tersebut dimulai dari sejak bagaimana mengatur hubungan keluarga, tetangga, sahabat, kerabat, lingkungan masyarakat baik itu yang terjauh maupun yang terdekat. Selain lingkungan sosial, dalam hal persoalan ekonomi juga tak kalah hebat bentuk ujiannya. Mulai dari kesulitan/kepahitan hidup, terputusnya mata pencaharian, sumber dana berkurang dikarenakan bencana yang kian melanda, hingga susahnya/sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan.

Kondisi seperti di atas, bila kita tidak berani mengubah kepasrahan menjadi optimis, maka ujian atau cobaan tersebut akan menjadi penghambat untuk melakukan pembenahan dalam persoalan kehidupan. Dan hanya akan duduk berpangku tangan dalam menghadapi rintangan maupun cobaan yang dihadapinya.    

Olehnya itu, ayat di atas menjadi pengingat bagi kita saat sedang terpuruk serta punya banyak beban hidup. tentunya sebagai orang yang beriman, berserah diri atau tawakkal kepada Allah menjadi senjata terakhir setelah melaksanakan do’a dan usaha.  

 

Wallahu ‘Alam Bi al- Shawab

 

 

Ternate, 29 Agustus 2020

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

asasas

 sasasasas