Senin, 07 September 2020

Yang Hilang Dari Kita ( Apa Susahnya Mengucapkan “Saya Tidak Tahu”)

Yang Hilang Dari Kita

( Apa Susahnya Mengucapkan “Saya Tidak Tahu”)

Oleh: Muhammad Irfan Hasanuddin

Berita Harian Saya-tahu-bahwa-saya-tidak-tahu Terbaru Hari Ini - Kompas.com

Ketika disuguhi dengan sebuah pertanyaan, terkadang hampir sebahagian orang mampu memberikan jawabannya, meskipun melenceng dan bahkan sama sekali tidak ada kaitannya dengan pertanyaan yang diberikan. Namun karena ingin terlihat sebagai orang yang tahu segalanya, maka setiap pertanyaan pun pasti akan dijawabnya.

Saya teringat kisah salah seorang pemuda yang pernah bertanya kepada Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Malik hanya memberikan jawaban “la uhsinuha” (saya tidak mengerti persoalan itu dengan baik). Meskipun pemuda itu memohon berulang kali, jawaban Imam Malik tetap sama.

Dalam kisah tersebut, Imam Malik tidak malu untuk mengatakan dirinya tidak mengerti/tahu, Ia juga tidak pernah takut dianggap bodoh oleh orang lian. Bahkan tidak pernah khawatir jika Ia di bully oleh masyarakat dikarenakan tidak memberikan jawaban kepada pemuda yang jauh-jauh dari negeri seberang demi menemui Imam Malik dan mengharapakan jawaban atas pertanyaannya tersebut.

Apa yang dilakukan oleh Imam Malik patutlah menjadi teladan. Karena dijaman sekarang ini, banyak orang yang merasa serba tahu padahal ilmunya sangat dangkal. Imam Malik menolak memberi jawaban bukan berarti Ia bodoh dan tidah tahu sama sekali, akan tetapi Ia hanya tidak mau menjawab pertanyaan diluar dari pemahamannya. Olehnya itu, Ia hanya mengatakan “la uhsinuka”. Bahkan Imam Malik pernah menegaskan bahwa, “ilmu itu bukanlah dengan menghafalkan banyak riwayat, melainkan cahaya yang diletakkan oleh Allah dalam hatinya”. Demikian dikisahkan dalam kitab Shifat al-Shafwah karangan Imam Jalaluddin Abu al-Farj bin Jauzi.

Ketika ucapan Imam Malik dihubungkan dengan konteks sekarang, kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa orang yang berilmu itu bukan seberapa banyak dalil yang dihafalkan, dan bukan pula seberapa cepat Ia menjawab pertanyaan, akan tetapi yang namanya orang berilmu adalah orang yang mampu menjadi pelita bagi orang lain dan memberi solusi atas segala persoalan, karena ilmu itu adalah cahaya dan sebagai simbol pencerahan serta perubahan. Imam Malik juga menambahkan bahwa cahaya itu sebagai simbol ilmu/pengetahuan, itulah sebabnya mengapa cahaya tidak pernah memilih siapa atau apapun yang diteranginya.

Nabi pun pernah mengingatkan melalui sabdanya bahwa Ia sangat membenci tiga karakter manusia, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir r.a, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ قَالَ الْمُتَكَبِّرُونَ

 

Artinya:

“Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat kedudukannya denganku di hari kiamat kelak adalah orang yang terbaik akhlaqnya. Dan orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku pada hari kiamat kelak adalah ats-tsartsarun, al-mutasyaddiqun dan al-mutafaihiqun.” Sahabat berkata: “Ya Rasulallah, kami sudah tahu arti al-tsartsarun dan al-mutasyaddiqun, lalu apa arti al-mutafaihiqun?” Beliau menjawab, “Orang yang sombong.” (HR. Tirmidzi).

 

Al-Mutafaihiqun adalah karakter orang yang mempunyai sifat angkuh, dan serba tahu akan semua persoalan maupun pertanyaan yang diajukan. Hal ini kadang terlihat dari gaya bicaranya yang tidak memberikan solusi bahkan hanya memperkeruh suasana. Cara jalannyapun sengaja dibuat-buat padahal ketika berjalan sendirian tidak seperti itu. Tujuannya untuk menyombongkan serta meninggikan diri diantara orang lain, bahkan ketika dudukpun Ia menunjukkan gesture seolah-olah yang paling alim atau faqih.

Karakter yang kedua adalah al-mutasyaddiqun yaitu tipe manusia yang suka memfasih-fasihkan diri, dan meremehkan orang lain. Ketika berbicara, Ia menggunakan ungkapan-ungkapan yang mengesankan tingginya ilmu dan rumitnya pembahasan, padahal Ia mampu menyederhanakannya. Bahkan ketika berhadapan dengan orang awam, Ia menggunakan bahasa asing, serta memakai istilah-istilah yang sulit dipahami. Tujuannya memang tidak untuk menjelaskan atau memberi solusi, melainkan hanya untuk meninggikan diri dan meremehkan  orang lain.

Adapun al-tsarsarun adalah karakter manusia yang suka mendominasi pembicaraan dan menyerobot pembicaraan orang lain. Seolah-olah tidak boleh ada yang berbicara selain dirinya. Meskipun orang tersebut tidak menganggapnya sebagai sebuah kesombongan, tetap saja hal tersebut tidak disukai oleh Nabi karena termasuk akhlak yang tercela.

Dari kisah maupun Hadis di atas, kita dapat belajar bahwa ketika bertanya kepada seseorang dan Ia menjawab “tidak tahu”, bukan berarti Ia orang bodoh atau tidak berilmu. Justru dengan ilmu yang ia miliki, Ia tidak segan mengatakan tidak tahu jika pertanyaan yang diajukan tidak sesuai dengan bidang keilmuannya. Bagi yang bertanya pun harus benar-benar melihat basic keilmuan yang ditanya, apakah ia benar-benar memumpuni (sesuai bidangnya) atau tidak.

Wallahu ‘alam bish Shawab

 

Ternate 8 September 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

asasas

 sasasasas