Yang Hilang Dari Kita
( Apa Susahnya
Mengucapkan “Saya Tidak Tahu”)
Oleh: Muhammad
Irfan Hasanuddin
Ketika disuguhi
dengan sebuah pertanyaan, terkadang hampir sebahagian orang mampu memberikan
jawabannya, meskipun melenceng dan bahkan sama sekali tidak ada kaitannya dengan
pertanyaan yang diberikan. Namun karena ingin terlihat sebagai orang yang tahu segalanya,
maka setiap pertanyaan pun pasti akan dijawabnya.
Saya teringat
kisah salah seorang pemuda yang pernah bertanya kepada Imam Malik bin Anas,
kemudian Imam Malik hanya memberikan jawaban “la uhsinuha” (saya tidak
mengerti persoalan itu dengan baik). Meskipun pemuda itu memohon berulang kali,
jawaban Imam Malik tetap sama.
Dalam kisah
tersebut, Imam Malik tidak malu untuk mengatakan dirinya tidak mengerti/tahu,
Ia juga tidak pernah takut dianggap bodoh oleh orang lian. Bahkan tidak pernah khawatir
jika Ia di bully oleh masyarakat dikarenakan tidak memberikan jawaban kepada
pemuda yang jauh-jauh dari negeri seberang demi menemui Imam Malik dan
mengharapakan jawaban atas pertanyaannya tersebut.
Apa yang dilakukan
oleh Imam Malik patutlah menjadi teladan. Karena dijaman sekarang ini, banyak
orang yang merasa serba tahu padahal ilmunya sangat dangkal. Imam Malik menolak
memberi jawaban bukan berarti Ia bodoh dan tidah tahu sama sekali, akan tetapi
Ia hanya tidak mau menjawab pertanyaan diluar dari pemahamannya. Olehnya itu,
Ia hanya mengatakan “la uhsinuka”. Bahkan Imam Malik pernah menegaskan
bahwa, “ilmu itu bukanlah dengan menghafalkan banyak riwayat, melainkan cahaya
yang diletakkan oleh Allah dalam hatinya”. Demikian dikisahkan dalam kitab Shifat
al-Shafwah karangan Imam Jalaluddin Abu al-Farj bin Jauzi.
Ketika ucapan Imam
Malik dihubungkan dengan konteks sekarang, kita dapat menarik sebuah kesimpulan
bahwa orang yang berilmu itu bukan seberapa banyak dalil yang dihafalkan, dan
bukan pula seberapa cepat Ia menjawab pertanyaan, akan tetapi yang namanya orang
berilmu adalah orang yang mampu menjadi pelita bagi orang lain dan memberi solusi
atas segala persoalan, karena ilmu itu adalah cahaya dan sebagai simbol
pencerahan serta perubahan. Imam Malik juga menambahkan bahwa cahaya itu sebagai
simbol ilmu/pengetahuan, itulah sebabnya mengapa cahaya tidak pernah memilih
siapa atau apapun yang diteranginya.
Nabi pun pernah
mengingatkan melalui sabdanya bahwa Ia sangat membenci tiga karakter manusia,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir r.a, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ
مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي
مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ
وَالْمُتَفَيْهِقُونَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ
وَالْمُتَشَدِّقُونَ فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ قَالَ الْمُتَكَبِّرُونَ
Artinya:
“Sesungguhnya
orang yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat
kedudukannya denganku di hari kiamat kelak adalah orang yang terbaik akhlaqnya.
Dan orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku pada hari kiamat kelak
adalah ats-tsartsarun, al-mutasyaddiqun dan al-mutafaihiqun.” Sahabat berkata:
“Ya Rasulallah, kami sudah tahu arti al-tsartsarun dan al-mutasyaddiqun,
lalu apa arti al-mutafaihiqun?” Beliau menjawab, “Orang yang sombong.”
(HR. Tirmidzi).
Al-Mutafaihiqun adalah
karakter orang yang mempunyai sifat angkuh, dan serba tahu akan semua persoalan
maupun pertanyaan yang diajukan. Hal ini kadang terlihat dari gaya bicaranya
yang tidak memberikan solusi bahkan hanya memperkeruh suasana. Cara jalannyapun
sengaja dibuat-buat padahal ketika berjalan sendirian tidak seperti itu. Tujuannya
untuk menyombongkan serta meninggikan diri diantara orang lain, bahkan ketika dudukpun
Ia menunjukkan gesture seolah-olah yang paling alim atau faqih.
Karakter yang
kedua adalah al-mutasyaddiqun yaitu tipe manusia yang suka
memfasih-fasihkan diri, dan meremehkan orang lain. Ketika berbicara, Ia
menggunakan ungkapan-ungkapan yang mengesankan tingginya ilmu dan rumitnya
pembahasan, padahal Ia mampu menyederhanakannya. Bahkan ketika berhadapan
dengan orang awam, Ia menggunakan bahasa asing, serta memakai istilah-istilah
yang sulit dipahami. Tujuannya memang tidak untuk menjelaskan atau memberi
solusi, melainkan hanya untuk meninggikan diri dan meremehkan orang lain.
Adapun al-tsarsarun
adalah karakter manusia yang suka mendominasi pembicaraan dan menyerobot
pembicaraan orang lain. Seolah-olah tidak boleh ada yang berbicara selain
dirinya. Meskipun orang tersebut tidak menganggapnya sebagai sebuah
kesombongan, tetap saja hal tersebut tidak disukai oleh Nabi karena termasuk
akhlak yang tercela.
Dari kisah
maupun Hadis di atas, kita dapat belajar bahwa ketika bertanya kepada seseorang
dan Ia menjawab “tidak tahu”, bukan berarti Ia orang bodoh atau tidak berilmu. Justru
dengan ilmu yang ia miliki, Ia tidak segan mengatakan tidak tahu jika
pertanyaan yang diajukan tidak sesuai dengan bidang keilmuannya. Bagi yang
bertanya pun harus benar-benar melihat basic keilmuan yang ditanya, apakah ia
benar-benar memumpuni (sesuai bidangnya) atau tidak.
Wallahu ‘alam bish
Shawab
Ternate 8 September 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar