Antara Berjiwa Kerdil dan Berjiwa Besar
Oleh: Muhammad Irfan Hasanuddin
Dalam
mengarungi samudera kehidupan, manusia tidak pernah terlepas dari yang namanya
ujian dan cobaan. Sebab hal tersebut merupakan bahagian dari tantangan. Bahkan menurut
salah seorang sejarawan terkenal yaitu Arnold Toynbee mengatakan bahwa jika
masyarakat mau maju, maka harus melalui tantangan. Tantangan tersebut tidak dimaksudkan
untuk mematikan semangat, melainkan untuk menggugah semangat agar senantiasa
tanggap terhadap lingkungannya.
Seperti
halnya dalam sebuah kompetisi, seseorang yang berjiwa kerdil biasanya memiliki keberanian
untuk tampil jika Ia menganggap usahanya akan berhasil, akan tetapi bila ada
indikasi kegagalan, maka dengan segera Ia akan mundur. Bahkan jika Ia kalah,
biasanya cenderung menyalahkan orang lain. Berbeda halnya dengan orang yang
berjiwa besar, Ia lebih senang menghadapi kehidupan dengan penuh tantangan,
bahkan menganggapnya sebagai lambang dari dinamika serta romantika kehidupan.
Meraka
juga berpendapat bahwa hidup yang penuh
dengan ujian, akan lebih memberi hikmah dibandingkan dengan hidup yang penuh
dengan pujian, dan senantiasa mendorong serta menggiring kita bersikap dewasa,
sadar hingga sabar atas segala kehendak yang maha kuasa. Lain halnya dengan seseorang
yang hidup dalam ujaran pujian, biasanya ia akan merasa serba bisa dalam segala
hal, dan akhirnya bukan solusi yang diberikan melainkan ia akan menyeret serta
menjerat kita ke lubang bahaya. Semuanya ini dikarenakan ketidak tahuan terhadap
kelemahan serta kekurangannya.
Setiap
manusia akan diuji sesuai dengan kadar dan keadaan, porsi, serta sesuai dengan posisinya
pada ruang gerak kehidupan. Hal ini sejalan dengan apa yang telah difirmankan
oleh Allah dalam QS al-Baqarah: 286
لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ لَهَا مَا
كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
Terjemah:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang
dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya.”
Ulama tafsir memberikan komentar terhadap ayat di atas, bahwa
batas kemampuan setiap manusia berbeda-beda dalam menghadapi ujian dari Allah. Misalnya
ujian yang diberikan kepada Nabi atau Rasul. Tentunya ujian pada tingkatan
tersebut lebih berat dari pada manusia biasa. sebut saja Rasulullah Muhammad
SAW yang dengan sabar mengahadapi kaum jahiliyah yang setiap saat datang
menerornya serta mengancam keselamatan jiwanya.
Dalam hal yang berkaitan dengan persoalan lingkungan sosial,
ujian tersebut dimulai dari sejak bagaimana mengatur hubungan keluarga,
tetangga, sahabat, kerabat, lingkungan masyarakat baik itu yang terjauh maupun
yang terdekat. Selain lingkungan sosial, dalam hal persoalan ekonomi juga tak
kalah hebat bentuk ujiannya. Mulai dari kesulitan/kepahitan hidup, terputusnya
mata pencaharian, sumber dana berkurang dikarenakan bencana yang kian melanda, hingga
susahnya/sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan.
Kondisi seperti di atas, bila kita tidak berani mengubah
kepasrahan menjadi optimis, maka ujian atau cobaan tersebut akan menjadi
penghambat untuk melakukan pembenahan dalam persoalan kehidupan. Dan hanya akan
duduk berpangku tangan dalam menghadapi rintangan maupun cobaan yang
dihadapinya.
Olehnya itu, ayat di atas menjadi pengingat bagi kita saat
sedang terpuruk serta punya banyak beban hidup. tentunya sebagai orang yang
beriman, berserah diri atau tawakkal kepada Allah menjadi senjata terakhir
setelah melaksanakan do’a dan usaha.
Wallahu ‘Alam Bi al- Shawab
Ternate,
29 Agustus 2020