Senin, 28 September 2020

Antara Berjiwa Kerdil dan Berjiwa Besar

 

Antara Berjiwa Kerdil dan Berjiwa Besar

Oleh: Muhammad Irfan Hasanuddin



Dalam mengarungi samudera kehidupan, manusia tidak pernah terlepas dari yang namanya ujian dan cobaan. Sebab hal tersebut merupakan bahagian dari tantangan. Bahkan menurut salah seorang sejarawan terkenal yaitu Arnold Toynbee mengatakan bahwa jika masyarakat mau maju, maka harus melalui tantangan. Tantangan tersebut tidak dimaksudkan untuk mematikan semangat, melainkan untuk menggugah semangat agar senantiasa tanggap terhadap lingkungannya.

Seperti halnya dalam sebuah kompetisi, seseorang yang berjiwa kerdil biasanya memiliki keberanian untuk tampil jika Ia menganggap usahanya akan berhasil, akan tetapi bila ada indikasi kegagalan, maka dengan segera Ia akan mundur. Bahkan jika Ia kalah, biasanya cenderung menyalahkan orang lain. Berbeda halnya dengan orang yang berjiwa besar, Ia lebih senang menghadapi kehidupan dengan penuh tantangan, bahkan menganggapnya sebagai lambang dari dinamika serta romantika kehidupan.

Meraka juga  berpendapat bahwa hidup yang penuh dengan ujian, akan lebih memberi hikmah dibandingkan dengan hidup yang penuh dengan pujian, dan senantiasa mendorong serta menggiring kita bersikap dewasa, sadar hingga sabar atas segala kehendak yang maha kuasa. Lain halnya dengan seseorang yang hidup dalam ujaran pujian, biasanya ia akan merasa serba bisa dalam segala hal, dan akhirnya bukan solusi yang diberikan melainkan ia akan menyeret serta menjerat kita ke lubang bahaya. Semuanya ini dikarenakan ketidak tahuan terhadap kelemahan serta kekurangannya.

Setiap manusia akan diuji sesuai dengan kadar dan keadaan, porsi, serta sesuai dengan posisinya pada ruang gerak kehidupan. Hal ini sejalan dengan apa yang telah difirmankan oleh Allah dalam QS al-Baqarah: 286

لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ

Terjemah:

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya.”

Ulama tafsir memberikan komentar terhadap ayat di atas, bahwa batas kemampuan setiap manusia berbeda-beda dalam menghadapi ujian dari Allah. Misalnya ujian yang diberikan kepada Nabi atau Rasul. Tentunya ujian pada tingkatan tersebut lebih berat dari pada manusia biasa. sebut saja Rasulullah Muhammad SAW yang dengan sabar mengahadapi kaum jahiliyah yang setiap saat datang menerornya serta mengancam keselamatan jiwanya.

Dalam hal yang berkaitan dengan persoalan lingkungan sosial, ujian tersebut dimulai dari sejak bagaimana mengatur hubungan keluarga, tetangga, sahabat, kerabat, lingkungan masyarakat baik itu yang terjauh maupun yang terdekat. Selain lingkungan sosial, dalam hal persoalan ekonomi juga tak kalah hebat bentuk ujiannya. Mulai dari kesulitan/kepahitan hidup, terputusnya mata pencaharian, sumber dana berkurang dikarenakan bencana yang kian melanda, hingga susahnya/sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan.

Kondisi seperti di atas, bila kita tidak berani mengubah kepasrahan menjadi optimis, maka ujian atau cobaan tersebut akan menjadi penghambat untuk melakukan pembenahan dalam persoalan kehidupan. Dan hanya akan duduk berpangku tangan dalam menghadapi rintangan maupun cobaan yang dihadapinya.    

Olehnya itu, ayat di atas menjadi pengingat bagi kita saat sedang terpuruk serta punya banyak beban hidup. tentunya sebagai orang yang beriman, berserah diri atau tawakkal kepada Allah menjadi senjata terakhir setelah melaksanakan do’a dan usaha.  

 

Wallahu ‘Alam Bi al- Shawab

 

 

Ternate, 29 Agustus 2020

 

Minggu, 20 September 2020

Watak Negatif Dihilangkan Atau Dibudidayakan ?

Watak Negatif Dihilangkan Atau Dibudidayakan ?

Oleh : Muhammad Irfan Hasanuddin



Allah swt menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuknya. Bahkan kesempurnaan makhluk yang satu ini dilengkapi dengan sifat (watak) positif maupun negatif. Misalnya, sifat yang positif seperti sabar, ikhlas dalam menjalani ujian serta cobaan, mempunyai kemauan yang kuat, pantang menyerah atau tidak gampang berputus asa, memliki kepercayaan diri, mengakui kelemahan, menerima kritikan,  mendahulukan perestasi dari pada prestise dan lain sebagainya.

Sedangkan sifat (watak) negatif misalnya, menginginkan kesuksesan tanpa melalui proses, mudah menyerah serta berputus asa, takut akan resiko, tidak percaya diri, merasa paling sempurna, merasa paling berjasa, bermental kerdil, serta suka menunda-nunda waktu.

Tetunya sifat positif diatas seharusnya ditumbuhkan, dikembangkan, hingga dipelihara. Sebab watak yang positif akan memberi pengaruh terhadap capain keberhasilan seseorang, atau dengan kata lain memberikan motivasi terhadap seseorang untuk lebih giat lagi serta penuh semangat dalam menjalankan aktifitas sehari-hari.

            Adapun sifat negatif tersebut, mestinya ditumbangkan, dilawan bahkan harus  dihilangkan. Sebab sifat tersebut hanya akan menjadi penghambat dalam melakukan sebuah aktifitas. Bila perilaku manusia dipakai menjadi salah satu takaran dan ukuran, salah persepsi dan estimasi, maka boleh jadi yang negatif seakan-akan menjadi positif. Akhirnya ketakutan akan resiko, diberi ulasan serta alasan untuk menjaga kehati-hatian. Demikian pula  sifat tergesa-gesa untuk  cepat meraih dan memperoleh sesuatu tanpa bersusah payah yang juga terkadang  diberi bumbu dalih mapun dalil sebagai orang yang memiliki semangat yang tinggi.

Memiliki watak negatif biasanya tidak akan mencari, akan tetapi lebih cenderung menunggu. Padahal diluar sana semua orang sementara berlomba-lomba berebut untuk meraih dan memperoleh kesuksesan. Bagaimana pun cerdasnya otak seseorang, jika masih ada jurang pemisah antara ilmu dengan amal atau antara tahu dengan berbuat maka kesuksesan hanya akan menjadi sebatas harapan atau  impian yang tidak akan pernah kesampaian.

Demikian pula kehebatan otak seseorang, bila tidak diimbangi dengan watak, maka ia hanya akan menjadi sebuah rumus diatas kertas yang tanpa ditunjukkan melalui aktifitas, atau hanya akan menjadi sebuah angan-angan tentang sebuah rencana yang tidak dapat terlaksana, sebab hanya menonjolkan kemauan diatas kemampuan.

Disisi lain kadang kita mendapati suatu problema dimasyarakat tentang adanya orang pintar namun nasibnya terlantar, kadang juga banyak pemikir akan tetapi kehidupannnya fakir. Tentunya hal tersebut bukanlah tanpa alasan maupun ulasan. Pada umumnya mereka menganggap bahwa yang menjadi faktor utama keberhasilan seseorang adalah nasib. Padahal Allah telah memberikan isyarat bahwa Ia tidak akan merubah nasib suatu kaum melainkan mereka merubah nasibnya sendiri (QS Ar-Ra’d :11).

Terlepas dari itu semua, nasib akan menjadi baik jika ada kerja sama antara kesempatan dan keahlian. Meskipun mempunyai keahlian, namun tidak mempunyai kesempatan maka ia tidak akan dapat meraih dan mendapatkan nasib yang baik. Kesempatan itu tidaklah ditunggu, akan tetapi dicari. Peluang itu bukan datang melalui harap, akan tetapi harus digarap. Kehidupan yang baik itu bukan sekedar dicita-citakan, melainkan harus diciptakan.

Olehnya itu kenalilah watak negatif kita agar lebih mudah untuk dihilangkan. Jika tidak mampu menghilangkan seluruhnya, minimal bisa mengimbanginya, agar selalu mempunyai titik terang dalam setiap harapan, serta mempunyai pijakan sebelum mengambil tindakan.

 

Ternate 20 September 2020

Senin, 14 September 2020

Yang Hilang Dari Kita (Sombere’ sebagai warisan budaya pemersatu bangsa)

 Yang Hilang Dari Kita

(Sombere’ sebagai warisan budaya pemersatu bangsa)

Oleh: Muhammad Irfan Hasanuddin

Sombere’ adalah sebuah istilah yang sangat populer pada masyarakat Bugis-Makassar. Bahkan salah satu mantan walikota Makassar pernah mengembalikan ruh dari istilah tersebut, mengingat maknanya makin hari kian meredup. Dan dikhawatirkan generasi muda tidak lagi paham terhadap warisan budaya tersebut.

Istilah sombere’ sendiri jika diartikan ke dalam bahasa indonesia, bisa berarti ramah, peduli,  suka mengobrol, terbuka dan mudah bergaul dengan siapa pun.  Dalam kamus populer Inggris-Makassar dan Indonesia-Makassar yang disusun oleh Drs emil Tamanduk dan Hasri, sombere’ diartikan sebagai ramah-tamah dan orang peramah disebut dengan istilah tu sombere’.

Budaya yang satu ini sejak dahulu telah dipraktikkan oleh para leluhur masyarakat Bugis-Makassar, bahkan terkadang para orang tua dahulu selalu berpesan kepada anak-anaknya untuk bergaul dengan siapa saja tanpa melihat kasta, jabatan, suku, maupun agamanya. Kini nilai-nilai budaya sombere’ sudah mulai memudar. Hal tersebut bisa ditandai dengan banyaknya orang yang tidak lagi saling menghargai, membenci bahkan saling memusuhi antar sesama, padahal kadang hanya disebabkan oleh persoalan sepeleh.

Jika ditinjau dari segi Agama (Islam), maka kita akan mendapati beberapa dalil yang berkaitan tentang bagaimana seharusnya bergaul  antar sesama. Salah satunya adalah Q.S Ali Imran: 159

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

Terjemah:

“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu, maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal”.

 

Asbab al-Nuzul dari ayat ini, berkaitan tentang respon Nabi dalam menyikapi kekalahan umat Islam pada perang Uhud. Dimana pada saat itu banyak dari kalangan umat Islam yang syahid dan sebahagiannya lagi kembali lebih awal ke Madinah tanpa mengindahkan instruksi dari Nabi saw.

Beberapa poin penting dari ayat ini telah dijelaskan oleh Ibnu Kasir dalam kitab Tafsirnya, Ia mengatakan bahwa sikap lemah lembut kepada mereka (orang-orang yang telah meninggalkan medan perang sebelum waktunya), adalah bahagian dari rahmat Allah swt untuk mu (Muhammad) dan mereka.

Sayyid Qutub menambahkan bahwa seorang pemimpin sudah sepantasnya memiliki sikap yang penuh kasih sayang, sebab manusia selalu butuh naungan. Olehnya itu belajarlah dari akhlak Rasulullah saw yang memiliki hati yang  santun serta penuh  dengan kelembutan.  Disamping itu, ayat ini juga mengajarkan kepada kita agar senantiasa memiliki sifat pemaaf, Demokratis, tawakkal, serta mengedepankan hasil musyawarah ketika hendak memutuskan perkara.

Hal yang senada juga dijelaskan pada sebuah hadis yang berasal dari riwayat Thabrani dan Daraquthni.  Nabi saw bersabda: “orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia”.

Beberapa sikap maupun sifat yang telah disebutkan pada kedua dalil di atas, menjadi bukti bahwa Sombere’ sebagai warisan budaya yang nilai-nilainya sejalan dengan perintah agama yang telah banyak dijelaskan pada teks-teks keagamaan baik itu al-Qur’an maupun Hadis Nabi. Olehnya itu kearifan lokal yang satu ini menjadi perekat dari setiap hubungan yang retak, dan dapat menghilangkan  sekat dari setiap interaksi yang ada dimasyarakat. 

Baca, Ajarkan, Amalkan, serta Lestarikan agar anak cucu kita bisa terus hidup dengan berbudaya serta lebih beradab.

والله أعلم بالصواب

Ternate 15 September 2020

Sabtu, 12 September 2020

Yang Hilang Dari Kita (Ketika Memudarnya Budaya Tabe’)

Yang Hilang Dari Kita

(Ketika Memudarnya Budaya Tabe’)

Oleh: Muhammad Irfan Hasanuddin

Pudarnya Budaya Tabe" dikalangan Masyarakat | Rujukan News

Tabe’ adalah sebuah istilah yang sering digunakan oleh masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya suku Bugis Makassar, sebagai bentuk sikap meminta permisi baik itu untuk lewat di depan orang lain maupun ketika hendak berbicara. Biasanya perkataan tabe’ dibarengi dengan sebuah gerakan tangan kanan turun ke bawah kemudian memandang pada orang-orang yang dilewati sambil melemparkan senyuman. Hal ini dilakukan semata-mata sebagai bentuk penghormatan kepada orang lain tanpa melihat jabatan, usia maupun kastanya.

Secara turun-temurun budaya seperti ini, telah diajarkan oleh nenek moyang kita. Dan hampir seluruh daerah  kemungkinan besar punya kemiripan budaya tersebut. Seperti halnya di Maluku Utara yang terkenal dengan istilah Tabea.

Cikal bakal hadirnya tulisan ini adalah berasal dari kegelisahan penulis yang melihat fenomena pendidikan karakter dimasyarakat yang makin hari kian memudar. Sebagai contoh misalnya ketika selesai sholat berjamaah di masjid, terkadang ada sebahagian jamaah yang tidak ikut berdo’a secara berjamaah, dan ketika ia keluar lebih dahulu dari masjid, Ia melewati beberapa shaf tanpa permisi hanya lewat begitu saja, bahkan langsung melangkah di sela-sela orang yang masih berzikir. Tentunya secara budaya hal tersebut sangat jauh dari adab kesopanan. Meskipun Ia menganggap hal tersebut adalah sesuatu yang biasa.

Budaya Tabe’ berupaya mengajarkan kepada manusia untuk saling menghargai serta saling menghormati. Siapapun orangnya tanpa melihat suku, ras, budaya, kasta, baik tua maupun muda. Hal ini juga memberikan isyarat bahwa janganlah sekali-kali berbuat atau bertindak sesuka hati, melainkan terlebih dahulu meminta permisi kepada orang lain. Dengan adanya sikap tersebut, maka diharapkan jalinan persaudaraan makin erat, serta akan terciptanya sikap saling mengormati. Tentu hal semacam ini sejalan dengan ajaran al-Qur’an tentang saling menghormati. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S An-Nisa ayat 86

وَاِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِاَحْسَنَ مِنْهَآ اَوْ رُدُّوْهَا ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيْبًا

Terjemah:

“Dan apabila kamu dihormati dengan suatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (penghormatan itu, yang sepadan) dengannya. Sungguh, Allah memperhitungkan segala sesuatu”.

 

Budaya Tabe’ mungkin terlihat sepele, namun hal tersebut sangatlah penting dalam tata krama masyarakat yang ada di Sulawesi. Sebab sikap tersebut dapat menghidupkan rasa keakraban meskipun sebelumnya tidak saling mengenal. Di samping itu, budaya Tabe’ mengandung makna keselarasan antara perbuatan dan perkataan, atau yang dalam bahasa bugis lebih dikenal dengan istilah taro ada’ taro gau. Hal ini bisa dilihat dari singkronisasi antara ucapan tabe’ dan gerakan tangan ke bawah.

Menerapkan budaya Tabe’ tentu tidaklah mudah, utamanya di era saat sekarang ini. Olehnya itu sedini mungkin kita mengajarkan kepada generasi muda untuk lebih mengenal budayanya  masing-masing  terutama hal-hal yang berhubungan tentang tata krama. Mengingat hal semacam ini sangat pentiing dalam proses pembentukan karakter anak.

والله أعلم بالصواب

Ternate, 13 Agustus 2020

Senin, 07 September 2020

Yang Hilang Dari Kita ( Apa Susahnya Mengucapkan “Saya Tidak Tahu”)

Yang Hilang Dari Kita

( Apa Susahnya Mengucapkan “Saya Tidak Tahu”)

Oleh: Muhammad Irfan Hasanuddin

Berita Harian Saya-tahu-bahwa-saya-tidak-tahu Terbaru Hari Ini - Kompas.com

Ketika disuguhi dengan sebuah pertanyaan, terkadang hampir sebahagian orang mampu memberikan jawabannya, meskipun melenceng dan bahkan sama sekali tidak ada kaitannya dengan pertanyaan yang diberikan. Namun karena ingin terlihat sebagai orang yang tahu segalanya, maka setiap pertanyaan pun pasti akan dijawabnya.

Saya teringat kisah salah seorang pemuda yang pernah bertanya kepada Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Malik hanya memberikan jawaban “la uhsinuha” (saya tidak mengerti persoalan itu dengan baik). Meskipun pemuda itu memohon berulang kali, jawaban Imam Malik tetap sama.

Dalam kisah tersebut, Imam Malik tidak malu untuk mengatakan dirinya tidak mengerti/tahu, Ia juga tidak pernah takut dianggap bodoh oleh orang lian. Bahkan tidak pernah khawatir jika Ia di bully oleh masyarakat dikarenakan tidak memberikan jawaban kepada pemuda yang jauh-jauh dari negeri seberang demi menemui Imam Malik dan mengharapakan jawaban atas pertanyaannya tersebut.

Apa yang dilakukan oleh Imam Malik patutlah menjadi teladan. Karena dijaman sekarang ini, banyak orang yang merasa serba tahu padahal ilmunya sangat dangkal. Imam Malik menolak memberi jawaban bukan berarti Ia bodoh dan tidah tahu sama sekali, akan tetapi Ia hanya tidak mau menjawab pertanyaan diluar dari pemahamannya. Olehnya itu, Ia hanya mengatakan “la uhsinuka”. Bahkan Imam Malik pernah menegaskan bahwa, “ilmu itu bukanlah dengan menghafalkan banyak riwayat, melainkan cahaya yang diletakkan oleh Allah dalam hatinya”. Demikian dikisahkan dalam kitab Shifat al-Shafwah karangan Imam Jalaluddin Abu al-Farj bin Jauzi.

Ketika ucapan Imam Malik dihubungkan dengan konteks sekarang, kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa orang yang berilmu itu bukan seberapa banyak dalil yang dihafalkan, dan bukan pula seberapa cepat Ia menjawab pertanyaan, akan tetapi yang namanya orang berilmu adalah orang yang mampu menjadi pelita bagi orang lain dan memberi solusi atas segala persoalan, karena ilmu itu adalah cahaya dan sebagai simbol pencerahan serta perubahan. Imam Malik juga menambahkan bahwa cahaya itu sebagai simbol ilmu/pengetahuan, itulah sebabnya mengapa cahaya tidak pernah memilih siapa atau apapun yang diteranginya.

Nabi pun pernah mengingatkan melalui sabdanya bahwa Ia sangat membenci tiga karakter manusia, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir r.a, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ قَالَ الْمُتَكَبِّرُونَ

 

Artinya:

“Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat kedudukannya denganku di hari kiamat kelak adalah orang yang terbaik akhlaqnya. Dan orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku pada hari kiamat kelak adalah ats-tsartsarun, al-mutasyaddiqun dan al-mutafaihiqun.” Sahabat berkata: “Ya Rasulallah, kami sudah tahu arti al-tsartsarun dan al-mutasyaddiqun, lalu apa arti al-mutafaihiqun?” Beliau menjawab, “Orang yang sombong.” (HR. Tirmidzi).

 

Al-Mutafaihiqun adalah karakter orang yang mempunyai sifat angkuh, dan serba tahu akan semua persoalan maupun pertanyaan yang diajukan. Hal ini kadang terlihat dari gaya bicaranya yang tidak memberikan solusi bahkan hanya memperkeruh suasana. Cara jalannyapun sengaja dibuat-buat padahal ketika berjalan sendirian tidak seperti itu. Tujuannya untuk menyombongkan serta meninggikan diri diantara orang lain, bahkan ketika dudukpun Ia menunjukkan gesture seolah-olah yang paling alim atau faqih.

Karakter yang kedua adalah al-mutasyaddiqun yaitu tipe manusia yang suka memfasih-fasihkan diri, dan meremehkan orang lain. Ketika berbicara, Ia menggunakan ungkapan-ungkapan yang mengesankan tingginya ilmu dan rumitnya pembahasan, padahal Ia mampu menyederhanakannya. Bahkan ketika berhadapan dengan orang awam, Ia menggunakan bahasa asing, serta memakai istilah-istilah yang sulit dipahami. Tujuannya memang tidak untuk menjelaskan atau memberi solusi, melainkan hanya untuk meninggikan diri dan meremehkan  orang lain.

Adapun al-tsarsarun adalah karakter manusia yang suka mendominasi pembicaraan dan menyerobot pembicaraan orang lain. Seolah-olah tidak boleh ada yang berbicara selain dirinya. Meskipun orang tersebut tidak menganggapnya sebagai sebuah kesombongan, tetap saja hal tersebut tidak disukai oleh Nabi karena termasuk akhlak yang tercela.

Dari kisah maupun Hadis di atas, kita dapat belajar bahwa ketika bertanya kepada seseorang dan Ia menjawab “tidak tahu”, bukan berarti Ia orang bodoh atau tidak berilmu. Justru dengan ilmu yang ia miliki, Ia tidak segan mengatakan tidak tahu jika pertanyaan yang diajukan tidak sesuai dengan bidang keilmuannya. Bagi yang bertanya pun harus benar-benar melihat basic keilmuan yang ditanya, apakah ia benar-benar memumpuni (sesuai bidangnya) atau tidak.

Wallahu ‘alam bish Shawab

 

Ternate 8 September 2020

Sabtu, 05 September 2020

YANG HILANG DARI KITA (Tinjauan Agama Dan Kesehatan Tentang Saling Memaafkan)

YANG HILANG DARI KITA

(Tinjauan Agama Dan Kesehatan Tentang Saling Memaafkan)

oleh: Muhammmad Irfan Hasanuddin

Husnul Khuluq (Akhlak yang Baik) - dakwatuna.com

Manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Demikianlah pepatah arab yang sangat populer dimasyarakat. Terkadang seorang manusia jika melakukan sebuah kesalahan atau kekhilafan, dengan sigap Ia akan mengucapkan permohonan maaf. Semuanya itu adalah hal yang manusiawi karena menjadi sebuah tanggapan atas respon tubuh terhadap rasa bersalah.

Secara umum, saling memaafkan adalah salah satu cara seseorang untuk melepaskan sebuah peraasaan dalam hati, baik itu yang berhubungan dengan rasa kesal, marah, maupun kecewa. Tentu bukan hanya sekedar mengucapkan kata “maaf”, melainkan harus diikuti dengan rasa ikhlas untuk melepaskan amarah tersebut.

Dalam QS ali Imran ayat 134 Allah swt berfirman:

ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى ٱلسَّرَّآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَٱلْكَٰظِمِينَ ٱلْغَيْظَ وَٱلْعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِ ۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِين

Terjemah:

“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”.

 

Ayat ini memberikan pemahaman kepada kita tentang sifat-sifat manusia yang dapat membawanya ke dalam surga. Antara lain yag disebutkan pada ayat di atas adalah karakter manusia dalam mengelolah emosi utamanya dalam konteks menghadapi kesalahan seseorang. Pertama, mampu menahan amarah. Kata  ٱلْكَٰظِمِينَ mengandung makna penuh dan menutupnya dengan rapat. Misalnya wadah yang telah terisi dengan air, kemudian ditutup rapat agar tidak tumpah. Hal ini sebagai isyarat  bahwa perasaan tidak bersahabat masih mendiami hati yang bersangkutan, pikirannya masih ingin menuntut balas walaupun tidak memperturutkan ajakan hati serta mampu menahan amarahnya. Sehingga dia mampu menahan diri dan tidak mengeluarkan kata-kata yang buruk serta melakukan perbuatan yang negatif.

        Tingkatan selanjutnya adalah yang memaafkan. Kata ٱلْعَافِينَ terambil dari akar kata ٱلْعَفنَ yang biasanya diartikan dengan kata maaf, dan terkadang juga diterjemahkan dengan kata menghapus. Seseorang yang memaafkan orang lain adalah yang dapat menghapus bekas luka hatinya yang diakibatkan oleh kesalahan dari orang lain terhadapnya. Pada tahapan  ٱلْكَٰظِمِينَ , seseorang masih dalam tahap menahan amarah. Olehnya itu sangatlah wajar jika luka hati masih mendiami. Namun pada tahapan ٱلْعَافِينَ, yang bersangkutan telah mampu menghapus bekas-bekas luka tersebut dan seakan-akan tidak pernah terjadi kesalahan apapun terhadap dirinya. Dan untuk mencapai tingkatan selanjutnya, Allah mengingatkan agar senantiasa berbuat baik kepada orang yang pernah kita sakiti, karena sebuah luka hati tidak cukup menanggapinya dengan menahan amarah maupun memaafkan kesalahan.

Disamping agama menganjurkan untuk saling memafkan, ternyata perbuatan tersebut mempunyai manfaat yang luar biasa bagi kesehatan. Sebagaimana yang di ungkapkan oleh Karen Lee Swartz M.D salah seorang pakar kesehatan the Johns Hopkins University School of Medicine USA, Ia mengatakan bahwa rasa dendam yang mendiami dalam diri seseorang, cenderung membuat mereka lebih berisiko mengalami depresi, dan proses saling memaafkan akan membantu seseorang untuk mengurangi tingkat depresi  atau stres tersebut. Disamping itu juga menjadi sarana untuk melatih sikap empati kepada sesama.

Ia juga menambahkan manfaat lain dari saling memaafkan pertama, dapat meningkatkan kesehatan mental. Menurut penelitian, dengan memaafkan, akan memmbuat tubuh kita lebih rileks, dan mengurangi resiko stres serta perasaan tertekan. Kedua, mampu mengatur ritme emosi yang lebih baik. Saling membenci dan enggan memafkan, akan membuat seseorang berada pada fase marah secara berlebihan, sehingga sangat sulit mengontrol emosi. Hal inilah yang kadang dapat menimbulkan resiko tekanan darah tinggi. Sedangkan saling memafkan akan membantu mengontrol emosi yang lebih baik.

Ketiga, meningkatkan kesehatan jantung serta kekebalan tubuh. Seseorang yang mendiami hatinya dengan rasa dendam dan enggan memaafkan, maka akan lebih mudah emosi. Sehingga membuat otot-otot tubuh menjadi tegang dan irama jantungpun tidak beraturan. Bahkan sangat berpeluang untuk meningkatkan tekanan darah tinggi. Olehnya itu saling memafkan dapat membuat tubuh jadi lebih rileks sehingga dapat mengatur irama jantung dengan baik. Disamping itu, saling memaafkan juga ternyata mampu meingkatkan imun dalam tubuh.

Keempat, mendapatkan kualiatas tidur yang jauh lebih baik. Tingkat stres yang berlebihan kerap dikaitkan dengan masalah tidur, seperti insomnia maupun hipersomnia. Dan saling memaafkan ternyata mampu menjadi sarana relaksasi yang dapat mengurangi tingkat stres. Dan tentunya akan berdampak pada kualitas tidur seseorang.

Olehnya itu saling memaafkan bukan hanya sekedar anjuran melalui teks-teks keagamaan, melainkan sangat mempunyai manfaat yang luar biasa bagi kesehatan. Mari temukan kembali sesuatu yang hilang dari kita yakni saling memaafkan antar sesama. Wallahu ‘alam bish shawab.

 

Ternate, 6 September 2020

 

asasas

 sasasasas