Senin, 28 Desember 2020

Yang Hilang Dari Kita (4) Memudarnya sikap al-Hilm

Yang Hilang Dari Kita (4) Memudarnya sikap al-Hilm 


اللهم أغنني بالعلم وزيني بالحلم وأكرمني بالتقوى وجملني بالعافية

“allahumma agnini bil ‘ilmi wazayyini bil hilmi wa akrimni bit taqwa wajammilni bil ‘afiyah”

Artinya:

“Ya Allah anugerahilah aku dengan ilmu, dan hiasilah aku dengan sifat al-hilm, dan muliakanlah aku dengan ketaqwaan, serta percantiklah diriku dengan kesehatan”

Do’a ini sangat populer dikalangan pesantren. Meskipun beberapa ulama menganggap do’a ini bersumber dari hadis dha’if, namun ada point tersendiri dari do’a tersebut yaitu sebuah permohonan agar dianugerahi sifat “al-Hilm”.

Term al-Hilm terkadang diartikan sebagai sifat yang lemah lembut, namun ahli bahasa mengemukakan makna lain yang dianggap lebih tepat yaitu kebijaksanaan. Dengan kata lain al-hilm adalah sikap tenang, tidak tergesa-gesa, dapat mengendalikan, serta penuh pertimbangan dalam memutuskan sebuah perkara.

Al-Hilm atau response ability inilah yang membedakan orang dewasa dengan anak-anak. Misalnya ketika seorang anak lapar atau sakit, maka sang anak akan langsung menangis tanpa banyak berfikir, berbeda halnya dengan orang dewasa yang terlebih dahulu merespon setiap situasi yang ia rasakan. Jika al-‘ilm (ilmu) dapat diperoleh dengan belajar atau menempuh pendidikan, maka al-hilm dapat diraih melalui proses latihan yang sungguh-sungguh melalui pengalaman hidup, serta mampu mengambil hikmah dari setiap problematika kehidupan yang dihadapinya.

Term al-hilm juga memiliki kesamaan makna dari term al-anah ( الأناة ), dan al-rifq (الرفق ). Al-hilm menuntun kepada pemiliknya untuk memiliki penguasaan diri ketika dalam keadaan marah atau tidak terburu-buru merespon dalam memberikan balasan. Adapun al-anah, memiliki makna berhati-hati dalam menghadapi permasalahan serta tidak tergesa-gesa dalam artian seseorang tidak melihat sebuah permasalahan dari segi lahiriahnya saja, melainkan menelitinya terlebih dahulu yang dalam bahasa agama disebut dengan istilah bertabayyun.

Sedangkan al-Rifq memiliki makna lemah lembut, dimana ketika berinteraksi kepada sesama manusia, ia memperlakukannya dengan penuh kelembutan, bahkan ketika orang tersebut memiliki hak untuk mengeksekusi seseorang atau memberikan hukuman, ia melakukannya dengan lemah lembut.

Mengenai sifat al-hilm, Rasulullah saw pernah memberikan contoh ketika seorang yahudi mendatanginya untuk menagih utang. Sikapnya yang kasar diiringi dengan kata-kata yang menyakitkan pun terlontar dari mulut sang yahudi. Hal tersebut membuat Umar yang ketika itu berada disamping Rasulullah menjadi geram dan naik pitam hingga ia pun menarik kerah bajunya.

Melihat reaksi Umar tersebut, Rasulullah berusaha menenangkannya serta menasehati agar tetap bersikap lemah lembut kepada sang Yahudi tersebut. Pada riwayat yang lain diterangkan bahwa konon si Yahudi tersebut duduk berjam-jam menunggu sambil mengintimidasi, namun reaksi Rasulullah tetap berlemah lembut kepadanya.

Dengan sikap yang ditunjukkan oleh Rasulullah tersebut, akhirnya sang Yahudi merasa tersentuh hatinya dan menyatakan diri masuk ke dalam agama Islam. Sang Yahudi pun mengaku bahwa maksud kedatangannya tersebut bukan sekedar menagih utang, melainkan ingin menguji kenabian Muhammad. Sebab ia mendapatkan keterangan di dalam kitab sucinya bahwa Muhammad punya tanda-tanda kenabian, dan ia telah melihat keseluruhannya kecuali satu yaitu al-hilm.    

Kisah di atas adalah salah satu teladan yang diajarkan oleh nabi untuk merespon setiap persoalan. Dengan sikap ­al-hilm tersebut, Rasulullah saw berhasil mengubah tabiat orang Quraisy dari tradisi padang pasir yang terkenal dengan sifat kerasnya menjadi penuh kasih sayang, dari sikap reaktif serta suka perang menjadi lebih bijak dan mengedepankan musyawarah.

Namun umat Islam di Indonesia yang secara budaya telah dikenal dengan keramahannya, kelihatannya sudah mulai kehilangan ruh al-hilmnya. Hal ini bisa kita saksikan statement maupun status diberbagai media sosial seperti di facebook, twitter, instagram, hingga whatsapp yang cenderung mengarah kepada ujaran kebencian. Bukan hanya itu, berita penuh dengan fitnah bertebaran dimana-mana, serta menshare informasi dari sumber yang tidak jelas. Dan celakanya lagi, kadang dijadikan sebagai bahan referensi dalam memutuskan sebuah perkara, tanpa memikirkan dampaknya.

Olehnya itu Rasulullah mengajarkan do’a kepada kita agar senantiasa dianugerahi dengan ilmu, dihiasi dengan sifat al-hilm, dimuliakan dengan ketaqwaan, serta dipercantik/diperindah dengan kesehatan.

 

Wallahu ‘Alam Bish Shawab.

 

 

Ternate 29 Desember 2020


Senin, 16 November 2020

Hari Ayah Nasional (antara peringatan dan penghargaan)

 Hari Ayah Nasional (antara peringatan dan penghargaan)

Oleh: Muhammad Irfan Hasanuddin



Selamat hari Ayah, ........! statemen ini spontan viral di media sosial untuk memperingati hari Ayah nasional yang jatuh pada setiap tanggal 12 November. Entah dari mana awal mulanya, siapa yang memprakarsai, dan tujuannya apa hingga hari ini masih menimbulkan segudang pertanyaan.  Ada yang mengatakan bahwa peringatan hari Ayah nasional pertama kali di deklarasikan oleh anggota tim paguyuban satu hati, lintas agama dan budaya yang populer dengan nama PPIP (Perkumpulan Putra Ibu Pertiwi).

Pada peringatan hari Ibu di Solo, tepatnya tahun 2014, PPIP mengadakan sayembara yang diikuti oleh kalangan pelajar mulai dari tingkat SD, hingga tingkat Mahasiswa. Adapun  tema yang diangkat yaitu menulis surat untuk Ibu. Acaranya sangat meriah dan mendapatkan sambutan yang hangat dari para peserta yang hadir pada saat itu. Dari hasil sayembara tersebut, dipilih sekitar 70 surat yang terbaik kemudian dibukukan. Setelah kegiatan tersebut berakhir, panitia mendapatkan masukan dari beberapa peserta yang menanyakan kapan sayembara menulis surat untuk Ayah diadakan ?. anggota panitia pada saat itu belum bisa memberikan jawaban karena belum ada hari yang ditetapkan oleh pemerintah khususnya untuk memperingati hari Ayah. Namun setelah melalui kajian yang panjang, akhirnya mereka kembali mendeklarasikan hari Ayah nasional yang jatuh pada setiap tanggal 12 November.  

Dihari yang sama juga dilaksanakan deklarasi hari Ayah nasional di Maumere, Flores Nusa Tenggara Timur. Dan diluncurkan sebuah buku yang berjudul “Kenangan untuk Ayah”  berisikan 100 surat terbaik dari seluruh Indonesia, tentunya telah melalui seleksi yang ketat. Setelah deklarasi, mereka mengirimkan buku tersebut kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) serta keempat Bupati yaitu daerah sabang, merauke, sangir Talaud dan Pulau Rote. Kemudian selanjutnya setiap tahun diperingatilah hari Ayah nasional. Seperti halnya negara-negara lain yang telah lebih dulu memperingatinya. Bahkan tercatat lebih dari 75 negara yang telah memperingati father’s Day atau hari Ayah yang jatuh pada pekan ketiga di bulan juni atau tepatnya setiap tanggal 21 Juni.

Peran ayah dalam proses pengasuhan anak secara langsung memang hanya sekitar 27,9%, akan tetapi perannya cukup sentral dalam keluarga. Karena dia adalah ujung tombak keberlangsungan hidup keluarga. Dalam al-Qur’an sendiri perintah menghormati orangtua tidak pernah terpisahkan antara Ibu dan Ayah. Seperti Halnya yang tergambar dari penggunaan  kata الوالد ين  pada QS al-Isra’ ayat 23 :

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ ٱلْكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

Terjemah:

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.

 

Pada ayat di atas, berbuat baik kepada orangtua menggunakan huruf sambung Bi dan bukan huruf ila. Menurut pakar bahasa arab, kata sambung Bi pada ayat di atas, mengandung makna al-Ilsha>q ( الإلصاق ) yaitu sesuatu yang menunjukkan hubungan yang erat serta dekat antara dua hal atau lebih. Hal yang berbeda ketika digunakan huruf ila  yang mengandung makna jarak, misalnya kita menuju ke Amerika dari Indonesia. Dengan demikian, dari makna bahasa saja kita sudah mendapatkan pemahaman bahwa Allah tidak menghendaki adanya jarak meskipun sedikit. Utamanya hal-hal yang berkaitan dengan berbakti kepada kedua orangtua.

Antara anak dan orangtua harus memiliki hubungan yag erat, dekat, bahkan lekat baik dari segi fisik, emosional, maupun spiritual. Olehnya itu dengan adanya peringatan hari Ibu maupun hari Ayah nasional,  diharapkan bagi seorang anak dapat meningkatkan kesadaran diri untuk menghormati serta menghargai orangtuanya bukan hanya sekedar perayaan simbolis semata.

 

Wallahu ‘alam bish shawa>b

 

 

Ternate 17 November 2020

Senin, 02 November 2020

Menghadirkan Dzauq Dalam Setiap Aktivitas Literasi

 Menghadirkan Dzauq Dalam Setiap Aktivitas Literasi

Oleh : Muhammad Irfan Hasanuddin

 


Terinspirasi dari materi yang telah dibawakan oleh Dr Muhsin Kalida (Dosen UIN Sunan Kalijaga Jogyakarta) pada acara Jagongan Literasi Seri 2 yang kali ini mengangkat tema PSYCHOWRITING. Ada banyak hal yang beliau sampaikan dalam materinya tersebut, antara lain, tentang pentingnya menumbuhkan rasa ketika menulis. Tentu hal tersebut terbilang sulit. Olehnya itu dibutuhkan sebuah dorongan dari dalam diri untuk menumbuhkannya. Salah satu solusi yang beliau berikan adalah menjadikan kegiatan menulis sebagai kebutuhan. Ketika mampu memasukkan sugesti  kalimat tersebut dalam diri kita, maka dengan sendirinya akan memperoleh sebuah dorongan untuk memulai aktivitas menulis.

Menganggap kegiatan menulis sebagai kebutuhan sebenarnya merupakan tingkatan yang paling sulit bagi seorang pemula. Diibaratkan dengan shalat, maka kita akan mendapati tingkatan orang-orang yang melakukannya. Antara lain ada menganggap bahwa shalat itu adalah sebuah kewajiban, keterpaksaan maupun kebutuhan.

Jika mereka menganggap shalat itu  sebagai kewajiban, maka ketika melakukannya, mereka hanya punya motif  ingin sekedar terbebas dari siksa neraka sebab mereka memahami sesuai dengan teks atau dalil-dalil yang mengarah kepada ancaman terhadap orang-orang yang tidak mau melakukan sholat. Artinya merasa berdosa ketika tidak melaksanakannya.

Demikian halnya dengan orang yang menganggap bahwa shalat itu sebagai keterpaksaan. Bisa jadi ketika melakukannya, dia tidak akan konsisten bahkan tidak merasa berdosa ketika meninggalkan shalat. Sebab tipe orang seprti ini, hanya mau melakukannya ketika ada tekanan atau dalam suasana keterpaksaan, baik itu perintah orang tua, guru, dan yang lainnya.

Namun hal yang berbeda ditunjukkan oleh orang-orang yang menjadikan shalat sebagai kebutuhan. Dengan penuh kesadaran diri tanpa ada tekanan dan beban apapun, Ia akan melaksanakan shalat dengan penuh keikhlasan. Dan bahkan ketika tiba waktu shalat, maka secara otomatis hatinya akan tergerak untuk segera melaksanakannya.

Muhsin Kalida menambahkan bahwa Imam al-Ghazali beserta karya monumentalnya Ihya ‘Ulm al-Din telah banyak memberikan inspirasi tentang arti pentingnya sebuah karya literasi. Namun lagi-lagi menumbuhkan mood untuk menulis tidak semudah yang dibayangkan. Jika dalam dunia tasawwuf terdapat pembahasan tentang dzauq (rasa), demikian pula dalam persoalan literasi baik itu kegiatan membaca maupun menulis.

Menurut al-Ghazali, istilah dzauq merupakan sebuah kegiatan untuk menghadirkan hati (hudhur al-Qalb) ketika berzikir kepada Allah secara kontinyu (istiqamah). Dzauq yang dirasakan oleh seorang salik (orang yang menjalani disiplin spritual dalam menempuh jalan sufisme Islam), adalah bahagian awal dari kondisi spritual pada proses pengungkapan diri kepada Allah (tajalli).

Kondisi spritual seperti ini sangat mirip dengan kondisi yang dirasakan oleh seorang penulis ketika ingin memulai karya tulisnya. Dalam memulai aktivitas menulis hal pertama yang perlu menjadi perhatian adalah bagimana kita bisa menghadirkan rasa butuh terhadap kegiatan menulis layaknya sebuah perjalanan spiritual tentu butuh pembiasaan hingga keistiqamahan dalam mengubah sebuah kebiasaan atau melawan rasa malas. Setelah berhasil menghadirkan ruang (rasa butuh) untuk menulis, maka secara otomatis akan membuka peluang atau kesempatan dalam merangkai kata demi kata hingga menjadi sebuah kalimat.

Dr Ngainun Naim (ketua  LP2M  IAIN tulungagung) yang bertindak sebagai pendamping narasumber, ikut memberikan nasehat bahwa ketika ingin menjadi seorang penulis, maka jangan tunggu mood baru mau menulis, akan tetapi mood itu seharusnya diciptakan sendiri. Merangkai kalimat sebanyak 5 paragraf setiap hari juga termasuk sarana untuk melatih suasana hati dalam proses menulis. Dan bahkan merasa berdosa ketika tidak menulis bisa dijadikan sebagai sugesti untuk menambah semangat dalam berliterasi. Disamping itu, membangun relasi kepada orang-orang yang kita yakini mampu memberikan dampak positif untuk membangun budaya literasi, juga menjadi salah satu jalan untuk menumbuhkan dzauq literasi.

Olehnya itu, dzauq bukan hanya dirasakan oleh para salik yang menempuh jalan spritual saja, akan tetapi  orang-orang yang bergelut di dunia literasipun dapat merasakan hal yang sama ketika menjalani aktivitasnya.

 

Wallahu ‘alam bis shawab

Ternate 3 November 2020

Rabu, 28 Oktober 2020

Pemuda Tempo Doloe VS Pemuda Jatuh Tempo (Refleksi Hari Sumpah Pemuda)

     Pemuda Tempo Doloe VS Pemuda Jatuh Tempo

(Refleksi Hari Sumpah Pemuda)


Setiap 28 Oktober kita senantiasa diingatkan pada sebuah peristiwa sejarah yang sarat akan makna. Hari ini tepat perayaannya yang ke-92 dari kongres pemuda II. Meskipun istilah Sumpah Pemuda tidak muncul dalam putusan kongres, akan tetapi hal tersebut tetap menjadi cikal bakal lahirnya Sumpah Pemuda.

Para pemuda tempo dulu telah banyak mengukir prestasi baik itu bagi dirinya maupun untuk kemajuan bangsanya. Misalnya Muhammad Yamin pemuda asal sumatera Barat yang telah memberikan kontribusi besar untuk menumbuhkan kesadaran serta mampu mengobarkan semangat juang para pemuda pemudi lewat kumpulan sajak-sajaknya, agar mereka mau bersatu untuk melawan para penjajah. Dan hingga kini jasa-jasanya masih terus dikenang sebagai salah seorang pelopor lahirnya Sumpah Pemuda.

Lain halnya dengan Baharuddin Jusuf  Habibie, yaitu pemuda asal Sulawesi Selatan yang telah berhasil mengukir segudang prestasi di negeri Hitler atau Nazi (Jerman). Mulai dari kejeniusannya dalam membuat kereta pengangkut baarang dalam jumlah yang besar hingga keberhasilannya membuat pesawat terbang. Bahkan Ia sempat dijuluki “Mr. Crack” karena berhasil menemukan sebuah teori crack (keretakan) pada bibidang teknologi pesawat terbang dan penemuannya ini telah dipakai oleh perusahaan maskapai di dunia. Hingga kini beliau mencatatkan dirinya sebagai pemilik 46 hak paten di bidang aeronautika. Desain serta konstruksi pesawat udara yang telah dipatenkan tersebut, juga telah diakui oleh dunia Internasional.

Peringatan sejarah  Sumpah Pemuda seharusnya tidak hanya dilakukan secara simbolis saja, melainkan harus ada kontribusi yang jelas untuk memajukan bangsa. Bukan hanya sekedar wacana yang selalu digiring menjadi pelengkap diskusi. Bahkan Presiden Soekarno pernah menaruh harapan besar kepada para pemuda yang dengan lantang Ia mengatakan dalam pidatonya bahwa “Beri Aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Dan Beri Aku 10 Pemuda Niscaya  akan Kuguncangkan Dunia” .

Begitu pentingnya peran pemuda dalam kemajuan bangsa, sehingga ditangannya jualah kita menaruh harapan yang besar untuk bisa berdiri tegak sejajar dengan bangsa-bangsa yang lainnya. Namun ketika mereka lengah dan lambat sadar diri, maka bangsanya pun tidak akan bertaji. bahkan hanya akan menjadi jajahan serta bawahan oleh bangsa-bangsa yang lain.

Pemuda tempo dulu telah memperlihatkan teladan yang berarti serta mengukir segudang prestasi. Dan mereka juga pasti berharap diri agar para pemuda masa kini dapat meneruskan tradisi prestasi bukan sebagai bangsa yang hanya menjadi penikmat modernisasi, serta tak bertaji dizaman yang serba canggih.

Sudah seharusnya pemuda masa kini segera sadar diri untuk memberikan prestasi, berfikir cerdas dan mandiri, tidak semata-mata mengandalkan kekuasaan, kekayaan ataupun ketenaran ayah bundanya. Seperti pepatah Arab yang mengatakan    

إِنَّ الفَتَى مَنْ يَقُوْلُ ها أَنَذَا   #      وَلَيْسَ الفَتَى مَنْ يَقُوْلُ كَانَ أَبِي

Artinya:

“Pemuda yang Sesungguhnya adalah yang berani mengatakan inilah Aku # dan bukan yang hanya berani mengatakan inilah Ayahku”.

Pemuda masa kini adalah harapan bangsa. Ditangannyalah nasib serta maju mundurnya sebuah negara. Jika kehidupannya hanya dihiasi dengan kegiatan yang tidak bermanfaat, apalagi bermalas-malasan, maka Ia termasuk pemuda yang telah jatuh tempo. Maksudnya adalah pemuda tersebut mati sebelum waktunya. Tentu yang dimaksud bukan mati secara jasad melainkan mati secara prestasi. Ia tidak akan dikenang maupun dikenal oleh generasi berikutnya. Demikanlah pemuda yang jatuh tempo yang hanya tahu menghabiskan hari-harinya begitu saja tanpa ada hasil ataupun prestasi. Bahkan bisa jadi Ia hanya akan menjadi beban negara.

Dengan adanya peringatan peristiwa sejarah semacam ini, diharapkan para pemuda masa kini dengan penuh kesadarannya, berusaha untuk menggali potensi diri agar dapat memberikan kontribusi yang berarti serta kembali menempatkan Indonesia sebagai macan asia yang disegani.

“Salam Soempah Poemuda”

 

 

Ternate, 28 Oktober 2020

 

  

Sabtu, 17 Oktober 2020

Komunikasi Antarsel sebagai cerminan hidup yang lebih manusiawi

Komunikasi Antarsel sebagai cerminan hidup yang lebih manusiawi

Oleh: Muhammad Irfan Hasanuddin

 

Manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah dengan berbagai keunikan. Salah satunya adalah adanya sel sebagai bahan dasar pembentukan jaringan tubuh. Manusia juga mempunyai molekul kimia yag terdiri atas dua bentuk yaitu bentuk bebas dan terikat, bersifat dinamis dan bergerak serta dapat berinteraksi membentuk unit seluler sehingga membentuk organel yang selanjutnya membentuk sel. Jika diteliti lebih jauh, maka kita akan mendapati stuktur anatomi jaringan tubuh manusia yang terdiri dari berbagai sel yang hidup secara berkelompok dan dapat berkomunikasi seperti layaknya manusia.

Disamping itu, sel juga dapat mengeluarkan zat anti bodi untuk melawan zat racun atau toksin. Sel-sel yang telah terkontaminasi racun, dengan cepat akan menyesuaikan diri bahkan akan mengubah metabolismenya untuk mengatasi keadaan darurat tersebut. Hal ini terjadi dikarenakan adanya informasi berita dari luar ke dalam sel, bahkan sampai ke inti sel. Sinyal transduksi dapat berupa urutan reaksi kimia yang memberitahukan berita dari luar ke dalam sel bukan saja bertujuan sebagai pertahanan sel tersebut, melainkan termasuk  program kematian sel atau apoptosis. Ajaibnya, program apoptosis ini bersifat individual, tanpa memberikan informasi kepada sel-sel yang lain. 

Perubahan lingkungan pada suatu sel, akan menyebabkan perubahan pada sel lainnnya. Perubahan atau sinyal tersebut dapat berasal dari  sel tetangganya dan dapat pula bersal dari sel yang jauh, dan anehnya tidak ada komunikasi  atau jalur yang memberi sinyal ke sel yang lain kalau suatu sel akan mati.

Sebagaimana diketahui bahwa di antara sel ada yang berumur pendek,  sedang, bahkan ada pula yang berumur panjang, sesuai dengan hidup manusia yang bersangkutan. Umur sel mukosa dan eptel kulit hanya beberapa jam hingga hitungan hari. Adapun umur sel darah merah lebih kurang 120 hari dan umur sel saraf dapat bertahan hingga bertahun-tahun tergantung usia manusianya. Demikian penjelasan dari M. Nurhalim Sahib salah seorang pakar bidang biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung.

Fenomena seluler tersebut, mengajarkan kepada kita tentang rahasia kematian. Dimana Allah tetap menjaga kerahasiaannya bahkan sampai  ke tingkat seluler. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS al Waqiah: 60

نَحْنُ قَدَّرْنَا بَيْنَكُمُ الْمَوْتَ وَمَا نَحْنُ بِمَسْبُوقِينَ

Terjemah:

“Kami telah menentukan kematian di antara kamu dan Kami sekali-sekali tidak akan dapat dikalahkan,” (QS. Al-Waqi’ah:60).

 

Imam Thabathaba’i memahami ayat tersebut sebagai uraian tentang kekuasaan Allah dalam mengatur segala urusan ciptaan-Nya. Ia berpendapat bahwa wujud manusia yang serba terbatas, mulai dari awal penciptaan hingga akhir kehidupannya di dunia dengan segala hal yang  berkaitan dengannya telah diatur sedemikian rupa oleh Allah SWT.

Para Ilmuan telah menemukan bahwa sel-sel manusia, tumbuhan dan hewan, di dalamnya terdapat DNA genom yang dikhususkan waktu kematian selnya. Saat para ilmuan melakukan percobaan memperpanjang umur pada beberapa sel hewan seperti lalat, justru sel-sel tersebut berubah menjadi sel kanker, sel tersebut bisa dikatakan mati atau berubah menjadi sel kanker, dan berakhir dengan kematian.

Demikian halnya dengan manusia, ketika mencoba untuk memperpanjang kehidupan sel manusia, dengan sendirinya sel-sel akan berubah menjadi sel kanker mematikan, sehingga para ilmuan akhirnya memutuskan bahwa kematian tidak kalah penting untuk kehidupan, dan bahwa ia tidak pernah bisa dihentikan. Oleh sebab itu Allah befirman dalam QS. Ali Imran: 185:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْت

Terjemah:

“Setiap jiwa pasti akan merasakan mati,”

 

Bila pada tingkat molekul bisa berkomunikasi dan bermasyarakat dengan baik, mengapa manusia tidak?. Hal ini perlu kita sadari dan hayati. Adanya komunukasi antarasel dan antara molekul itulah yang menyebabkan manusia dapat hidup normal. Berkaitan dengan hal tersebut, telah dikembangkan pula bahwa molekul dari seseorang dapat berinteraksi dengan molekul orang lain, bahkan molekul tertentu dapat digunakan untuk mengenal Ibu dengan anak atau ayah dengan anaknya.

Lebih mutakhir lagi, pengenalan antar suku dan bangsa dapat melalui melokul DNA. Demikian firman Allah dalam QS al-Hujurat ayat 13 yang terjemahannya: Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal”.

Olehnya itu salah satu hikmah diciptakannya sel maupun molekul yang berbeda-beda baik itu sifat maupun bentuknya, tidak lain agar bisa berkomunikasi. Jika sel atau molekul dapatberkomunikasi dengan baik, mengapa manusia tidak ?. Mari berkomunikasi, berinteraksi agar tercipta kehidupan yang lebih manusiawi.

 

Wallahu ‘ala>m bish Shawa>b

     

 

Ternate, 18 Oktober 2020

Senin, 05 Oktober 2020

Prestasi = (Keterampilan atau Penampilan) ?

Prestasi = (Keterampilan atau Penampilan) ?


Oleh: Muhammad Irfan Hasanuddin

Meraih prestasi masih menjadi motif utama dalam melakukan sebuah kompetisi. Namun seperti yang kita ketahui bersama, tingkat kemampuan maupun keampuhan manusia tidaklah sama. Ada yang mengalami jatuh bangun, terseok-seok, geloyoran dan ada pula yang memiliki kemampuan yang luar biasa bahkan diatas rata-rata.

Bagi yang tidak kuat dan lemah dalam berkompetisi, dengan cepat akan tersisih dan tidak sedikit yang akan merasa iri, sehingga segala daya dan upaya dikerahkan untuk mempertahankan harga diri. Padahal sebuah prestasi dalam kompetisi tergantung pada motivasi atau kemauan, kemampuan, maupun keampuhan.

Dan bukan sesuatu yang mengherankan ketika banyak orang yang melakukan berbagai cara untuk ditempuhnya demi mempertahankan gengsi dan harga diri, tanpa peduli apakah itu halal atau haram, bahkan merugikan diri sendiri atau orang lain. Barangkali falsafah Machiavvelli telah merasuk ke dalam jiwanya sehingga mereka beranggapan bahwa “dalam tujuan bisa menghalalkan berbagai cara”. Mereka yang kental dengan warisan Belanda menyebutnya “het doel heiligh de middelen”, yang keinggris-inggrisan menyebutnya “the end justtifies the mean” atau yang berlaku di kalangan Arab dengan istilah “al-ghayatu tubarirul washilah”.

Olehnya itu tidaklah mengherankan bila kita menyaksikan pola tingkah manusia guna sekedar meraih dan memperoleh pujian dan sanjungan, melalui pola tingkah yang bermacam-macam, tanpa menempuh jalan kesulitan. Seorang mahasiswa misalnya, agar dirinya dianggap pandai melalui takaran dan ukuran IP (indeks prestasi), maka Ia pun mengupayakan untuk mendatangi dosennya atau dengan cara lain agar IP-nya bisa tinggi. kita juga tidak heran bila ada orang yang mengaku usahawan, ketika agunan atau jaminannya diperiksa oleh pihak bank guna memperoleh fasilitas kredit, maka diupayakanlah agar tampak bonafid dengan mendatangkan peralatan mesin serta tenaga kerja milik temannya.

Bahkan pernah terjadi disuatu daerah, yaitu perlombaan desa, dan desa tersebut pernah menjuarai tingkat nasional walaupun yang ditonjolakan hanyalah dari segi penampilan saja tanpa mengedepankan adanya keterampilan. Tentu penilaian ini membuat pihak lain menjadi bengong dan bingung, serta bertanya-tanya mengapa bisa mendapat predikat juara?. Padahal kenyataannya di desa tersebut sama sekali tidak terdapat kemajuan dan kelajuan.  

Demikian pula akibat yang didapat dari usahawan atau mahasiswa seperti diatas. Tentu saja akibat negatifnya lebih besar dari segi positifnya, mudharatnya lebih besar dari pada manfaatnya. Alasannya dikarenakan amal perbuatannya hanya bersifat suguhan bukan bersifat sungguhan. Bila  hal tersebut ditelusuri lebih jauh, maka kita akan mendapati sikap menipu diri (musyawilah), karena antara penampilan dengan keterampilan tidak sama, antara pengakuan dengan kelakuan tidak seimbang, dan akibatnya antara harapan dan garapan tidak mampu menunjang masa depan. Itulah yang disebut nifaq dalam hal prestasi yang hanya semata-mata mengejar prestise.

Wallahu ‘alam bish shawab

 

Ternate, 6 Oktober 2020

 

 

 

 

Sabtu, 03 Oktober 2020

Manusia Statis VS Manusia Kompetitif

 Manusia Statis VS Manusia Kompetitif

Oleh: Muhammad Irfan Hasanuddin

 

Manusia adalah makhluk yang Allah ciptakan dengan sebaik-baik bentuknya. Demikian redaksi al-Qur’an (QS al-Tin:4) mengenai hal tersebut. Namun dibalik bentuk terbaiknya, terdapat dua jenis karakter atau tipe yang secara umum dapat mendiami diri manusia. Yaitu, tipe manusia yang statis dan manusia kompetitif.

Makna statis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia  diartikan sebagai suatu keadaan yang tidak memperlihatkan adanya pergerakan, cenderung diam, dan tidak aktif. Sedangkan kompetitif diartikan sebagai sesuatu hal yang berkaitan tentang kompetisi (persaingan) atau dapat juga berarti memiliki kemauan yang keras.

Dalam hal kaitannya dengan tipe manusia, jenis manusia yang statis terkadang menyandarkan segala ketergantungan hidupnya baik itu pada kelompok, lembaga atau seseorang yang memberinya naungan. Dan bahkan sangat tergantung pada kondisi lingkungannya. Tipe seperti ini juga terkadang memiliki karakter yang mudah puas terhadap sesuatu, malas mengembangkan imajinasi menjadi prestasi, dan bahkan lebih mendominasi kebiasaan buruknya seperti tidur pulas, dalam artian tertidurnya ide-ide cemerlang hingga brilian, dan akhirnya cita-cita hanyalah tinggal sebatas harapan serta garapan yang takkan pernah kesampaian.   

Hal yang berbeda ditunjukkan oleh tipe manusia kompetitif, dimana tipe yang satu ini memiliki pendirian serta kemandirian yang diwujudkan dalam bentuk amal/ perbuatan (action) dengan berorientasi pada prestasi atau hasil usaha. Manusia yang memiliki jiwa kompetitif senantiasa aktif serta kreatif dalam mengelola hidup, tidak mengemis-ngemis untuk mendapatkan fasilitas, apalagi mewujudkan sesuatu dengan jalan pintas.

Berhadapan dengan sebuah resiko bukan menjadi sebuah persoalan. Karena bagi tipe manusia kompetitif menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang lumrah atau wajar. Mereka punya prinsip bahwa tidak ada orang yang sukses tanpa memliki keberanian untuk mengambil resiko, tentunya melalui perhitungan yang jelas. Dan menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bila amal perbuatan terealisasi dengan usaha secara mandiri. Ketika diukur dengan sebuah evaluasi atau supervisi, dengan bangga dan mendabik dada meraka seraya mengucap syukur kepada sang maha kuasa atas segala karunia, serta telah mengangkat gengsi (prestise) dan harga diri.

Olehnya itu tipe manusia statis membutuhkan bimbingan yang khusus untuk mengembangkan setiap ide-ide atau gagasan. Hal ini dimaksudkan agar supaya setiap angan dan cita-citanya dapat terealisasi atau tertuang dalam bentuk amal perbuatan, bukan hanya sekedar bunga-bunga impian yang tak kunjung kesampaian.

Demikian juga dengan tipe manusia kompetitf, agar terus mengembangkan daya kreasi serta imajinasi, hingga memelihara sebuah tradisi yang positif , serta meningkatkan prestasi agar mampu memiliki daya saing.

 

Ternate, 4 Oktober 2020

 


Senin, 28 September 2020

Antara Berjiwa Kerdil dan Berjiwa Besar

 

Antara Berjiwa Kerdil dan Berjiwa Besar

Oleh: Muhammad Irfan Hasanuddin



Dalam mengarungi samudera kehidupan, manusia tidak pernah terlepas dari yang namanya ujian dan cobaan. Sebab hal tersebut merupakan bahagian dari tantangan. Bahkan menurut salah seorang sejarawan terkenal yaitu Arnold Toynbee mengatakan bahwa jika masyarakat mau maju, maka harus melalui tantangan. Tantangan tersebut tidak dimaksudkan untuk mematikan semangat, melainkan untuk menggugah semangat agar senantiasa tanggap terhadap lingkungannya.

Seperti halnya dalam sebuah kompetisi, seseorang yang berjiwa kerdil biasanya memiliki keberanian untuk tampil jika Ia menganggap usahanya akan berhasil, akan tetapi bila ada indikasi kegagalan, maka dengan segera Ia akan mundur. Bahkan jika Ia kalah, biasanya cenderung menyalahkan orang lain. Berbeda halnya dengan orang yang berjiwa besar, Ia lebih senang menghadapi kehidupan dengan penuh tantangan, bahkan menganggapnya sebagai lambang dari dinamika serta romantika kehidupan.

Meraka juga  berpendapat bahwa hidup yang penuh dengan ujian, akan lebih memberi hikmah dibandingkan dengan hidup yang penuh dengan pujian, dan senantiasa mendorong serta menggiring kita bersikap dewasa, sadar hingga sabar atas segala kehendak yang maha kuasa. Lain halnya dengan seseorang yang hidup dalam ujaran pujian, biasanya ia akan merasa serba bisa dalam segala hal, dan akhirnya bukan solusi yang diberikan melainkan ia akan menyeret serta menjerat kita ke lubang bahaya. Semuanya ini dikarenakan ketidak tahuan terhadap kelemahan serta kekurangannya.

Setiap manusia akan diuji sesuai dengan kadar dan keadaan, porsi, serta sesuai dengan posisinya pada ruang gerak kehidupan. Hal ini sejalan dengan apa yang telah difirmankan oleh Allah dalam QS al-Baqarah: 286

لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ

Terjemah:

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya.”

Ulama tafsir memberikan komentar terhadap ayat di atas, bahwa batas kemampuan setiap manusia berbeda-beda dalam menghadapi ujian dari Allah. Misalnya ujian yang diberikan kepada Nabi atau Rasul. Tentunya ujian pada tingkatan tersebut lebih berat dari pada manusia biasa. sebut saja Rasulullah Muhammad SAW yang dengan sabar mengahadapi kaum jahiliyah yang setiap saat datang menerornya serta mengancam keselamatan jiwanya.

Dalam hal yang berkaitan dengan persoalan lingkungan sosial, ujian tersebut dimulai dari sejak bagaimana mengatur hubungan keluarga, tetangga, sahabat, kerabat, lingkungan masyarakat baik itu yang terjauh maupun yang terdekat. Selain lingkungan sosial, dalam hal persoalan ekonomi juga tak kalah hebat bentuk ujiannya. Mulai dari kesulitan/kepahitan hidup, terputusnya mata pencaharian, sumber dana berkurang dikarenakan bencana yang kian melanda, hingga susahnya/sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan.

Kondisi seperti di atas, bila kita tidak berani mengubah kepasrahan menjadi optimis, maka ujian atau cobaan tersebut akan menjadi penghambat untuk melakukan pembenahan dalam persoalan kehidupan. Dan hanya akan duduk berpangku tangan dalam menghadapi rintangan maupun cobaan yang dihadapinya.    

Olehnya itu, ayat di atas menjadi pengingat bagi kita saat sedang terpuruk serta punya banyak beban hidup. tentunya sebagai orang yang beriman, berserah diri atau tawakkal kepada Allah menjadi senjata terakhir setelah melaksanakan do’a dan usaha.  

 

Wallahu ‘Alam Bi al- Shawab

 

 

Ternate, 29 Agustus 2020

 

asasas

 sasasasas