Menghadirkan Dzauq Dalam Setiap Aktivitas Literasi
Oleh
: Muhammad Irfan Hasanuddin
Terinspirasi
dari materi yang telah dibawakan oleh Dr Muhsin Kalida (Dosen UIN Sunan
Kalijaga Jogyakarta) pada acara Jagongan Literasi Seri 2 yang kali ini mengangkat
tema PSYCHOWRITING. Ada banyak hal yang beliau sampaikan dalam materinya
tersebut, antara lain, tentang pentingnya menumbuhkan rasa ketika
menulis. Tentu hal tersebut terbilang sulit. Olehnya itu dibutuhkan sebuah
dorongan dari dalam diri untuk menumbuhkannya. Salah satu solusi yang beliau
berikan adalah menjadikan kegiatan menulis sebagai kebutuhan. Ketika
mampu memasukkan sugesti kalimat tersebut
dalam diri kita, maka dengan sendirinya akan memperoleh sebuah dorongan untuk
memulai aktivitas menulis.
Menganggap
kegiatan menulis sebagai kebutuhan sebenarnya merupakan tingkatan yang paling
sulit bagi seorang pemula. Diibaratkan dengan shalat, maka kita akan mendapati tingkatan
orang-orang yang melakukannya. Antara lain ada menganggap bahwa shalat itu
adalah sebuah kewajiban, keterpaksaan maupun kebutuhan.
Jika
mereka menganggap shalat itu sebagai
kewajiban, maka ketika melakukannya, mereka hanya punya motif ingin sekedar terbebas dari siksa neraka sebab
mereka memahami sesuai dengan teks atau dalil-dalil yang mengarah kepada ancaman
terhadap orang-orang yang tidak mau melakukan sholat. Artinya merasa berdosa
ketika tidak melaksanakannya.
Demikian
halnya dengan orang yang menganggap bahwa shalat itu sebagai keterpaksaan. Bisa
jadi ketika melakukannya, dia tidak akan konsisten bahkan tidak merasa berdosa
ketika meninggalkan shalat. Sebab tipe orang seprti ini, hanya mau melakukannya
ketika ada tekanan atau dalam suasana keterpaksaan, baik itu perintah orang
tua, guru, dan yang lainnya.
Namun
hal yang berbeda ditunjukkan oleh orang-orang yang menjadikan shalat sebagai kebutuhan.
Dengan penuh kesadaran diri tanpa ada tekanan dan beban apapun, Ia akan melaksanakan
shalat dengan penuh keikhlasan. Dan bahkan ketika tiba waktu shalat, maka
secara otomatis hatinya akan tergerak untuk segera melaksanakannya.
Muhsin
Kalida menambahkan bahwa Imam al-Ghazali beserta karya monumentalnya Ihya ‘Ulm
al-Din telah banyak memberikan inspirasi tentang arti pentingnya sebuah
karya literasi. Namun lagi-lagi menumbuhkan mood untuk menulis tidak semudah
yang dibayangkan. Jika dalam dunia tasawwuf terdapat pembahasan tentang dzauq
(rasa), demikian pula dalam persoalan literasi baik itu kegiatan membaca maupun
menulis.
Menurut
al-Ghazali, istilah dzauq merupakan sebuah kegiatan untuk menghadirkan
hati (hudhur al-Qalb) ketika berzikir kepada Allah secara kontinyu
(istiqamah). Dzauq yang dirasakan oleh seorang salik (orang yang
menjalani disiplin spritual dalam menempuh jalan sufisme Islam), adalah
bahagian awal dari kondisi spritual pada proses pengungkapan diri kepada Allah (tajalli).
Kondisi
spritual seperti ini sangat mirip dengan kondisi yang dirasakan oleh seorang
penulis ketika ingin memulai karya tulisnya. Dalam memulai aktivitas menulis
hal pertama yang perlu menjadi perhatian adalah bagimana kita bisa menghadirkan
rasa butuh terhadap kegiatan menulis layaknya sebuah perjalanan
spiritual tentu butuh pembiasaan hingga keistiqamahan dalam mengubah sebuah
kebiasaan atau melawan rasa malas. Setelah berhasil menghadirkan ruang (rasa
butuh) untuk menulis, maka secara otomatis akan membuka peluang atau kesempatan
dalam merangkai kata demi kata hingga menjadi sebuah kalimat.
Dr Ngainun
Naim (ketua LP2M IAIN tulungagung) yang bertindak sebagai
pendamping narasumber, ikut memberikan nasehat bahwa ketika ingin menjadi
seorang penulis, maka jangan tunggu mood baru mau menulis, akan tetapi mood itu
seharusnya diciptakan sendiri. Merangkai kalimat sebanyak 5 paragraf setiap
hari juga termasuk sarana untuk melatih suasana hati dalam proses menulis. Dan bahkan
merasa berdosa ketika tidak menulis bisa dijadikan sebagai sugesti untuk
menambah semangat dalam berliterasi. Disamping itu, membangun relasi kepada
orang-orang yang kita yakini mampu memberikan dampak positif untuk membangun
budaya literasi, juga menjadi salah satu jalan untuk menumbuhkan dzauq literasi.
Olehnya
itu, dzauq bukan hanya dirasakan oleh para salik yang menempuh jalan
spritual saja, akan tetapi orang-orang
yang bergelut di dunia literasipun dapat merasakan hal yang sama ketika
menjalani aktivitasnya.
Wallahu ‘alam bis shawab
Ternate 3 November 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar