Senin, 02 November 2020

Menghadirkan Dzauq Dalam Setiap Aktivitas Literasi

 Menghadirkan Dzauq Dalam Setiap Aktivitas Literasi

Oleh : Muhammad Irfan Hasanuddin

 


Terinspirasi dari materi yang telah dibawakan oleh Dr Muhsin Kalida (Dosen UIN Sunan Kalijaga Jogyakarta) pada acara Jagongan Literasi Seri 2 yang kali ini mengangkat tema PSYCHOWRITING. Ada banyak hal yang beliau sampaikan dalam materinya tersebut, antara lain, tentang pentingnya menumbuhkan rasa ketika menulis. Tentu hal tersebut terbilang sulit. Olehnya itu dibutuhkan sebuah dorongan dari dalam diri untuk menumbuhkannya. Salah satu solusi yang beliau berikan adalah menjadikan kegiatan menulis sebagai kebutuhan. Ketika mampu memasukkan sugesti  kalimat tersebut dalam diri kita, maka dengan sendirinya akan memperoleh sebuah dorongan untuk memulai aktivitas menulis.

Menganggap kegiatan menulis sebagai kebutuhan sebenarnya merupakan tingkatan yang paling sulit bagi seorang pemula. Diibaratkan dengan shalat, maka kita akan mendapati tingkatan orang-orang yang melakukannya. Antara lain ada menganggap bahwa shalat itu adalah sebuah kewajiban, keterpaksaan maupun kebutuhan.

Jika mereka menganggap shalat itu  sebagai kewajiban, maka ketika melakukannya, mereka hanya punya motif  ingin sekedar terbebas dari siksa neraka sebab mereka memahami sesuai dengan teks atau dalil-dalil yang mengarah kepada ancaman terhadap orang-orang yang tidak mau melakukan sholat. Artinya merasa berdosa ketika tidak melaksanakannya.

Demikian halnya dengan orang yang menganggap bahwa shalat itu sebagai keterpaksaan. Bisa jadi ketika melakukannya, dia tidak akan konsisten bahkan tidak merasa berdosa ketika meninggalkan shalat. Sebab tipe orang seprti ini, hanya mau melakukannya ketika ada tekanan atau dalam suasana keterpaksaan, baik itu perintah orang tua, guru, dan yang lainnya.

Namun hal yang berbeda ditunjukkan oleh orang-orang yang menjadikan shalat sebagai kebutuhan. Dengan penuh kesadaran diri tanpa ada tekanan dan beban apapun, Ia akan melaksanakan shalat dengan penuh keikhlasan. Dan bahkan ketika tiba waktu shalat, maka secara otomatis hatinya akan tergerak untuk segera melaksanakannya.

Muhsin Kalida menambahkan bahwa Imam al-Ghazali beserta karya monumentalnya Ihya ‘Ulm al-Din telah banyak memberikan inspirasi tentang arti pentingnya sebuah karya literasi. Namun lagi-lagi menumbuhkan mood untuk menulis tidak semudah yang dibayangkan. Jika dalam dunia tasawwuf terdapat pembahasan tentang dzauq (rasa), demikian pula dalam persoalan literasi baik itu kegiatan membaca maupun menulis.

Menurut al-Ghazali, istilah dzauq merupakan sebuah kegiatan untuk menghadirkan hati (hudhur al-Qalb) ketika berzikir kepada Allah secara kontinyu (istiqamah). Dzauq yang dirasakan oleh seorang salik (orang yang menjalani disiplin spritual dalam menempuh jalan sufisme Islam), adalah bahagian awal dari kondisi spritual pada proses pengungkapan diri kepada Allah (tajalli).

Kondisi spritual seperti ini sangat mirip dengan kondisi yang dirasakan oleh seorang penulis ketika ingin memulai karya tulisnya. Dalam memulai aktivitas menulis hal pertama yang perlu menjadi perhatian adalah bagimana kita bisa menghadirkan rasa butuh terhadap kegiatan menulis layaknya sebuah perjalanan spiritual tentu butuh pembiasaan hingga keistiqamahan dalam mengubah sebuah kebiasaan atau melawan rasa malas. Setelah berhasil menghadirkan ruang (rasa butuh) untuk menulis, maka secara otomatis akan membuka peluang atau kesempatan dalam merangkai kata demi kata hingga menjadi sebuah kalimat.

Dr Ngainun Naim (ketua  LP2M  IAIN tulungagung) yang bertindak sebagai pendamping narasumber, ikut memberikan nasehat bahwa ketika ingin menjadi seorang penulis, maka jangan tunggu mood baru mau menulis, akan tetapi mood itu seharusnya diciptakan sendiri. Merangkai kalimat sebanyak 5 paragraf setiap hari juga termasuk sarana untuk melatih suasana hati dalam proses menulis. Dan bahkan merasa berdosa ketika tidak menulis bisa dijadikan sebagai sugesti untuk menambah semangat dalam berliterasi. Disamping itu, membangun relasi kepada orang-orang yang kita yakini mampu memberikan dampak positif untuk membangun budaya literasi, juga menjadi salah satu jalan untuk menumbuhkan dzauq literasi.

Olehnya itu, dzauq bukan hanya dirasakan oleh para salik yang menempuh jalan spritual saja, akan tetapi  orang-orang yang bergelut di dunia literasipun dapat merasakan hal yang sama ketika menjalani aktivitasnya.

 

Wallahu ‘alam bis shawab

Ternate 3 November 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

asasas

 sasasasas