Prestasi
= (Keterampilan atau Penampilan) ?
Oleh:
Muhammad Irfan Hasanuddin
Meraih
prestasi masih menjadi motif utama dalam melakukan sebuah kompetisi. Namun seperti
yang kita ketahui bersama, tingkat kemampuan maupun keampuhan manusia tidaklah
sama. Ada yang mengalami jatuh bangun, terseok-seok, geloyoran dan ada pula
yang memiliki kemampuan yang luar biasa bahkan diatas rata-rata.
Bagi
yang tidak kuat dan lemah dalam berkompetisi, dengan cepat akan tersisih dan
tidak sedikit yang akan merasa iri, sehingga segala daya dan upaya dikerahkan
untuk mempertahankan harga diri. Padahal sebuah prestasi dalam kompetisi tergantung
pada motivasi atau kemauan, kemampuan, maupun keampuhan.
Dan bukan
sesuatu yang mengherankan ketika banyak orang yang melakukan berbagai cara untuk
ditempuhnya demi mempertahankan gengsi dan harga diri, tanpa peduli apakah itu
halal atau haram, bahkan merugikan diri sendiri atau orang lain. Barangkali
falsafah Machiavvelli telah merasuk ke dalam jiwanya sehingga mereka
beranggapan bahwa “dalam tujuan bisa menghalalkan berbagai cara”. Mereka yang
kental dengan warisan Belanda menyebutnya “het doel heiligh de middelen”,
yang keinggris-inggrisan menyebutnya “the end justtifies the mean” atau
yang berlaku di kalangan Arab dengan istilah “al-ghayatu tubarirul washilah”.
Olehnya
itu tidaklah mengherankan bila kita menyaksikan pola tingkah manusia guna
sekedar meraih dan memperoleh pujian dan sanjungan, melalui pola tingkah yang
bermacam-macam, tanpa menempuh jalan kesulitan. Seorang mahasiswa misalnya,
agar dirinya dianggap pandai melalui takaran dan ukuran IP (indeks prestasi),
maka Ia pun mengupayakan untuk mendatangi dosennya atau dengan cara lain agar
IP-nya bisa tinggi. kita juga tidak heran bila ada orang yang mengaku usahawan,
ketika agunan atau jaminannya diperiksa oleh pihak bank guna memperoleh
fasilitas kredit, maka diupayakanlah agar tampak bonafid dengan mendatangkan
peralatan mesin serta tenaga kerja milik temannya.
Bahkan
pernah terjadi disuatu daerah, yaitu perlombaan desa, dan desa tersebut pernah
menjuarai tingkat nasional walaupun yang ditonjolakan hanyalah dari segi
penampilan saja tanpa mengedepankan adanya keterampilan. Tentu penilaian ini
membuat pihak lain menjadi bengong dan bingung, serta bertanya-tanya mengapa
bisa mendapat predikat juara?. Padahal kenyataannya di desa tersebut sama
sekali tidak terdapat kemajuan dan kelajuan.
Demikian
pula akibat yang didapat dari usahawan atau mahasiswa seperti diatas. Tentu saja
akibat negatifnya lebih besar dari segi positifnya, mudharatnya lebih besar
dari pada manfaatnya. Alasannya dikarenakan amal perbuatannya hanya bersifat
suguhan bukan bersifat sungguhan. Bila hal
tersebut ditelusuri lebih jauh, maka kita akan mendapati sikap menipu diri
(musyawilah), karena antara penampilan dengan keterampilan tidak sama, antara
pengakuan dengan kelakuan tidak seimbang, dan akibatnya antara harapan dan
garapan tidak mampu menunjang masa depan. Itulah yang disebut nifaq dalam
hal prestasi yang hanya semata-mata mengejar prestise.
Wallahu
‘alam bish shawab
Ternate, 6 Oktober 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar