Sabtu, 20 Februari 2021

Inspirasi Qur’ani (Larangan bersikap dan bersifat tajassus )

                     Inspirasi Qur’ani (Larangan bersikap dan bersifat tajassus )

Oleh:

Muhammad Irfan Hasanuddin


 

Beberapa waktu yang lalu, pengguna media sosial kembali dihebohkan dengan pemberitaan seorang artis ternama yang diduga merebut lelaki orang (suami) dari istri yang sah atau lebih populer dengan sebutan PELAKOR. Pengguna media sosialpun tak mau melewatkan pemberitaan yang satu ini. Akhirnya komentar-komentar pedaspun bertebaran dimana-mana ibarat badai yang menghantam sebuah negeri.

Pujian-pujian yang pernah disematkan kepadanya sebagai salah satu generasi milenial yang telah membumikan shalawat utamanya kepada generasi muda, kini telah tenggelam oleh hujatan yang kian menghantam.

Penulispun teringat pada sebuah kisah yang pernah populer dimedia sosial, dimana salah seorang guru matematika menuliskan materi soal perkalian beserta jawabannya di atas papan tulis. Terdapat 10 soal yang Ia tulis lengkap dengan jawabannya masing-masing, akan tetapi nampak terlihat sebuah kejanggalan, dimana pada deretan pertama Ia menuliskan jawaban yang salah, yaitu 5 x 1 = 7. Setelah selesai menulis dipapan tulis, Ia pun berdiri dihadapan para murid yang sedang tertawa disebabkan oleh jawaban salah yang telah ditulisnya.

Beberapa menit kemudian, para muridnya diminta untuk diam sejenak untuk mendengarkannya berbicara. Ia mengatakan bahwa “saya tahu bahwa kalian tertawa karena saya telah menuliskan jawaban yang salah pada deretan pertama”, hal tersebut sengaja saya lakukan karena saya ingin kalian belajar sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan. Ketahuilah para muridku sekalian bahwa seperti itulah gambaran dunia yang kelak akan kalian hadapi. Kalian saksikan sendiri bahwa saya telah menjawab benar sebanyak 9 kali, akan tetapi tidak satupun dari kalian yang memujiku, malahan kalian semua hanya tertawa terbahak-bahak bahkan mengkritik saya dikarenakan hanya satu jawaban salah yang saya lakukan.

Olehnya itu kalian harus menyadari dan merenungkannya bahwa dunia tidak akan memujimu untuk hal-hal baik yang telah kalian lakukan meskipun berulang kali, akan tetapi dunia akan siap mengkritik dan menertawakan kalian untuk sebuah kesalahan meskipun hal tersebut terlihat sepeleh. Namun janganlah berkecil hati, teruslah bangkit di atas tertawaan dan berbagai kritikan, kuatkanlah hatimu, karena Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya yang mau bersabar dalam menghadapi cobaan dunia. Akhirnya para muridpun terdiam dan terlihat malu seraya menundukkan kepala, mereka menyesali perbuatannya yang telah menertawakan Gurunya tersebut.

Dari kasus tersebut, kita dapat mengambil hikmah bahwa terkadang dunia ini tidak akan kehabisan stok dari orang-orang yang sangat siap dan sigap untuk mengkritik serta mencari-cari kesalahan kita dari segala arah, yang dalam bahasa agama di sebut dengan istilah tajassus.      

Tajassus adalah sebuah term yang biasanya dipakai untuk mematai-matai seseorang (spionase) atau bisa diartikan sebagai orang yang sengaja mengorek-orek sebuah berita dengan tujuan untuk mendapatkan informasi. Term tersebut berasal dari kata jassa-yajussu-jassan yang kemudian pada awal katanya diberi imbuhan huruf ta dan diberi tasydid pada huruf sinnya, maka menjadilah kata tajassasah-yatajassasu-tajassusan yang memiliki makna menyelidiki atau memata-matai. Hal ini senada dengan yang dinukilkan oleh  Imam Ibn Manzhur dalam kitabnya lisan al-‘Arab yang memaknai  tajassus sebagai “bahatsa ‘anhu wa fahasha” artinya mencari berita atau menyelidiki.

Dari definisi tersebut, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan tajassus ialah mencari-cari kesalahan orang lain dengan cara menyelidiki atau memata-matainya.  Term ini juga memiliki kemiripan dengan bahasa yang sering digunakan oleh media sosial, yaitu kata ngejust atau menjust. Dimana term ini memiliki makna menilai, menghakimi, menggelari, bahkan lebih spesifik dengan istilah mengkritisi, mensiriki/ dengki atau mencemburui. Sesuai dengan asal katanya yang diambil dari bahasa inggris yaitu kata “jugde”yang berarti hakim atau wasit.

Apapun maknanya, istilah tajassus atau yang lebih populer dikalangan milenial dengan sebutan ngejust, termasuk akhlak yang tercela dan bahkan keterangan dalam al-Qur’an maupun Hadis disarankan untuk menjauhinya. Allah SWT berfirman dalam QS al-Hujurat ayat 12     

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ

Terjemah:

“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang”.

Pada ayat tersebut, Allah swt memerintahkan kita agar menjauhi perbuatan prasangka (yang berlebihan), sebab hal tersebut dapat mengarahkan kita kepada perbuatan dosa. Kemudian Allah swt melanjutkan ayatnya dengan melarang kita untuk menggunjing seseorang hingga mencari-cari kesalahannya, baik itu dengan cara menyelidikinya secara langsung maupun bertanya kepada temannya. Sesuai dengan term tajassasu yang oleh mayoritas ulama tafsir menafsirkannya dengan makna mencari-cari kesalahan orang lain, tujuannya semata-mata untuk melakukan tindak kejahatan. Berbeda halnya dengan penggunaan kata tahassasu yang kadang digunakan untuk mencari dan menggali informasi yang baik. Sebagaimana firman Allah dalam QS Yusuf ayat 87

يَا بَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ

Terjemah:

“(Ya’qub berkata) “Wahai anak-anakku, pergilah kalian, carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya…

Dalam riwayatpun banyak disinggung oleh Nabi saw agar menjauhi perbuatan tajassus, misalnya hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab shahihnya nomor 6064 dan Imam Muslim nomor 2563

إِيَّا كُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَلاَ تَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ تَحَاسَدُوا وَلاَتَدَابَرُوا وَلاَتَبَاغَضُوا وَكُوْنُواعِبَادَاللَّهِ إحْوَانًا

Artinya:

“Berhati-hatilah kalian dari tindakan buruk sangka, sebab hal tersebut adalah sedusta-dustanya ucapan. Dan janganlah kalian saling mencari-cari kejelekan orang lain, memata-matai, mendengki, membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang memiliki rasa persaudaraan.”

Seorang ulama ternama yaitu Imam Abu Hatim Ibn Hibban al-Busthi pernah berkata: bahwa “orang yang berakal, wajib mencari keselamatan untuk dirinya dengan cara menghidari perbuatan tajassus, kemudian Ia harus sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri serta melupakan kejelekan yang ada pada orang lain. Dengan begitu hati akan menjadi tentram dan damai. Setiap kali Ia melihat kejelakan orang lain, Ia mengembalikan kepada dirinya yang juga memiliki kejelekan (aib). Sementara orang yang senantiasa sibuk memperhatikan kejelekan orang lain dan melupakan kejelekan diri sendiri, maka hatinya akan menjadi buta, tubuhnya akan menjadi letih, serta akan sangat sulit baginya untuk meninggalkan kebiasaan buruknya.”

والله أعلم بالصواب

 

 

Ternate, 21 Februari 2021

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

asasas

 sasasasas