Selasa, 26 Mei 2020

Makna Filosofis Burasa', Ketupat Dan Coto Makassar

Burasa', Ketupat Dan Coto Makassar

Coto Makassar dengan Buras - Foto Coto Nusantara, Makassar ...

Oleh: Muh. Irfan Hasanuddin

Hari kemenangan telah tiba, dan status baru pun (kembali fitrah) telah disandang bagi mereka yang telah melaksanakan ibadah selama bulan suci ramadhan. Saling mengunjungi (ziarah) pun turut menghiasi kegembiraan di hari raya. di tengah pandemi covid-19 ini  kita hanya bisa bersilaturrahim lewat virtual saja. Tentu kurang lengkap rasanya karena tidak dapat saling berjabat tangan. Namun hal itu tidak mengurangi rasa khidmat kita untuk saling bermaaf-maafan.

Burasa’, Ketupat, hingga coto Makassar tentu menjadi menu favorit suku bugis makassar dalam melengkapi kebersamaan di hari raya. Kuliner tersebut bukanlah sebatas panganan pelengkap  saja, namun pemilihan buras, ketupat hingga coto Makassar dalam menu hidangan hari raya penuh dengan makna filosofis yang dalam.

Burasa’ (logat Sulawesi) atau Buras adalah  salah satu panganan khas masyarakat Bugis Makassar yang terbuat dari beras yang bukan pulut kemudian ditanak  hingga setengah matang lalu diaduk  dengan santan kelapa asli dan selanjutnya dibungkus dengan daun pisang yang kata orang sulawesi haram hukumnya jika dibungkus pake kertas koran karena bisa hancur ketika dimasak. Biasanya dibuat menjaid dua, tiga, bahkan empat bahagian ya mirip-mirip lah QS an-Nisa: 3. Kemudian diikat menggunakan tali rapiah atau tali yang lain sehingga menjadi satu bahagian yang tak terpisahkan. Setelah itu barulah dimasak hingga matang dan siap disantap dengan opor ayam atau coto makassar.

Dahulu kala buras digunakan oleh masyarakat bugis makassar sebagai bekal ketika bepergian. Dan kebiasaan tersebut dilakukan hingga sekarang ketika seseorang ingin mengadakan perjalanan jauh, maka biasanya ia dibekali oleh keluarganya dengan burasa’ sebagai makna dari sennu sennureng atau dalam bahasa agama disebut (تَفَاعُل ) optimisme. Dengan harapan sekalipun kita  dalam perantauan, namun hatinya tetap menyatu. Itu sebabnya bentuk burasa’ terdiri dari batangan tunggal yang pipih kemudian diikat menjadi satu kesatuan. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS Ali Imran: 103: ”Wa’tasimu bihablillahi jami’an wala tafarroqu...” yang terjemahannya: (dan berpegang teguhlah kalian semuanya pada tali (agama) Allah dan janganlah bercerai berai).

Mulai dari awal pembuatan burasa’ sudah memiliki makna yang luar biasa, dimana kita diajarkan untuk senantiasa memiliki sifat gotong royong atau saling tolong-menolong. Hal ini tergambar dari cara pembuatannya yang dilakukan oleh beberapa orang saling bekerja sama tujuannya agar pekerjaan tersebut  lebih mudah dan ringan, tentu  jika dikerjakan oleh satu orang saja maka akan terasa sulit dan berat, tenaga lebih terkuras dan memakan waktu yang lebih lama. Bukankah dalam agama kita senantiasa dianjurkan untuk saling membantu satu sama lain sebagaimana firman Allah dalam QS al-Maidah: 2:“wa ta ‘awanu alal birri wat taqwa wala ta’awanu alal ismi wal ‘udwan” (dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan...).

Demikian halnya dengan ketupat atau bahasa lainnya kupat, yang juga memiliki makna filosofi yang luar biasa. Menurut ahli sejarah istilah ketupat sudah ada sejak masa kerjaan majapahit dan pajajaran, yang merupakan demitologisasi dan desakralisasi pemujaan Dewi Sri yang dimuliakan. Ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa istilah kupat atau kupatan pertama kali dipopulerkan oleh Raden Mas Said atau sunan Kalijaga sebagai bentuk hari raya bagi orang-orang yang melaksanakan puasa syawal selama enam hari.

Ketupat  atau kupat  sendiri merupakan singkatan dari farasa dalam bahasa jawa “ngaku lepat” yang maknanya mengakui kesalahan, yang biasanya dibarengi dengan tradisi sungkeman yang dilakukan dengan bersimpuh dihadapan orang tua sambil meminta maaf atas berbagai kesalahan terdahulu.

Ketupat dibuat menggunakan janur yaitu daun kelapa yang menjadi bahan pembungkus, yang dalam filosofi jawa dikenal dengan nama “jatining nur” yang berarti hati nurani. hal ini menandakan bahwa segala tingkah laku manusia harus berasal dari hati nuraninya, dan sebahagian masyarakat jawa menyebut janur sebagai “sejatine nur” atau cahaya sejati. Bahkan ada yang menduga berasal dari bahasa arab yaitu :”ja’a al-nur’ yang bermakna telah datang cahaya. Tentu yang dimaksud adalah cahaya kemenangan di hari raya.

Anyaman yang sulit pada ketupat menggambarkan kompleksitas masyarakat nusantara khususnya masyarakat jawa dijaman dahulu, dan rapatnya anyaman dimaknai sebagai eratnya kekerabatan dan silaturrahim yang harus terus dijalin. Hal ini tentu sangat relevan dengan QS al-Nisa: 1

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَٰحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَآءً ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

Terjemah:

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

Burasa’ maupun ketupat kurang lengkap rasanya ketika tidak disandingkan dengan coto Makassar. Kuliner yang satu ini adalah makanan tradisional masyarakat sulawesi selatan yang terbuat dari jeroan sapi yang diiris kecil lalu diberi bumbu khusus. Menurut ahli sejarah, Kuliner ini diperkiran telah ada semenjak masa kerjaan Gowa tepatnya abad ke-16. Dahulu hidangan coto bahagian daging sapi hanya disajikan untuk para keluarga kerjaan, sementara bagian jeroannya disajikan untuk masyarakat kelas bawah atau abdi dalem pengikut kerjaan.

Koki kerajaan merasa menyayangkan jika setiap bahagian dalam hewan itu dibuang dengan percuma. Sedangkan masyarakat di luar kerajaan tidak pernah merasakan nikmatnya daging. Koki handal ini juga memiliki kekerabatan yang baik dengan pedagang rempah-rempah dari tiongkok, persia, dan beberapa negara laiinya. Dengan segala keahliannya, dia mulai membersihkan jeroan itu, mengukus dan meracik bumbunya. Namun anehnya dia tidak menggunakan santan sebagai campuran kuah, tetapi air beras dan diberi kacang. Jadilah coto dan siap dibagikan kepada warga miskin disekitar kerajaan, bahkan diberikan kepada rekan-rekannya dari negara lain yang kebetulan ada di kawasan itu. Dan menurut mereka sangat nikmat, akhirnya diapun dipercaya untuk menyeguhkan hidangan tersebut kepada sang raja.

Kuliner ini harus memenuhi empat elemen yaitu air, api, udara, dan unsur bumi. Hal ini memiliki makna filosofi bahwa dalam mengarungi kehidupan harus seimbang. Membuat bumbunya pun harus bersih. Dan tempat membuat bumbunya tidak boleh dicampur. Hal ini memiliki makna kesucian baik lahir maupun batin. Dan tentu ini sejalan dengan ajaran agama (fiqhi) yaitu thahara, bahkan ayat al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah sangat menyukai orang-orang yang menyucikan diri (lihat QS al-Baqarah: 222).

Ketika hendak dimasak maka harus menggunakan wadah kuali dari tanah liat di atas perapian yang tepat. Kuali diibaratkan dengan keimanan yang kokoh yang tak mudah tergoyahkan, sekalipun dihantam dengan gelombang panas yang dahsyat (ujian kehidupan). Adapun lokasi masaknya harus di depan rumah, tidak bisa di belakang karena rasanya akan berbeda. Dengan dimaksaknya didepan rumah memiliki makna harus saling terbuka satu sama lain tidak boleh ada dusta diantara kita kata sebuah judul lagu. Apa lagi selalu berburuk sangka, tentu hal tersebut dilarang oleh agama. Sebagaimana firman Allah dalam QS al-Hujurat: 12

 

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ

Terjemah:

“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang”.

 

Keunikan lain dari coto Makassar yaitu tidak mau dimadu. Dalam artian menjual makanan ini tidak bisa bersama dengan soto lainnya. Misalnya sop konro, soto banjar dan semua jenis soto dan sop-sopan lainnya. Karena jika itu dilanggar, rasanya akan jauh berbeda. Begitupula dengan urusan harta yang tidak bisa dicampur adukkan dengan sesuatu yang sifatnya syubhat dan bahkan yang haram, karena dapat merusak kulitas kehidupan kita.

Bahkan untuk menikmatinya pun ada aturannya, karena coto bukanlah makanan untuk sarapan maupun makan siang, apalagi malam, maka makanan ini paling nikmat disantap pada pukul 09.00 hingga 11.00 siang. Porsinya pun tidak boleh banyak, jadi mangkuknya harus kecil dan sendoknya harus sendok bebek. Sebab makanan ini memiliki unsur tionghoa di dalamnya. Hal ini adanya perpaduan rempah dari beberapa negara. Perpaduan rempah serta penggunaan alat makan menandakan pentingnya saling menghargai satu sama lain baik itu antar agama, etnis, budaya, bangsa maupun antar negara. Bahkan dalam agamapun di perintahkan untuk saling menghargai satu sama lain, seperti firman Allah dalam QS al-Hujurat:10 yang terjemahannya:

“orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapatrahmat.”ayat ini memiliki makna bahwa semua orang di bumi ini adalah saudara. Tidak peduli agamanya apa, atau budayanya seperti apa, memperbaiki sebuah hubungan sangat dianjurkan.

Bahkan di ayat 11 juga ditegaskan untuk tidak saling meredahkan satu sama lain, sebagaimana terjemahan ayatnya:

hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah imandan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yangzalim.”

Dari dua ayat ini saja, jelas sekali maksudnya. Hormat menghormati sangat dianjurkan dalam ajaran agama  demi terciptanya sebuah perdamaian.

Demikian sedikit makna filosofis dari Burasa’, Ketupat Dan Coto Makassar yang sarat akan makna bukan hanya sebatas kuliner biasa. Taqabbalallahu minna wa minkum taqabbal ya karim, mohon maaf lahir batin selamat menikmati Burasa’, Ketupat Dan Coto Makassarnya.

Wallahu’alam bi al-Shawab

Ternate, 26 Mei 2020 M

  3 Syawal 1441 H

 

 


Jumat, 22 Mei 2020

Hari Kemenangan Yang hampa


Hari Kemenangan Yang hampa

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar la ilaha illallah wallahu akbar allahu akbar wa lil lahil hamd. Suara takbir, tahmid serta tahlil telah menggema di seluruh persada bumi ini menandakan hari kemenangan telah tiba. Rasa haru pun ikut menghiasi relung hati, dan tentu  ada yang tidak biasa dalam momentum lebaran kali ini. Bisa jadi kita tak dapat saling berjabat tangan, saling silaturrahim bersama orang tua, keluarga, kerabat, sahabat maupun handaitolan, namun hal itu tidak menguragi rasa gembira kita akan datangnya hari kemenangan. Sebagaimana janji Allah yang telah menjadikan kita seperti bayi yang baru lahir, hal ini tergambar dari pemaknaan ‘Idul Fitri yang terdiri dari dua kata yaitu Id (kembali) dan Fitr (suci). Dari kata dasar inilah muncul istilah  “suci ibarat bayi yang baru lahir dari perut ibunya”.
Saya teringat salah satu kisah dimana seorang anak yatim sedang bersedih pada hari raya. Disaat semua orang (anak-anak yang lain) bergembira dengan memakai pakaian yang baru sambil mengumandangkan takbir, tahmid, dan tahlil. Terlihat anak tersebut hanya memakai pakaian bekas yang penuh dengan tambalan kain, serta hanya memakai sepasang sepatu  yang telah usang. Melihat anak tersebut menangis, Rasulullah pun bergegas menghampirinya,  namun anak itu mencoba menyembunyikan kesedihannya.
Sambil mendekati anak itu Rasulullah pun bertanya dengan suara yang lembut: “wahai anakku, mengapa engkau menagis ?, sambil terisak-isak ia pun menjawab: “dihari raya yang suci ini semua anak merayakan dengan riang gembira  bersama orang tuanya. Namun berbeda dengan aku yang tidak bisa lagi berlebaran dengan orang tua”. Aku teringat pada ayah, itu sebabnya aku menangis, di ramadhan terakhir ia membelikanku sebuah gaun berwarna hijau beserta sepatu baru dan waktu itu aku sangat bahagia. Lalu suatu hari ayahku pergi berperang bersama engkau wahai Rasulullah, dan diapun syahid di medan perang. Kini ayahku telah tiada aku telah menjadi seorang yatim, jika aku tidak mengis untuknya, lalu bagaimana lagi aku mengenangnya?”.
Setelah mendengar kisah dari anak tersebut, Rasulullah pun berkata: Wahai anakku angkatlah wajahmu hapuslah air matamu tak usahlah kamu bersedih hati, maukah engkau menerimaku sebagai ayahmu? Dan apakah engkau juga ingin agar Fatimah menjadi kakak perempuanmu serta Aisyah menjadi Ibumu?, anak itupun seraya terhenti dari isak tangis. Dengan penuh keheranan gadis kecil tersebut menganggukkan kepalanya dengan perlahan sebagai tanda persetujuan, maka ia pun menuju ke rumah Rasulullah. Akhirnya ia kembali tersenyum gembira oleh karena mendapatkan keluarga yang lengkap apa lagi ayahnya adalah Rasulullah.
Kisah ini tentu tidak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan oleh sebahagian orang, mungkin diluar sana ada anak yang tidak bisa berkumpul dengan keluarga disebabkan adanya pembatasan sosial serta larangan mudik, dan tidak sedikit juga yang hanya mampu memandangi batu nisan yang mulai usang seraya memanjatkan do’a bagi ibu bapaknya.
Terkadang kesedihan seorang anak kian memuncak ketika mendengar suara takbir, tahmid, dan tahlil menggemah dimana-mana, tentu ia akan teringat wajah orang tuanya yang dulu tiap lebaran ada tangan yang diraih untuk dicium seraya memohon maaf atas segala dosa dan khilaf. Bisa jadi  wajah tersebut hanyalah tinggal kenangan yang senantiasa disambut dengan tangisan. Tinggalah sebuah penyesalan seorang anak ketika tidak bisa lagi bersama dengan kedua orang tuanya, sebab jasa-jasanya tidak mampu kita bayar dengan apapun entah itu uang, emas, atau berlian yang bahasa al-Qur’an menyatakan seorang anak hanya bisa berbuat Ihsan atau sekedar berbakti kepadanya.  
Orang tua terkadang tidak mengharapakan apa-apa dari anak-anaknya. Ia hanya ingin memberikan yang terbaik buat mereka. Sosok seorang ayah yang punya peran penting dalam menopang ekonomi keluarga juga tidak luput dari kisah yang memilukan hati. Terkadang sepotong roti yang seharusnya ia makan saat rehat kerja, namun makanan tersebut ia simpan, ia rela menahan lapar dan dahaga demi membawa sepotong roti tersebut buat anak-istrinya. Ia rela mempertaruhkan nyawa, menahan teriknya matahari, dinginnya udara malam, dan terkadang ia juga kehujanan, namun semua itu tidaklah dihiraukannya, semua dilakukan hanya demi anak dan istrinya.
Begitu pula dengan sosok seorang Ibu yang tangguh dan sabar membesarkan serta mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih sayang. Rela tidak memakai pakaian yang baru dihari raya hanya demi mempersiapkan pakaian yang baru buat anak-anaknya. Ia tak kenal lelah sekalipun semua pekerjaan rumah ia lakukan, sesekali ia menyandarkan punggungnya, menopang tulang belakang yang mulai keropos, iapun sesekali menarik nafas yang dalam dengan harapan tenaganya bisa kembali pulih.
Disetiap sudujnya ia tak pernah lupa akan  do’a-do’a yang dipanjatkan buat anak-anaknya dan berharap seluruh anaknya bisa sukses tanpa harus mengikuti jejak orang tuanya, yang mungkin hanya bekerja sebagai buruh harian ataupun seorang petani. Itu sebabnya Allah sangat murka terhadap anak yang berani durhaka kepada kedua orangtuanya. Jangankan masuk ke dalam surga, mencium baunya pun tidak akan mampu. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Ridha Allah tergantung ridhanya orangtua kepada kita, begitu pula murkanya Allah tergantung murka orangtua kepada kita”.  Maka berbahagialah bagi yang masih hidup kedua orangtuanya, karna masih ada tangan yang bisa kita raih dihari raya. Dan jangan bersedih bagi yang sudah tidak bersama dengan orangtuanya, tentu mereka sangat menantikan do’a-do’a yang terbaik dari  anak-anaknya.
Kini hampa sudah hari kemenangan yang diraih dengan tetesan air mata haru, berharap Allah masih mempertemukan kita di surga-Nya nanti. Teruntuk para orangtua maafkanlah anakmu ini karena belum bisa menjadi anak yang terbaik, yang sesuai engkau harapakan. Teriring do’a dalam setiap sujud kami kepada kedua Ayah Ibu, berharap belas kasih Allah yang maha Rahman lagi maha Rahim. “Ya Allah ampunilah dosaku dan dosa orang tuaku, dan sayangilah mereka karena ia telah menyayangiku sewaktu kecil. Taqabbalallahu wa minkum taqabbal ya karim mohon maaf lahir dan batin teruntuk ayah bunda al-Fatihah. Wassalam.

Penulis: Irfan
Dosen  : Ilmu al-Qur’an dan Tafsir IAIN Ternate.

Do'a Malaikat Jibril (Bahagian 1)

Do’a Malaikat Jibril (Bahagian 1)

Tak terasa Ramadhan semakin menjauh dari kita, dalam hitungan hari kedepan ia pun akan pamit dengan menitipkan berbagai kemuliaannya.  Pesan dan kesanpun mengalir seiring kepergiaannya ditengah kebimbingan umat manusia. Tentunya rasa bimbang yang dimaksud adalah pelayanan kepada tamu agung yang penuh dengan kemuliaan. Di tengah pandemi covid-19 yang melanda seluruh dunia, membuat ibadah ramadhan tahun ini terasa kurang lengkap. Umat Islam merasa ada yang hilang pada Ramadhan kali ini, Zdauq (rasa) yang dulu mendiami hati umat Islam ketika menghidupkan bulan ramadhanpun mulai memudar secara perlahan. Dengan adanya pembatasan sosial maka secara otomatis kegiatan yang sifatnya rutinitaspun tidak lagi seperti biasanya, termasuk melaksanakan ibadah di masjid.
Meraih kemuliaan bulan suci ramadhan bukanlah hal yang mudah, butuh kesabaran yang extra apa lagi dalam keadaan saat sekarang ini dan tentunya harus istiqamah hingga akhir. Seperti yang kita ketahui bersama berdasarkan teks al-Qur’an maupun Hadis, bahwa bergembira saja dengan datangnya bulan suci ramadhan maka tubuh kita diharamkan oleh Allah dari api neraka. Apalagi jika setiap malamnya diisi dengan berbagai macam aktifitas ibadah, seperti shalat sunnah tarawih, tadarusan dan lain sebagainya. Tentu pahalanya akan semakin belipat ganda.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA, ia berkata bahwa pernah satu ketika Rasulullah SAW hendak berkhutbah, dan tiba-tiba beliau mengucapkan kata amin, amin, amin. Tiga kali beliau mengucapkan kata tersebut. Setelah beliau turun dari mimbar para sahabatnya bertanya, wahai Rasulullah kami tadi mendengarkan engkau mengucapkan kata amin tiga kali, hal apakah yang menyebabkan engkau mengucapkan hal tersebut. Nabi SAW pun menjawab: sesungguhnya malaikat Jibril tadi mendatangi saya, dan ia minta diaminkan do’anya. Dan malaikat Jibrilpun berdo’a “Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan lalu tidak mendapatkan ampunan, kemudiaan ia meninggal dunia, maka masukkanlah dia kedalam neraka, Allahpun menjauhkannya dari surga, maka aku pun berkata “Amin”. Inilah do’a malaikat Jibril yang pertama. Tentu dengan penuh keyakinan kita bisa berkata pasti do’anya diijabah, sebab yang berdo’a adalah makhluk yang tidak pernah ingkar kepada Allah dan yang mengaminkan adalah Rasulullah SAW .
Sungguh betapa banyak kerugian akan didapati oleh orang yang tidak memaksimalkan ibadah dalam bulan ramadhan, mengingat bulan ini hanya datang sekali setahun, dan belum tentu pula kita bisa ketemu dengan Ramadhan berikutnya.
Ramadhan telah mengajarkan banyak hal kepada kita, termasuk yang paling familiar adalah mengajarkan tentang kesabaran. Sabar  berasal dari bahasa arab yang tersusun dari huruf Shad, Ba, dan Ra’ mempunyai arti antara lain: obat yang pahit, batu yang keras, dan tempat yang tinggi. Ketiga arti tersebut mempunyai keterkaitan makna.
Nenek moyang kita terdahulu ketika terkena suatu penyakit, maka kebiasaannya mencari obat tradisional yang terkadang memiliki rasa yang sangat pahit. Misalnya ketika batuk maka biasanya mereka mengambil beberapa helai daun pepaya untuk dimasak kemudian airnya diminum, tentu daun pepaya rasanya sangat jauh dari kata manis. Namun mereka meyakini bahwa semakin pahit obat tersebut maka makin cepat sembuh penyakitnya.
Demikian halnya kesabaran terkadang sangat pahit terasa misalnya dihina dicaci maki dan lain sebagainya. Akan tetapi ketika kita mampu bersabar, maka hatipun akan menjadi tenang, dan tentunya akan memiliki keteguhan hati yang sangat sulit untuk tergoyahkan. Demikian makna sabar diibaratkan dengan batu yang keras dan sulit untuk terpecahkan. Jika tahapan-tahapan tersebut dapat dilewati dengan ikhlas, maka Allah akan memberikan kedudukan yang terpuji disisinya, yang bahasa agama menyebutnya dengan maqaman mahmudah, itu sebabnya ulama memaknai sabar sebagai tempat yang tinggi (mulia/terpuji).
Dari berbagai makna yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan, bahwa kesabaran menuntut ketabahan ketika menghadapi kesulitan, tentu akan ada rasa keberatan atas kehendak Allah, sekalipun pahit tapi tetap harus ikhlas menerimanya, dan dijalani dengan penuh rasa tanggung jawab demi mencapai sesuatu yang baik atau sesuatu yang jauh lebih baik lagi (luhur).
Olehnya itu ramadhan tahun ini tidak seperti biasanya butuh kesabaran yag extra untuk menjalaninya. Bukankah Allah telah mengingatkan kita dalam firmannya QS al-Baqarah 155:

وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَىْءٍ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ

Terjemah:
“Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang bersabar”.

Dalam ayat ini cobaan pertama yang Allah berikan adalah berupa ketakutan. Jika dihubungkan dengan konteks kekiniaan, maka kita akan melihat beberapa karakter manusia yang menyikapi suasana pandemi saat ini. Apa yang Allah informasikan terbukti adanya, ketakutan akan tertularnya covid-19 dirasakan oleh hampir semua umat manusia. Bahkan tidak sedikit yang meninggal dunia diakibatkan oleh stres. Perasaan was-was pun turut hadir dalam benak manusia yang mengakibatkan persentase ketakutan mengalami peningkatan pesat  disetiap harinya.  Cobaan berupa kelaparan pun hampir merata diseluruh pelosok negeri, para pekerja yang terkena  PHK membuat perekonomian mereka menurun drastis. Dan hal ini tentu menambah Angka kemiskinan.
Cobaan yang termasuk berat diterima adalah kekurangan jiwa. Dalam artian krisis keimanan juga turut dirasakan oleh sebahagian umat beragama. Dengan adanya batasan sosial, membuat ibadah-ibadah mereka hanya bisa dilakukan dari rumah, tentu bagi umat Islam akan sedikit merasa kurang afdal, apa lagi suasana bulan suci ramadhan yang banyak berakatifitas dimasjid. Adu argumen serta dalil pun menjadi ujung tombak penyelesaian ikhtilaf tersebut, namun tidak semua bisa mencapai yang namanya kesepakatan. Sesuai istilah yang mengatakan kepala boleh sama bulat, rambut boleh sama hitamnya, tapi pemikian belum tentu sama. Bagi masyarakat awam tentu akan semakin bingung untuk memilih pendapat mana yang harus diikuti.
Demikian berbagai cobaan maupun ujian yang melanda negeri kita harus dijalani dengan ikhlas, sebab kita meyakini bahwa akan ada berita gembira yang Allah akan sampaikan kepada umatnya yang mau bersabar. Bahkan Allah memerintahkan malaikat untuk turut menghibur kita. Sebagaimana firman Allah dalam QS Fushilat: 30

إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسْتَقَٰمُوا۟ تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا۟ وَلَا تَحْزَنُوا۟ وَأَبْشِرُوا۟ بِٱلْجَنَّةِ ٱلَّتِى كُنتُمْ تُوعَدُونَ

Terjemah:

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu".
Demikian do’a malaikat Jibril yang pertama ini semoga menjadi motivasi bagi kita semua untuk tetap bersemangat, dan istiqamah hingga akhir ramadhan demi mendapatkan ampunan dari yang maha Kuasa. Amin ya rabbal alamin.

Ternate, 27 Ramadhan, 1441 H
  20 Mei 2020 M












Hari Kemenangan Yang Hampa

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar la ilaha illallah wallahu akbar allahu akbar wa lil lahil hamd. Suara takbir, tahmid serta tahlil telah menggema di seluruh persada bumi ini menandakan hari kemenangan telah tiba. Rasa haru pun ikut menghiasi relung hati, dan tentu  ada yang tidak biasa dalam momentum lebaran kali ini. Bisa jadi kita tak dapat saling berjabat tangan, saling silaturrahim bersama orang tua, keluarga, kerabat, sahabat maupun handaitolan, namun hal itu tidak menguragi rasa gembira kita akan datangnya hari kemenangan. Sebagaimana janji Allah yang telah menjadikan kita seperti bayi yang baru lahir, hal ini tergambar dari pemaknaan ‘Idul Fitri yang terdiri dari dua kata yaitu Id (kembali) dan Fitr (suci). Dari kata dasar inilah muncul istilah  “suci ibarat bayi yang baru lahir dari perut ibunya”.

Saya teringat salah satu kisah dimana seorang anak yatim sedang bersedih pada hari raya. Disaat semua orang (anak-anak yang lain) bergembira dengan memakai pakaian yang baru sambil mengumandangkan takbir, tahmid, dan tahlil. Terlihat anak tersebut hanya memakai pakaian bekas yang penuh dengan tambalan kain, serta hanya memakai sepasang sepatu  yang telah usang. Melihat anak tersebut menangis, Rasulullah pun bergegas menghampirinya,  namun anak itu mencoba menyembunyikan kesedihannya.

Sambil mendekati anak itu Rasulullah pun bertanya dengan suara yang lembut: “wahai anakku, mengapa engkau menagis ?, sambil terisak-isak ia pun menjawab: “dihari raya yang suci ini semua anak merayakan dengan riang gembira  bersama orang tuanya. Namun berbeda dengan aku yang tidak bisa lagi berlebaran dengan orang tua”. Aku teringat pada ayah, itu sebabnya aku menangis, di ramadhan terakhir ia membelikanku sebuah gaun berwarna hijau beserta sepatu baru dan waktu itu aku sangat bahagia. Lalu suatu hari ayahku pergi berperang bersama engkau wahai Rasulullah, dan diapun syahid di medan perang. Kini ayahku telah tiada aku telah menjadi seorang yatim, jika aku tidak mengis untuknya, lalu bagaimana lagi aku mengenangnya?”.

Setelah mendengar kisah dari anak tersebut, Rasulullah pun berkata: Wahai anakku angkatlah wajahmu hapuslah air matamu tak usahlah kamu bersedih hati, maukah engkau menerimaku sebagai ayahmu? Dan apakah engkau juga ingin agar Fatimah menjadi kakak perempuanmu serta Aisyah menjadi Ibumu?, anak itupun seraya terhenti dari isak tangis. Dengan penuh keheranan gadis kecil tersebut menganggukkan kepalanya dengan perlahan sebagai tanda persetujuan, maka ia pun menuju ke rumah Rasulullah. Akhirnya ia kembali tersenyum gembira oleh karena mendapatkan keluarga yang lengkap apa lagi ayahnya adalah Rasulullah.

Kisah ini tentu tidak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan oleh sebahagian orang, mungkin diluar sana ada anak yang tidak bisa berkumpul dengan keluarga disebabkan adanya pembatasan sosial serta larangan mudik, dan tidak sedikit juga yang hanya mampu memandangi batu nisan yang mulai usang seraya memanjatkan do’a bagi ibu bapaknya.

Terkadang kesedihan seorang anak kian memuncak ketika mendengar suara takbir, tahmid, dan tahlil menggemah dimana-mana, tentu ia akan teringat wajah orang tuanya yang dulu tiap lebaran ada tangan yang diraih untuk dicium seraya memohon maaf atas segala dosa dan khilaf. Bisa jadi  wajah tersebut hanyalah tinggal kenangan yang senantiasa disambut dengan tangisan. Tinggalah sebuah penyesalan seorang anak ketika tidak bisa lagi bersama dengan kedua orang tuanya, sebab jasa-jasanya tidak mampu kita bayar dengan apapun entah itu uang, emas, atau berlian yang bahasa al-Qur’an menyatakan seorang anak hanya bisa berbuat Ihsan atau sekedar berbakti kepadanya.  

Orang tua terkadang tidak mengharapakan apa-apa dari anak-anaknya. Ia hanya ingin memberikan yang terbaik buat mereka. Sosok seorang ayah yang punya peran penting dalam menopang ekonomi keluarga juga tidak luput dari kisah yang memilukan hati. Terkadang sepotong roti yang seharusnya ia makan saat rehat kerja, namun makanan tersebut ia simpan, ia rela menahan lapar dan dahaga demi membawa sepotong roti tersebut buat anak-istrinya. Ia rela mempertaruhkan nyawa, menahan teriknya matahari, dinginnya udara malam, dan terkadang ia juga kehujanan, namun semua itu tidaklah dihiraukannya, semua dilakukan hanya demi anak dan istrinya.

Begitu pula dengan sosok seorang Ibu yang tangguh dan sabar membesarkan serta mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih sayang. Rela tidak memakai pakaian yang baru dihari raya hanya demi mempersiapkan pakaian yang baru buat anak-anaknya. Ia tak kenal lelah sekalipun semua pekerjaan rumah ia lakukan, sesekali ia menyandarkan punggungnya, menopang tulang belakang yang mulai keropos, iapun sesekali menarik nafas yang dalam dengan harapan tenaganya bisa kembali pulih.

Disetiap sudujnya ia tak pernah lupa akan  do’a-do’a yang dipanjatkan buat anak-anaknya dan berharap seluruh anaknya bisa sukses tanpa harus mengikuti jejak orang tuanya, yang mungkin hanya bekerja sebagai buruh harian ataupun seorang petani. Itu sebabnya Allah sangat murka terhadap anak yang berani durhaka kepada kedua orangtuanya. Jangankan masuk ke dalam surga, mencium baunya pun tidak akan mampu. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Ridha Allah tergantung ridhanya orangtua kepada kita, begitu pula murkanya Allah tergantung murka orangtua kepada kita”.  Maka berbahagialah bagi yang masih hidup kedua orangtuanya, karna masih ada tangan yang bisa kita raih dihari raya. Dan jangan bersedih bagi yang sudah tidak bersama dengan orangtuanya, tentu mereka sangat menantikan do’a-do’a yang terbaik dari  anak-anaknya.

Kini hampa sudah hari kemenangan yang diraih dengan tetesan air mata haru, berharap Allah masih mempertemukan kita di surga-Nya nanti. Teruntuk para orangtua maafkanlah anakmu ini karena belum bisa menjadi anak yang terbaik, yang sesuai engkau harapakan. Teriring do’a dalam setiap sujud kami kepada kedua Ayah Ibu, berharap belas kasih Allah yang maha Rahman lagi maha Rahim. “Ya Allah ampunilah dosaku dan dosa orang tuaku, dan sayangilah mereka karena ia telah menyayangiku sewaktu kecil. Taqabbalallahu wa minkum taqabbal ya karim mohon maaf lahir dan batin teruntuk ayah bunda al-Fatihah. Wassalam.

 

Penulis: Irfan

Dosen  : Ilmu al-Qur’an dan Tafsir IAIN Ternate.


asasas

 sasasasas