Burasa',
Ketupat Dan Coto Makassar
Oleh: Muh. Irfan Hasanuddin
Hari kemenangan telah tiba, dan
status baru pun (kembali fitrah) telah disandang bagi mereka yang telah
melaksanakan ibadah selama bulan suci ramadhan. Saling mengunjungi (ziarah) pun
turut menghiasi kegembiraan di hari raya. di tengah pandemi covid-19 ini kita hanya bisa bersilaturrahim lewat virtual saja.
Tentu kurang lengkap rasanya karena tidak dapat saling berjabat tangan. Namun hal
itu tidak mengurangi rasa khidmat kita untuk saling bermaaf-maafan.
Burasa’, Ketupat, hingga coto Makassar
tentu menjadi menu favorit suku bugis makassar dalam melengkapi kebersamaan di
hari raya. Kuliner tersebut bukanlah sebatas panganan pelengkap saja, namun pemilihan buras, ketupat hingga
coto Makassar dalam menu hidangan hari raya penuh dengan makna filosofis yang
dalam.
Burasa’ (logat Sulawesi) atau Buras
adalah salah satu panganan khas
masyarakat Bugis Makassar yang terbuat dari beras yang bukan pulut kemudian
ditanak hingga setengah matang lalu diaduk
dengan santan kelapa asli dan
selanjutnya dibungkus dengan daun pisang yang kata orang sulawesi haram
hukumnya jika dibungkus pake kertas koran karena bisa hancur ketika dimasak. Biasanya
dibuat menjaid dua, tiga, bahkan empat bahagian ya mirip-mirip lah QS an-Nisa: 3.
Kemudian diikat menggunakan tali rapiah atau tali yang lain sehingga menjadi
satu bahagian yang tak terpisahkan. Setelah itu barulah dimasak hingga matang
dan siap disantap dengan opor ayam atau coto makassar.
Dahulu kala buras digunakan oleh
masyarakat bugis makassar sebagai bekal ketika bepergian. Dan kebiasaan tersebut
dilakukan hingga sekarang ketika seseorang ingin mengadakan perjalanan jauh,
maka biasanya ia dibekali oleh keluarganya dengan burasa’ sebagai makna dari sennu
sennureng atau dalam bahasa agama disebut (تَفَاعُل ) optimisme. Dengan harapan sekalipun kita dalam perantauan, namun hatinya tetap menyatu.
Itu sebabnya bentuk burasa’ terdiri dari batangan tunggal yang pipih kemudian
diikat menjadi satu kesatuan. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS Ali
Imran: 103: ”Wa’tasimu
bihablillahi jami’an wala tafarroqu...” yang
terjemahannya: (dan berpegang
teguhlah kalian semuanya pada tali (agama) Allah dan janganlah bercerai berai).
Mulai
dari awal pembuatan burasa’ sudah memiliki makna yang luar biasa, dimana kita
diajarkan untuk senantiasa memiliki sifat gotong royong atau saling
tolong-menolong. Hal ini tergambar dari cara pembuatannya yang dilakukan oleh beberapa
orang saling bekerja sama tujuannya agar pekerjaan tersebut lebih mudah dan ringan, tentu jika dikerjakan oleh satu orang saja maka akan
terasa sulit dan berat, tenaga lebih terkuras dan memakan waktu yang lebih
lama. Bukankah dalam agama kita senantiasa dianjurkan untuk saling membantu
satu sama lain sebagaimana firman Allah dalam QS al-Maidah: 2:“wa ta ‘awanu
alal birri wat taqwa wala ta’awanu alal ismi wal ‘udwan” (dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan...).
Demikian halnya dengan ketupat atau
bahasa lainnya kupat, yang juga memiliki makna filosofi yang luar biasa. Menurut
ahli sejarah istilah ketupat sudah ada sejak masa kerjaan majapahit dan pajajaran,
yang merupakan demitologisasi dan desakralisasi pemujaan Dewi Sri yang
dimuliakan. Ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa istilah kupat atau kupatan
pertama kali dipopulerkan oleh Raden Mas Said atau sunan Kalijaga sebagai bentuk
hari raya bagi orang-orang yang melaksanakan puasa syawal selama enam hari.
Ketupat atau kupat sendiri merupakan singkatan dari farasa dalam
bahasa jawa “ngaku lepat” yang maknanya mengakui kesalahan, yang biasanya
dibarengi dengan tradisi sungkeman yang dilakukan dengan bersimpuh dihadapan
orang tua sambil meminta maaf atas berbagai kesalahan terdahulu.
Ketupat dibuat menggunakan janur
yaitu daun kelapa yang menjadi bahan pembungkus, yang dalam filosofi jawa
dikenal dengan nama “jatining nur” yang berarti hati nurani. hal ini
menandakan bahwa segala tingkah laku manusia harus berasal dari hati nuraninya,
dan sebahagian masyarakat jawa menyebut janur sebagai “sejatine nur” atau
cahaya sejati. Bahkan ada yang menduga berasal dari bahasa arab yaitu :”ja’a
al-nur’ yang bermakna telah datang cahaya. Tentu yang dimaksud adalah
cahaya kemenangan di hari raya.
Anyaman
yang sulit pada ketupat menggambarkan kompleksitas masyarakat nusantara
khususnya masyarakat jawa dijaman dahulu, dan rapatnya anyaman dimaknai sebagai
eratnya kekerabatan dan silaturrahim yang harus terus dijalin. Hal ini tentu
sangat relevan dengan QS al-Nisa: 1
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم
مِّن نَّفْسٍ وَٰحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا
كَثِيرًا وَنِسَآءً ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَآءَلُونَ بِهِۦ
وَٱلْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Terjemah:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan
silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Burasa’ maupun
ketupat kurang lengkap rasanya ketika tidak disandingkan dengan coto Makassar. Kuliner
yang satu ini adalah makanan tradisional masyarakat sulawesi selatan yang
terbuat dari jeroan sapi yang diiris kecil lalu diberi bumbu khusus. Menurut ahli
sejarah, Kuliner ini diperkiran telah ada semenjak masa kerjaan Gowa tepatnya
abad ke-16. Dahulu hidangan coto bahagian daging sapi hanya disajikan untuk
para keluarga kerjaan, sementara bagian jeroannya disajikan untuk masyarakat
kelas bawah atau abdi dalem pengikut kerjaan.
Koki kerajaan
merasa menyayangkan jika setiap bahagian dalam hewan itu dibuang dengan
percuma. Sedangkan masyarakat di luar kerajaan tidak pernah merasakan nikmatnya
daging. Koki handal ini juga memiliki kekerabatan yang baik dengan pedagang
rempah-rempah dari tiongkok, persia, dan beberapa negara laiinya. Dengan segala
keahliannya, dia mulai membersihkan jeroan itu, mengukus dan meracik bumbunya. Namun
anehnya dia tidak menggunakan santan sebagai campuran kuah, tetapi air beras
dan diberi kacang. Jadilah coto dan siap dibagikan kepada warga miskin
disekitar kerajaan, bahkan diberikan kepada rekan-rekannya dari negara lain
yang kebetulan ada di kawasan itu. Dan menurut mereka sangat nikmat, akhirnya
diapun dipercaya untuk menyeguhkan hidangan tersebut kepada sang raja.
Kuliner ini harus
memenuhi empat elemen yaitu air, api, udara, dan unsur bumi. Hal ini memiliki
makna filosofi bahwa dalam mengarungi kehidupan harus seimbang. Membuat bumbunya
pun harus bersih. Dan tempat membuat bumbunya tidak boleh dicampur. Hal ini
memiliki makna kesucian baik lahir maupun batin. Dan tentu ini sejalan dengan
ajaran agama (fiqhi) yaitu thahara, bahkan ayat al-Qur’an menjelaskan bahwa
Allah sangat menyukai orang-orang yang menyucikan diri (lihat QS al-Baqarah:
222).
Ketika hendak
dimasak maka harus menggunakan wadah kuali dari tanah liat di atas perapian
yang tepat. Kuali diibaratkan dengan keimanan yang kokoh yang tak mudah
tergoyahkan, sekalipun dihantam dengan gelombang panas yang dahsyat (ujian
kehidupan). Adapun lokasi masaknya harus di depan rumah, tidak bisa di belakang
karena rasanya akan berbeda. Dengan dimaksaknya didepan rumah memiliki makna
harus saling terbuka satu sama lain tidak boleh ada dusta diantara kita kata
sebuah judul lagu. Apa lagi selalu berburuk sangka, tentu hal tersebut dilarang
oleh agama. Sebagaimana firman Allah dalam QS al-Hujurat: 12
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ
الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ
بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ
مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ
Terjemah:
“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari
kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian
yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang
sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang”.
Keunikan lain dari
coto Makassar yaitu tidak mau dimadu. Dalam artian menjual makanan ini tidak
bisa bersama dengan soto lainnya. Misalnya sop konro, soto banjar dan semua
jenis soto dan sop-sopan lainnya. Karena jika itu dilanggar, rasanya akan jauh
berbeda. Begitupula dengan urusan harta yang tidak bisa dicampur adukkan dengan
sesuatu yang sifatnya syubhat dan bahkan yang haram, karena dapat merusak
kulitas kehidupan kita.
Bahkan untuk menikmatinya pun ada aturannya, karena coto
bukanlah makanan untuk sarapan maupun makan siang, apalagi malam, maka makanan
ini paling nikmat disantap pada pukul 09.00 hingga 11.00 siang. Porsinya pun
tidak boleh banyak, jadi mangkuknya harus kecil dan sendoknya harus sendok
bebek. Sebab makanan ini memiliki unsur tionghoa di dalamnya. Hal ini adanya perpaduan
rempah dari beberapa negara. Perpaduan rempah serta penggunaan alat makan
menandakan pentingnya saling menghargai satu sama lain baik itu antar agama, etnis,
budaya, bangsa maupun antar negara. Bahkan dalam agamapun di perintahkan untuk
saling menghargai satu sama lain, seperti firman Allah dalam QS al-Hujurat:10 yang terjemahannya:
“orang-orang beriman itu
Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara
kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapatrahmat.”ayat ini
memiliki makna bahwa semua orang di bumi ini adalah saudara. Tidak peduli
agamanya apa, atau budayanya seperti apa, memperbaiki sebuah hubungan sangat
dianjurkan.
Bahkan
di ayat 11 juga ditegaskan untuk tidak saling meredahkan satu sama lain, sebagaimana
terjemahan ayatnya:
“hai orang-orang yang beriman, janganlah
sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang
ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan
merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan
janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang
mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk
sesudah imandan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang
yangzalim.”
Dari dua ayat ini saja,
jelas sekali maksudnya. Hormat menghormati sangat dianjurkan dalam ajaran agama demi terciptanya sebuah perdamaian.
Demikian sedikit makna filosofis dari Burasa’,
Ketupat Dan Coto Makassar yang sarat akan makna bukan hanya sebatas kuliner
biasa. Taqabbalallahu minna wa minkum taqabbal ya karim, mohon maaf
lahir batin selamat menikmati Burasa’, Ketupat Dan Coto Makassarnya.
Wallahu’alam bi al-Shawab
Ternate, 26 Mei 2020 M
3 Syawal
1441 H