Jumat, 30 April 2021

Tetesan Keringat Kaum Buruh

 

Tetesan Keringat Kaum Buruh

Oleh:

Muhammad Irfan Hasanuddin

 


Ketika membuka lembaran sejarah, maka kita akan mendapati bahwa cikal bakal lahirnya peringatan hari buruh berdasarkan dari perayaan oleh orang-orang Yunani dan Romawi kuno sebagai ritual praktik pertanian yang dimaksudkan untuk menyambut pergantian musim. Seiring berjalannya waktu, kemudian hal tersebut dijadikan sebagai dasar sebagai hari libur internasional untuk menghormati para pekerja serta gerakan buruh yang tersebar di seluruh dunia. Bahkan pada abad ke-19 (masa revolusi industri) para buruh mengadakan gerakan demonstrasi untuk memperoleh hak-haknya. Sejak saat itu tanggal 1mei diperingati sebagai hari buruh sedunia.

Berbicara persoalan Buruh, di dalam al-Qur’an tepatnya pada QS at-Thalaq: 6 Allah SWT berfirman:

 

اَسْكِنُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِّنْ وُّجْدِكُمْ وَلَا تُضَاۤرُّوْهُنَّ لِتُضَيِّقُوْا عَلَيْهِنَّۗ وَاِنْ كُنَّ اُولَاتِ حَمْلٍ فَاَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ حَتّٰى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّۚ فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۚ وَأْتَمِرُوْا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوْفٍۚ وَاِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهٗٓ اُخْرٰىۗ

 

Terjemah:

Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.

 

Berdasarkan ayat di atas, mayoritas ulama Tafsir menjelaskan bahwa perjanjian perburuhan dengan menggunakan tenaga manusia untuk melakukan suatu pekerjaan dibenarkan dalam Islam dengan kata lain, pelaksanaan pemberian upah (upah kerja) yang merupakan ijarah dalam hukum Islam. Ayat di atas juga dikuatkan lagi oleh sabda Nabi SAW:

أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

Artinya:

“Berikan upah pekerja sebelum kering keringatnya”

Bahkan hadis yang lainnya menyebutkan bahwa ketika menahan upah seseorang, maka itu termasuk perbuatan dosa, bahkan Allah pun akan memeranginya. Sebagaimana sabda Nabi saw:

 

حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ سُلَيْمٍ عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أُمَيَّةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ

Artinya :

“Telah menceritakan kepada saya Yusuf bin Muhammad berkata, telah menceritakan kepada saya Yahya bin Sulaim dari Ismail bin Umayyah dari Sa’id bin Abi Sa’id dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah Ta’ala berfirman : Ada tiga jenis orang yang aku berperang melawan mereka pada hari kiamat, seseorang yang bersumpah atas namaku lalu mengingkarinya, seseorang yang berjualan orang merdeka lalu memakan (uang dari) harganya dan seseorang yang mempekerjakan pekerja kemudian pekerja itu telah menyelesaikan pekerjaannya namun tidak dibayar upahnya”.

Meskipun tidak ada waktu yang mengatur kapan dibayarkan upah bagi pekerja, akan tetapi untuk tata cara pembayaran upah diatur berdasarkan hadis di atas, sehingga ada larangan untuk  menangguhkan upah dari hasil pekerjaan.

Hal ini juga diperkuat oleh Pasal 1 ayat 30 UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan bahwa “Upah merupakan hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan” .Bahkan pada pasal 95 ayat(2) UU No 13 Tahun 2003 dijelaskan bahwa “Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh”

Oleh karena itu, jelaslah bahwa diwajibkan kepada para pemberi kerja untuk segera memberikan upah pekerjaan setelah pekerja tersebut telah menyelesaikan pekerjaannya. Bahkan Yusuf Qardhawi mengtakan bahwa sesuangguhnya seorang pekerja hanya berhak atas upahnya jika ia telah menunaikan pekerjaannya sebagaimana mestinya, dan sesuai dengan kesepatakan atau perjanjian kerjanya. Demikian juga pada profesi yang lainnya wajib untuk membayarkan upah ketika telah selesai dari pekerjaannya. Selamat hari buruh, tetesan keringatmu akan menjadi penggugur dosa serta mengantarkan kepada kemuliaan. Wallalu ‘alam bish shawab

 

 

Ternate 1 Mei 2021

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Minggu, 25 April 2021

Syaitan Terbelenggu Tapi Peluang Maksiat Tetap Menggebu

 

Syaitan Terbelenggu Tapi Peluang Maksiat Tetap Menggebu




.........إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ

Artinya:

“ketika masuk bulan ramadhan, maka pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan syaitan-syaitan telah dibelenggu” (HR Bukhari no 1899 & Muslim no 1079).

Potongan hadis di atas tentu tidak asing lagi bagi kita, hampir setiap datangnya bulan suci ramadhan, para Khatib/penceramah mengutip hadis tersebut. Dan sebahagian masyarakatpun meyakini benar adanya bahwa pintu surga dibuka dan pintu neraka ditutup serta syaitan-syaitan tidak diberi ruang sedikitpun untuk melakukan aksi dikarenakan mereka telah terbelenggu.

Ada hal penting yang dapat kita garis bawahi, yaitu kalimat “syaitan-syaitan telah dibelenggu”. Pertanyaan yang berkembang berikutnya adalah, apakah memang benar syaitan itu terbelenggu ? sehingga maksiatpun terminimalisirkan atau bahkan nyaris tak diberitakan karena tidak adanya pelaku maksiat?. Ternyata hadis tersebut tidak bisa dipahami secara tekstual, sebab faktanya dilapangan ternyata masih banyak pelaku kriminal yang melakukan aksi. Contoh sederhana saja yang sering tejadi di masyarakat, kadang ada yang kehilangan alas kaki ketika ikut berjamaah dimasjid. Padahal ini kan bulan suci ko’ masih ada bisikan-bisikan syaitan yang telah mempengaruhi pelakunya untuk melakukan aksi pencurian tersebut.

Sebahagian ulama sebenarnya telah memberikan klarifikasi mengenai hal tersebut, bahwa hadis itu tidak bisa dipahami secara tekstual, melainkan harus dipahami secara kontekstual. Pengertian “pintu” di sini bukanlah seperti pintu yang kita lihat setiap hari, akan tetapi merupakan bahasa majaz  (kiasan) yang memiliki makna dibukanya “kesempatan” atau “peluang” sesuai dengan penggunaan kata marhaban ketika menyambut bulan suci ramadhan yang memiliki makna lapang atau luas. Artinya kita diberikan kesempatan untuk memperbanyak amal ibadah selama bulan ramadhan dan menjadikan setiap waktu luang menjadi peluang untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah swt.

Demikian halnya dengan makna terbelenggunya syaitan yang dipahami sebagai makna kiasan yang menunjukkan keterbatasan akses untuk melakukan perbuatan maksiat. Hal ini dikarenakan adanya proses pengendalian hawa nafsu selama melakukan ibadah puasa, akan tetapi hal tersebut bukan sebuah jaminan kepada seseorang untuk terhindar dari perbuatan maksiat. Bisa jadi ketika Ia fokus melakukan ibadah, maka akan berdampak kepada perilaku kesehariannya. Namun bisa jadi pula Ia mengabaikan ibadah selama bulan suci, dan  tetap melakukan maksiat sebagaimana bulan-bulan lainnya. Semuanya diserahkan kepada pribadi masing-masing apakah ia mampu membelenggu syaitannya (hawa nafsunya) atau bisa jadi ia akan diperbudak oleh syaitan (memperturutkan hawa nafsunya).

Meskipun bulan suci ramadhan dinilai sebagai ladang untuk memperoleh peluang kebaikan, akan tetapi tidak sedikit juga yang menjadikannya sebagai ladang uang. Ia hanya fokus mencari keuntungan dunia semata dan menggadaikan keuntungan akhiratnya. Padahal bulan ramadhan memberi ruang untuk menjadi seorang mujahid (pejuang). Tentu yang dimaksudkan adalah berjuang untuk mengendalikan hawa nafsu ammarah/lawwamah (labil) untuk mencapai derajat muthmainnah (stabil).

Dengan genjotan latihan yang dilakukan selama ramadhan, akan menjadikan pribadi seseorang memiliki kestabilan watak yang menjadi salah satu penentu kemenangan dalam sebuah perjuangan. Hal ini telah di sampaikan oleh Rasulullah saw dalam sebuah sabdanya ketika selesai dari perang badar. Beliau mengatakan bahwa “kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad yang besar, sahabat bertanya ? apakah yang dimaksud dengan jihad akbar (besar) itu ?, Rasulullah saw menjawab: jihad akbar itu adalah jihad melawan hawa nafsu.

Olehnya itu dengan adanya bulan suci ramadhan, kita diberikan peluang yang seluas-luasnya untuk menggarap amalan ibadah sebagai bekal menuju akhirat, dan kesempatan untuk membelenggu hawa nafsu semakin besar, sehingga pintu kemenanganpun dengan mudahnya akan kita raih. Wallahu ‘alam bish shawab.

 

Ternate, 25 April 2021          

Minggu, 18 April 2021

Ramadhan Sebagai Media Pendidikan Karakter

 

Ramadhan Sebagai Media Pendidikan Karakter

 


Ramadhan tiba, ramadhan tiba....... Marhaban ya Ramadhan Marhaban ya syahra Shiyam. Demikian sepenggal lagu yang sangat populer ketika datangnya bulan suci Ramadhan.

Dalam kamus-kamus Arab, Kata Marhaban biasanya digunakan sebagai kata seru untuk menyambut atau menghormati tamu, yang diungkapkan dengan istilah  “selamat datang” dan memiliki kemiripan arti dengan kata ahlan wa sahlan. Meskipun diklaim memiliki kemiripan makna, akan tetapi berbeda dalam segi penggunaannya.

Pada umumnya Ulama menggunakan kata Marhaban  untuk menyambut bulan suci Ramadhan yang mengandung makna bahwa kita menyambutnya dengan lapang dada, penuh kegembiraan tanpa menggerutu atau membuat keruh suasana hati kita. Berbeda halnya jika yang digunakan kata ahlan wa sahlan yang memiliki makna ungkapan selamat datang yang menyiratkan kepada tamunya bahwa mereka adalah bagian dari keluarga (tuan rumah) atau dengan kata lain anda berada di tengah keluarga sendiri dan kemanapun melangkahkan kaki maka akan dimudahkan oleh tuan rumah. Olehnya itu kata Marhaban ya Ramadhan kita ucapkan untuk menyambut bulan suci Ramadhan karena ingin mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh guna melanjutkan perjalanan menuju kepada Allah swt.

Ketika menjalankan ibadah pada bulan suci Ramadhan, tentu masyarakat berbeda dalam menyikapinya. Ada yang menganggapnya sebagai ladang pahala dan ada juga yang hanya memikirkan keuntungan duniawi semata. Ibadah ramadhanpun hampir terlewatkan seluruhnya dikarenakan hanya fokus untuk mengumpulkan harta. Meskipun demikian, masih banyak juga yang masih fokus untuk memperbanyak amal ibadah, mulai dari tadarusan, shalat sunnah tarawih hingga ibadah-ibadah lainnya tidak terlewatkan sedikitpun.

Dalam bulan suci Ramadhan pun kita dituntut untuk memperbaki diri serta meningkatkan kualitas iman. itu sebabnya Ramadhan juga disebut dengan istilah bulan tarbiyah atau bulan pendidikan. Selama ramadhan kita dituntut untuk menahan diri dari segala yang membatalkan puasa, mulai dari hal-hal yang berhubungan dengan makan dan minum, hingga hal-hal yang berhubungan dengan perkara-perkara yang dapat merusak kualitas puasa, seperti berbohong, mengumpat, ghibah, dan lain sebagainya. Sebagaimana yang disinggung oleh Nabi saw dalam sebuah hadisnya bahwa “betapa banyak orang yang berpuasa hanya sekedar menahan lapar dan dahaga” artinya ada yang berpuasa tapi tidak berkualitas dan bahkan nyaris tidak mendapatkan pahala.

Di samping itu, menjalankan ibadah puasa juga menjadi media dari proses pengaplikasian nilai-nilai pendidikan dan kemanusiaan. Dalam berpuasa tentu membutuhkan ketekunan hati ketika melakukannya. Dari ketekunan itulah akan melahirkan puasa yang berkualitas serta kehidupan yang humanis.

Meningkatkan kualitas hidup lewat puasa yang kita kerjakan, tentu tidak akan lahir dari sekedar menahan lapar dan dahaga, akan tetapi ia lahir dari konsistensi anggota tubuh untuk menghindari hal-hal yang dapat merugikan kita bahkan menjerumusukan kedalam kehinaan. Lebih jauh lagi puasa mendidik kita untuk meningkatkan kualitas  hidup melalui tarbiyah atau pendidikan, khususnya yang berhubungan dengan karakter dimana esensi pendidikan karakter terletak pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behavior), motivasi (motivation), dan keterampilan (skills).

Esensi pendidikan karakter sebenarnya sudah ada dalam praktik berpuasa. Setidaknya ada tiga nilai pokok. Pertama, adanya sikap kritis dan peduli terhadap lingkungan sosial yang ada disekitar kita. Kedua, adanya pertautan atara kesalehan individual dan kesalehan sosial. Ketiga, lahirnya jiwa keagamaan yang inovatif, kreatif, dan efisien. Ketiga nilai tersebut, akan menjadi pedoman dalam implementasi pendidikan karakter. Di samping itu, puasa juga mengajarkan kepada kita untuk bersikap lebih peka terhadap lingkungan sekitar agar melahirkan serta menumbuhkan sifat kepekaan sosial terhadap sesama.

Olehnya itu menjalani keseharian dalam bulan suci Ramadhan tentu bukan hanya sekedar memikirkan apa yang dimakan pada waktu sahur maupun pada waktu berbuka puasa, akan tetapi lebih fokus kepada hal-hal yang dapat menambah kualitas ibadah puasa yang kita lakukan seperti memperbanyak baca Qur’an, bersedekah, khususnya saling berbagi antar sesama agar pendidikan karakter yang dibangun akan lebih terasa. Demikian halnya ketika melaksanakan shalat sunnah tarawih, bukan sekedar mana yang terbanyak jumlahnya apakah 8 rakaat atau 20 rakaat dan mana yang cepat atau lambat gerakannya, akan tetapi yang terpenting dari semua itu adalah mana yang lebih khusyu’ agar mendapatkan predikat shalat yang berkualitas. Wallahu ‘alam bish shawab

 

 

Ternate, 18 April 2021

 

    

asasas

 sasasasas