Senin, 31 Agustus 2020

Bulan Muharram yang disalah Pahami

Bulan Muharram yang disalah Pahami

Oleh: Muhammad Irfan Hasanuddin

 Borong Alat Rumah Tangga Peringati Hari Asyura 10 Muharam, Foto 3 #1402181  - Tribunnews.com Mobile

Bulan muharram adalah salah satu bulan yang termasuk dimuliakan oleh Allah. Sebagaimana dalam QS al-Taubah:36

اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَآ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ەۙ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِيْنَ كَاۤفَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَاۤفَّةً ۗوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ

Terjemah:

“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu, dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang takwa”.

Menurut sebahagian Ulama Tafsir bahwa ayat ini berbicara tentang penetapan jumlah bulan Qamariyah yaitu sebanyak 12 bulan. Dan di antara dua belas bulan tersebut, terdapat empat bulan yang ditetapkan sebagai bulan haram atau bulan yang dimuliakan, yaitu: bulan dzulqa’dah, dzulhijjah, muharram, dan rajab.

Keempat bulan tersebut dinilai utama karena terdapat beberapa kemulian, misalnya bulan dzulqa’dah dan dzulhijjah adalah bulan dimana rangkaian ibadah haji dilaksanakan. Demikian halnya dengan bulan muharram yang juga mempunyai keutamaan. Misalnya pada bulan tersebut Nabi mengkhususkan untuk melakukan ibadah puasa yaitu pada tanggal 10 muharam. Bahkan Ia pernah mengatakan bahwa  jika masih diberi umur panjang, maka tahun berikutnya Ia akan berpuasa pada tanggal 9 muharam. Namun sayangnya usia beliau tidak sampai ketahun berikutnya. Hal semacam ini sangat jarang kita temui dalam beberapa sabda Nabi yang menunjuk langsung hari maupun tanggal untuk melakukan ritual ibadah.

Menurut kepercayaan sebahagian masayarakat yang ada di Indonesia, bulan muharram adalah bulan yang sakral. Olehnya itu banyak dari mereka yang melakukan ritual-ritual tertentu, misalnya bersemedi, membersihkan benda-beda pusaka hingga menyiapkan sesaji buat leluhur sebagai penolak bala.

Di sulawesi Selatan, terdapat beberapa mitos yang berkembang dimasyarakat mengenai bulan muharram. Misalnya, larangan untuk bepergian ketika tanggal 1 muharram. Ketika penulis mencoba untuk menelusuri sumber informasi yang beredar disuatu perkampungan, maka didapatilah pemahaman oleh para sesepuh (yang dituakan) dikampung tersebut, ia mengatakan bahwa larangan untuk mengadakan perjalanan itu sudah menjadi sebuah tradisi turun-temurung yang dilakukan oleh para pendahulu. Ia menambahkan bahwa kata muharram sebagai nama bulan tersebut diartikan sebagai kata haram. Olehnya itu haram hukumnya mengadakan perjalanan dan ketika melanggar aturan tersebut, maka akan mendapatkan kecelakaan. Demikianlah pemikiran oleh sebahagiam masyarakat yang mereka yakini hingga saat sekarang ini.

Memang dari segi penamaan diartikan sebagai sesuatu yang haram, namun bukan berarti menjadi sebuah keharaman ketika mengadakan perjalanan. Maksud dari kata haram jika ditinjau dari arti yang lebih luas, sebenarnya adalah dilarang untuk melakukan perbuatan dosa atau maksiat, sebab pada bulan tersebut penuh dengan kemuliaan. Dan adapun larangan untuk tidak bepergian sebenarnya hanyalah sebagai alasan agar tetap tinggal dirumah untuk memperbanyak zikir maupun do’a.

Tradisi unik lainnya yang bisa kita saksikan pada bulan muharram adalah ramainya tempat perbelanjaan, utamanya yang berhubungan dengan alat-alat dapur seperti piring, gelas, baskom, ember, timba dan lain sebagainya. Hampir semua kaum Ibu-Ibu yang berbelanja jika ditanyakan alasan mengapa berbelanja alat-alat dapur pada saat 10 muharram, mereka hanya menjawab “ya...karena ingin mendapatkan berkah, dan kami sengaja beli ember, timba dan lain-lain agar lebih mudah menampung rejeki yang diberikan oleh Tuhan”.

Sebenarnya jawabannya tidaklah salah. Cuma perlu sedikit diluruskan. Seperti yang kita pahami bahwa pendidikan orang tua kita dulu memang terbilang rendah, namun pemahamannya terhadap sesuatu sangatlah tinggi, utamanya dalam bidang agama. Jika kita sementara mempertanyakan keabsahan sebuah dalil dalam mengerjakan ibadah, mungkin mereka sudah melakukannya terlebih dahulu tanpa mempertanyakan keabsahan dalilnya.

Memang ada riwayat yang mengatakan bahwa barang siapa yang melapangkan urusan seseorang termasuk bersedekah pada tanggal 10 muharram, maka Allah akan melapangkan rezkinya selama setahun. Itu sebabnya kadang ada suami yang sengaja menambahkan uang belanjaan istrinya agar dapat berbelanja dengan jumlah yang lebih dari biasanya. Dengan harapan beberapa barang yang dibeli oleh istrinya tidak semuanya diambil melainkan sebahagiannya disedekahkan kepada orang lain.

Olehnya itu beberapa tradisi yang berkembang di masyarakat, tidaklah salah. Cuma terkadang ada sedikit hal-hal yang masih perlu diluruskan, agar menyambut bulan muharram bisa lebih khidmat tanpa harus menganggapnya sebagai bulan naas atau bulan sial. Dan tidak ada larangan bagi para kaum Ibu yang ingin berbelanja alat-alat perabotan rumah tangga yang penting pakai uang sendiri serta halal, dan jangan lupa bersedekah kepada orang lain, serta memperbanyak zikir maupun do’a pada bulan tersebut. demikian anjuran Nabi. Wallahu ‘alam bish shawab

 

Ternate, 1 September 2020.       

Sabtu, 29 Agustus 2020

Tradisi Yang Terlupakan (Peca’ Sura’)

 

Tradisi Yang Terlupakan

(Peca’ Sura’)

Oleh : Muhammad Irfan Hasanuddin

Resep Bubur suro oleh evha hazny - Cookpad

Hari Asyura’  adalah hari kesepuluh dalam bulan Muharram pada penanggalan Hijriyah. Pada hari tersebut, berbagai aktifitas ibadah mulai dari pembacaan do’a Asyura’ hingga tradisi “Peca’ Sura” sangat dinanti-natikan oleh  masyarakat Sulawesi Selatan lebih khusus masyarakat Bugis Makassar.

Salah satu kebiasaan atau tradisi masyarakat Bugis Makassar ketika menjelang hari kesepuluh dalam bulan Muharram, yaitu adanya perayaan “manre peca sura”. Kata manre diartikan sebagai makan, sedangkan kata peca’ diartikan sebagai bubur yang bahan bakunya dari nasi. Adapun istilah sura’ diambil dari kata asyura’  yaitu hari kesepuluh dalam bulan Muharram.

Dahulu tradisi peca sura’ dilakukan sebagai bentuk kepekaan sosial antar sesama maupun dalam keluarga. Mengingat pada saat itu makan nasi adalah suatu hal yang terbilang mewah. Olehnya itu agar seluruh anggota keluarga mendapatkan jatah makanan yang sama, maka di buatlah nasi tersebut menjadi bubur.

Ada pula referensi yang menyebutkan bahwa hal tersebut dilakukan sebagai bentuk pengamalan dari hadis Nabi yang artinya:

“Barangsiapa yang memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang berpuasa tersebut”. (HR Tirmidzi no 807 dan Ibnu Majah No 1746 ).

Karena pada saat itu banyak yang melakukan puasa sunnah, maka disajikanlah peca’ sura’ sebagai makanan tardisional yang sarat akan makna.

Referensi lainnya menyebutkan bahwa perayaan peca sura’ berdasarkan pengamalan hadis oleh nenek moyang terdahulu pada sebuah riwayat tentang anjuran memperbanyak sedekah pada sepuluh Muharram, sebab hal tersebut sangat dianjurkan oleh Rasulullah. Sebagaimana riwayat yang dikutip dari kitab i’anat al-Thalibin yang artinya:

“Barangsiapa yang melapangkan keluarganya atau orang yang menjadi tanggungannya pada 10 Muharram, maka Allah akan melapangkan urusannya pada setahun yang akan dilaluinya”.

Terbatasnya lembaga pendidikan pada saat itu, membuat sebahagian nenek moyang kita kesulitan menulis serta membaca huruf-huruf Arab. Namun hal itu tidaklah menyurutkan semangat keberagamaan mereka. Bahkan keyakinan dalam pengamalan setiap ajaran agama menjadi modal utama bagi mereka diatas pengetahuannya. Artinya lebih dulu mengamalkan hadisnya dari pada memperdebatkan kualitasnya.

Dalam penyajian peca’ sura’, tentu tidak hanya bubur semata, melainkan diberi beberapa hiasan yang terbuat dari makanan lainnya, seperti telur yang terlebih dahulu didadar, kemudian diberi pewarna makanan agar tampilannya lebih menarik. Telur yang telah matang kemudian di bagi beberapa bahagian, tujuannya agar setiap orang yang makan dapat bahagian yang sama. Berbeda halnya ketika disajikan dengan bentuk utuh, tentu terbatas orang yang akan mencicipinya. Hal ini juga mengajarkan kepada kita agar jangan pernah pelit dalam berbagi. Berikanlah bantuan sebisa mungkin kepada keluarga maupun orang lain ketika membutuhkan pertolongan kita.

Berbagai hiasan tambahan pada peca’ sura’ juga dianggap sebagai simbol kesejahteraan dalam mengarungi kehidupan serta menjadi simbol saling melengkapi satu sama lain. Adapun warna-warni pada hiasannya melambangkan sebuah semangat hidup dan jangan pernah patah semangat ketika gagal menjalani. Setelah pembacaan do’a asyura selesai dibacakan, maka peca’ sura’ pun siap dibagikan dan disantap bersama.

Seiring berjalannya waktu, tradisi semacam ini pun sudah mulai ditinggalkan, apalagi sebahagian generasi saat sekarang ini, lebih mengedepankan keabsahan sebuah dalil dibandingkan melihat sisi kemashlahatannya. Peca’ Sura’ adalah salah satu dari sekian banyak dari bentuk kearifan lokal yang ada di Indonesia, olehnya itu akal dapat menerimanya dengan bijak selama kita menganggap hal tersebut sebagai sebuah syiar Islam dan bukan sebagai Syariat Islam. Mari merawat tradisi maupun budaya yang ada sebagai warisan dari para leluhur.  Wallhu ‘alam bish Shawab

 

Ternate 30 Agustus 2020

 

  

 

Senin, 03 Agustus 2020

Menyingkap Rahasia Ajaran Islam (1) Penelitian Ilmiah tentang penyembelihan ternak secara syari’at Islam

Menyingkap Rahasia Ajaran Islam (1)

Penelitian Ilmiah tentang penyembelihan ternak secara syari’at Islam

 Cara Menyembelih Hewan Dalam Islam yang Paling Baik, Sampai ...

Oleh: Muhammad Irfan Hasanuddin

 

Al-Qur’an maupun Hadis adalah sumber ajaran Islam yang selalu relevan dengan perkembangan zaman. Hal ini dapat kita saksikan melalui beberapa hasil penelitian dari para ilmuan yang mengkaji ajaran-ajaran Islam. Dan bahkan sebahagian dari mereka yang tadinya tidak percaya dengan ajaran Islam berubah haluan dengan menyatakan diri untuk beriman.

Misalnya Profesor Leopold werner Ehrenfels salah seorang psikiater asal Austria, yang telah menemukan hal mengagumkan pada ajaran wudhu, Profesor Dauda Ojobi asal Nigeria yang telah meneliti keajaiban kitab suci al-Qur’an, Profesor Maurice Bucaille seorang pakar bedah berkebangsaan Perancis yang telah meneliti jasad Fir’aun, hingga penelitian terbaru yang dilakukan oleh Prof Schultz berserta koleganya Dr Hazim, menemukan keajaiban pada proses penyembelihan hewan ternak secara syari’at Islam.

Tahapan yang dilakukan oleh kedua staf ahli peternakan Hannover University tersebut, dimulai dengan mengelompokkan sapi yang telah cukup umur (dewasa), kemudian memasangkan elektroda (microchip) jenis Electro-Encephalograph (EEG) pada permukaan otak kecil yang menjadi titik (respon) rasa sakit. Hal ini dimaksudkan untuk merekam dan mencatat tingkat rasa sakit sapi ketika disembelih. Mereka  juga memasangkan Elektro Cardiograph (ECG) pada jantung sapi untuk merekam aktivitas atau respon jantung saat keluarnya darah.

Setelah waktu adaptasi pemasangan  kedua microchip tersebut dirasa cukup, maka proses penyembelihan ternak pun dilakukan. Hasilnya adalah tiga detik pertama tidak menunjukkan perubahan apapun pada grafik EEG. Hal ini menandakan tidak adanya rasa sakit yang dirasakan oleh sapi tersebut. Namun 3 detik berikutnya EEG mulai merekam adanya penurunan grafik secara bertahap yang mempunyai kemiripan dengan proses deep sleep (tidur nyenyak) hingga sapi tersebut kehilangan kesadaran.

Bersamaan dengan itu ECG yang terdapat pada jantung sapi, merekam adanya  aktivitas yang luar biasa sehingga  menarik / memompa sebanyak mungkin darah dari seluruh anggota tubuhnya. Hal ini sebagai refleksi gerakan koordinasi antara jantung dan sumsum tulang belakang (spinal cord).

Saat darah memancar dari ketiga saluran yang terputus pada leher sapi, grafik EEG tidak naik, akan tetapi justru mengalami drop (turun) hingga ke angka zero level (angka nol). Hal itu diterjemahkan oleh para peneliti dengan istilah “no feeling of paint at all!” (tidak ada rasa sakit sama sekali).

Hasil yang telah ditemukan oleh Peneliti tersebut, sejalan dengan sabda Nabi saw:


عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص اَمَرَ بِكَبْشٍ اَقْرَنَ يَطَأُ فِى سَوَادٍ وَ يَبْرُكُ فِى سَوَادٍ وَ يَنْظُرُ فِى سَوَادٍفَاُتِيَ بِهِ لِيُضَحّيَ بِهِ، فَقَالَ لَهَا: يَا عَائِشَةُ، هَلُمّى اْلمُدْيَةَ. ثُمَّ قَالَ: اِشْحَذِيْهَا بِحَجَرٍ. فَفَعَلَتْ. ثُمَّ اَخَذَهَا وَ اَخَذَ اْلكَبْشَ فَاَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ. ثُمَّ قَالَ: بِاسْمِ اللهِ اَللّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ وَ مِنْ اُمَّةِ مُحَمَّدٍ. ثُمَّ ضَحَّى بِهِ. ( رواه مسلم)

Artinya:

“Dari ‘Aisyah bahwasanya Rasulullah SAW menyuruh mengambilkan kambing yang bertanduk, hitam kakinya, hitam perutnya, hitam sekeliling matanya. Lalu kambing itu didatangkan untuk disembelih. Maka beliau SAW bersabda, “Hai ‘Aisyah, ambilkanlah pisau”. Beliau bersabda lagi, “Asahlah pisau itu dengan batu”. Kemudian ‘Aisyah melaksanakannya. Kemudian beliau mengambil pisau dan kambing tersebut, lalu membaringkannya untuk menyembelihnya. Beliau membaca, “Bismillaahi Allahumma taqobbal min Muhammadin wa aali Muhammadin wa min ummati Muhammadin (Dengan nama Allah, ya Allah, terimalah dari Muhammad, keluarga Muhammad dan dari ummat Muhammad)”. Kemudian beliau menyembelihnya. [HR. Muslim juz 3, hal. 1557] 

Dalam Hadis ini, Nabi menyuruh Aisyah untuk mengasah pisaunya supaya tajam. Hal ini dimaksdukan untuk memudahkan proses penyembelihan sehingga secara bersamaan mampu memutuskan ketiga saluran pada leher bagian depan yaitu saluran makanan, nafas serta dua saluran pembuluh darah (arteri karotis dan vena jugularis). Adapun binatang sembelihan yang meronta-ronta dan merenggangkan ototnya, ternyata bukanlah ekspresi rasa sakit, melainkan hanya sekedar respon keterkejutan otot dan saraf saja.

            Prof  Schultz menambahkan penjelasannya bahwa dengan terpompanya darah secara maksimal, maka akan menghasilkan daging yang sehat (healthy meat) sehingga layak dikonsumsi bagi manusia. Berbeda halnya ketika disembelih dengan cara stunning (pemingsanan) yang banyak dilakukan oleh orang-orang barat. Mereka menganggap bahwa sapi yang telah hilang kesadarannya (pingsan), maka akan mudah proses penyembelihan. Namun penelitian membuktikan bahwa justru sapi akan merasakan tekanan rasa sakit yang luar biasa, jantungnya juga  berhenti berdetak lebih awal dan tidak mampu memompa darah secara maksimal. Bahkan akan terjadi pembekuan darah pada urat atau daging yang menjadi cikal bakal berkembangannya bakteri perusak (pembusuk), sehingga dagingnya menjadi tidak sehat (unhealthy meat).  

Demikian uraian singkat mengenai hasil penelitian terkait penyembelihan ternak secara syari’at Islam yang dilakukan oleh Prof Schultz dan Dr Hazim yang juga sebagai staf ahli peternakan hewan Hannover University Jerman.

 

Wallahu ‘alam bish Shawab.

  

Ternate 4 Agustus 2020  

 

 

 


Minggu, 02 Agustus 2020

Sebuah Harapan Kepada Sang Haji (sebuah makna filosofis rukun haji)

Sebuah Harapan Kepada Sang Haji

(sebuah makna filosofis rukun haji)

Oleh : Muhammad Irfan Hasanuddin

 Haji batal, PKS: Langgar undang-undang dan cacat hukum! - Hope in ...

 

Bulan dzul hijjah adalah salah satu bulan yang dinanti-nantikan oleh  umat Islam, karena pada bulan tersebut, dilaksanakan ibadah haji maupun ibadah kurban. Diantara beberapa deretan rukun Islam, pelaksanaan ibadah haji menjadi sesuatu yang sangat istimewa. Hal ini disebabkan hanya orang-orang tertentu yang dapat melaksanakannya. Kemampuan dari segi mental hingga materi pun tak luput dari persiapan. Sebagaimana firman Allah dalam QS Ali Imran: 97

فِيْهِ اٰيٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ مَّقَامُ اِبْرٰهِيْمَ ەۚ وَمَنْ دَخَلَهٗ كَانَ اٰمِنًا ۗ وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ – ٩٧

Terjemah :

“Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam”.

Ayat ini dipahami oleh sebahagian ulama sebagai dasar wajibnya mengerjakan ibadah haji. Hal ini dijelaskan oleh Allah pada kalimat walillahi alan nasi hijjul baiti. Artinya semua manusia dipanggil oleh Allah ke Baitullah untuk melaksanakan ibadah haji. Akan tetapi mengenai rukun Islam yang satu ini, diberikan pengecualian hanya bagi orang yang memiliki kesanggupan untuk mengadakan perjalanan tersebut.

Lebih jauh Ulama menjelaskan maksud dari kata kesanggupan (yang menjadi syarat wajib Haji), yaitu sehat jasmani dan rohani, memiliki kemampuan materi berupa biaya/ bekal perjalanan,  serta biaya hidup untuk keluarga yang ditinggalkan.

Setelah melaksanakan seluruh rangkaian Ibadah Haji,  mereka pun berhak menyandang titel haji. Namun yang terpenting dari hal itu ialah adanya makna-makna filosofis dari setiap pelaksanaan ibadah tersebut. Misalnya pada rukun Haji. Terdapat niat Ihram, yang di barengi dengan memakai pakaian Ihram yang berbahan baku kain putih tanpa ada jahitan. Hal ini dipahami oleh sebahagian Ulama sebagai simulasi memakai kain kafan ketika kita meninggal dunia nantinya.

Tidak adanya jahitan pada kain, hingga warna (putih) yang seragam, menandakan tidak adanya batasan status sosial karena semua sama dimata Allah. Dan yang membedakan hanyalah ketakwaan kepada-Nya. Setelah niat, rukun haji berikutnya adalah melaksanakan Thawaf. Yaitu mengelilingi ka’bah sebanyak tujuh kali yang arah putarannya berlawanan dengan arah jarum jam. Hal ini menandakan bahwa kehidupan diibaratkan sebagai roda yang berputar. Kadang berada di bawah dan kadang juga berada di atas. Olehnya itu Jangan pernah merasa bangga dengan jabatan maupun prestasi yang telah ditorehkan, karena semua itu hanyalah titipan atau ujian dari Allah.

Ketika berada di bawah, jangan pernah merasa kecewa dan berkecil hati. Karena akan ada masanya kita juga akan berada di atas. Teruslah bersabar, bersyukur, kerja keras, serta senantiasa optimis bahwa cepat atau lambat pasti harapan dan cita-cita akan kita gapai. Demikian juga yang sedang berada di atas (punya jabatan tinggi), jangan berbangga diri, menyusahkan orang lain atau mempersulit yang seharusnya dipermudah, apalagi sampai menzalimi orang lain. karena semua yang kita lakukan tersebut pasti akan ada balasannya sebagaimana firman Allah dalam QS al-Zalzalah: 7-8

فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ - ٧ وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ ࣖ - ٨

Terjemah:

“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya”,

“Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya”.   

Setelah melakukan Thawaf dilanjutkan dengan Sa’i, yaitu berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwah. Shafa berarti putih bersih. Hal ini menandakan bahwa jika mengerjakan sesuatu harus dengan hati yang ikhlas tanpa adanya kepentingan lain. sedangkan  marwah berarti  sempurna. Yang salah satu maknanya adalah mengerjakan sesuatu secara totalitas serta profesional. Tentunya diawali dengan sebuah perencanaan hingga pertimbangan yang matang serta melibatkan Tuhan dalam setiap urusan. Seperti halnya Nabi Ibrahim ketika meninggalkan sitti Hajar beserta Ismail as di sebuah padang tandus tak berpenghuni. Dan tidak disangka bahwa disanalah akan lahir sebuah peradaban baru yang juga menjadi titik awal dari perkembangan agama Islam.

Rukun ibadah Haji selanjutnya adalah melakukan Wukuf di padang Arafah, yaitu sebuah aktivitas yang dilakukan dengan berdiam diri sambil memperbanyak ibadah, seperti shalat sunnah, membaca al-Qur’an hingga berzikir. Kegiatan ini dilakukan pada tanggal 9 dzul hijjah dari waktu dhuhur hingga menjelang magrib. Hal ini sebagai gambaran adanya padang mahsyar sebagai tempat berkumpulnya seluruh manusia untuk mempertanggung jawabkan segala apa yang Ia kerjakan.

kemudian melakukan perjalanan menuju Mina untuk melontar jumrah dan bermalam di musdalifah untuk mencari batu krikil yang akan dipakai saat melontar jumrah ula, wushtha, dan aqabah yang merupakan simbol pernyataan permusuhan manusia dengan Iblis laknatullah ‘alaih dan tidak akan melakukan kompromi (bersekutu), mengikuti langkah-langkah serta segala godaannya.

Rukun berikunya  ialah melakukan tahallul, yaitu memotong (mencukur) rambut kepala minimal tiga helai secara bergantian, sebagai tanda bahwa selesainya rukun ibadah haji dan sudah boleh melepas pakaian ihramnya. Hal ini sebagai simbol kesucian yang diibaratkan seperti bayi yang baru dilahirkan. Tentu diharapkan ketika kembali nanti Ia dapat memulai sesuatu dengan semangat baru, menumbuhkan kebaikan baru. Serta menjadi teladan bagi keluarga dan masyarakat.

 Apa yang penulis sampaikan dalam tulisan ini hanyalah sebagaian kecil dari makna filosofis dari rangkaian ibadah Haji. Tentu yang diharapkan bukanlah sekedar bergelar Haji, akan tetapi bagaimana mereka bisa mengaplikasikan setiap nilai-nilai filosofis yang terdapat pada setiap rangkaiannya. selamat bagi para jama'ah yang telah melaksanakan ibadah Haji, semoga menjadi Haji yang Mabrur . Amin ya Rabbal 'alamin.

Wallahu ‘alam bish shawab

 

Ternate, 2 Agustus 2020

 


asasas

 sasasasas