Minggu, 02 Mei 2021

Jalan Untuk Menggapai Lailatul Qadar

 

Jalan Untuk Menggapai Lailatul Qadar

Oleh :

Muhammad Irfan Hasanuddin


Salah satu keistimewaan bulan suci Ramadhan yaitu adanya  lailatul Qadar. Malam tersebut diyakini sebagai malam yang sakral sebab berbagai urusan akan ditetapkan, do’a-do’a akan diijabah dan bahkan ketika melakukan ibadah maka akan dilipat gandakan pahalanya hingga seribu kali lipat. Sebagaimana firman Allah dalam QS al-Qadar:

 اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْر(1) وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِۗ) لَيْلَةُ الْقَدْرِ ەۙ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍۗ) تَنَزَّلُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِاِذْنِ رَبِّهِمْۚ مِنْ كُلِّ اَمْرٍ) سَلٰمٌ ۛهِيَ حَتّٰى مَطْلَعِ الْفَجْرِ ࣖ )

Terjemah:

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam qadar. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan. Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar”.

Ayat di atas yang mayoritas ulama menjadikannya sebagai dasar tentang adanya lailatul Qadar, namun mengenai kapan dan malam keberapa turunnya masih menjadi sebuah misteri. Ketika mencermati ayat di atas, maka kita akan mendapati term anzalnahu yang dipahami sebagai sesuatu yang turun atau berpindah dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah baik secara material maupun immaterial. Lebih jauh ulama tafsir memberikan penjelasan bahwa pengunaan kata anzalnahu yang terambil dari kata anzala sangat jauh berbeda dengan penggunaan kata nazzala meskipun dari segi akar kata memiliki kemiripan.

Kata anzala pada umumnya digunakan untuk menunjukkan turunnya sesuatu secara utuh atau sekaligus, sedangkan kata nazzala digunakan untuk turunnya sesuatu sedikit demi sedikit atau secara berangsur-angsur. Dari dasar kata inilah ulama tafsir memahami turunnya al-Qur’an dengan dua proses, yaitu turun secara sekaligus kemudian setelah itu turun lagi secara berangsur-angsur. Yang dimaksud dengan turun secara sekaligus, yaitu dari lauhil mahfudz ke langit dunia, dan setelah itu turun secara berangsur-angsur dari langit dunia sampai kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat jibril selama kurang lebih 23 tahun.

Kemudian ayat di atas menerangkan tentang lailatul Qadar yang diyakini sebagai malam kemuliaan. Mulia dikarenakan pada malam tersebut ditentukan berbagai urusan makhluk sesuai dengan makna ayat min kulli amrin, dan akan terbebaskan dari segala macam kekurangan baik secara lahiriah maupun batiniyah sehingga seseorang yang hidup dalam salam akan terbebaskan dari penyakit, kemiskinan, kebodohan, dan lain sebagainya.

Kemulian lailatul Qadar yang diuraikan pada ayat di atas, hingga saat ini manusia belum mampu mengetahui dan menjangkau secara keseluruhan betapa hebat dan mulianya malam tersebut. Kata-kata yang digunakan oleh manusia sangat terbatas, dan akhirnya sulit melukiskan, serta nalarnya sukar untuk menjangkaunya. Bahkan hanya bisa menggambarkannnya dengan istilah malam itu lebih baik dari seribu bulan. Meskipun demikian, beberapa hadis Nabi menunjukkan tanda-tanda diturunkannya al-Qadar tersebut. Antara lain hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra, Nabi saw bersabda: “lailatul Qadar adalah malam tentram dan tenang, tidak terlalu panas dan tidak pula terlalu dingin, dan keesokan paginya sang surya terbit dengan sinar lemah berwarna merah.” Beberapa riwayat yang lainnya juga mengungkapkan bahwa carilah Lailatul Qadar itu pada 10 akhir ramadhan utamanya pada malam-malam ganjil.

Ada hal yang unik ketika beberapa riwayat menyebutkan untuk mencari lailatul qadar pada malam-malam ganjil saja khususnya sepuluh akhir ramadhan. Yang perlu juga kita yakini adalah turunnya malam kemuliaan tersebut akan terus ada hingga kiamat tiba sesuai dengan penggunaan kata tanazzalul malaikatu (turunnya malaikat), dimana kata tanazzalu adalah bentuk fi’il mudhari’ yang digunakan untuk waktu sekarang, sementara berlangsung atau yang akan datang.

Jika melihat kebiasaan masyarakat khususnya yang ada di Indonesia, pada sepuluh akhir ramadhan masjid-masjid sudah mulai sepi dan sebaliknya tempat-tempat perbelanjaan, mall dan sejenisnya mulai ramai bahkan lebih padat dibandingkan pada awal ramadhan, inilah salah satu hikmah mengapa Nabi mengatakan “carilah lailatul qadar pada sepuluh akhir ramadhan”. Olehnya itu dugaan sementara bagi penulis bahwa dengan adanya hadis-hadis yang mengajurkan untuk mencari lailatul qadar pada sepuluh akhir ramadhan, dapat memberikan sprit keagamaan yang mulai kendor. ganjaran pahala yang berlipat gandapun menjadi balasan bagi mereka yang istiqamah hingga akhir ramadhan.

Selama pencaharian lailatul qadar, dianjurkan untuk memperbanyak ibadah baik itu yang berkaitan dengan sholat sunnah, i’tiqaf di masjid, tadarusan, memperbanyak zikir, hingga ibadah-ibadah lainnya. Pertanyaannya kemudian adalah apakah lailatul qadar itu hanya milik orang yang beribadah mahdah saja?, tentu tidak demikian. Sebab inti dari menggapai lailatul qadar adalah berbuat kebaikan baik itu bentuknya dengan beribadah kepada Allah swt mapun membatu sesama. Misalnya saja di masa pademi seperti saat sekarang ini, bisa jadi para tenaga kesehatan yang menangani pasien covid-19 juga menginginkan beribadah tiap malamnya, namun apa hendak dikata daya pun tak sampai dikarenakan harus merawat pasien yang terjangkit virus.

            Contoh seperti inilah yang menggambarkan bahwa menggapai lailatul qadar itu bukan hanya terbatas dengan melakukan ibadah mahdah semata, namun masih banyak kebaikan lainnya yang biasa kita lakukan termasuklah para tenaga kesehatan yang berada pada garda terdepan untuk memberikan jaminan kesehatan kepada para pasiennya.

Olehnya itu, menggapai laitul qadar mestinya dicari lebih awal bukan hanya sekedar memaksimalkan sepuluh akhir ramadhan saja dengan memaksimalkan segala ibadah yang dilakukan. Dan yang terpenting lagi adalah mencari jalan kebaikan serta tidak membatasinya hanya dengan ibadah mahdah semata, melainkan juga dapat mengerjakan beberapa ibadah yang lain seperti merawat atau mengobati pasien covid-19, menjaga kemanan negara, dan lain sebagainya. Kemudian yang perlu juga dipahami serta diyakini bahwa malam kemuliaan itu akan terus ada sepanjang tahun hingga kiamat tiba, maka dari itu persiapkan diri serta pantaskan diri untuk menggapai malam yang lebih baik dari seribu bulan.  

 

Wallahu ‘alam bish Shawab

 

 

Ternate, 3 Mei 2021

 

 

 

 

Jumat, 30 April 2021

Tetesan Keringat Kaum Buruh

 

Tetesan Keringat Kaum Buruh

Oleh:

Muhammad Irfan Hasanuddin

 


Ketika membuka lembaran sejarah, maka kita akan mendapati bahwa cikal bakal lahirnya peringatan hari buruh berdasarkan dari perayaan oleh orang-orang Yunani dan Romawi kuno sebagai ritual praktik pertanian yang dimaksudkan untuk menyambut pergantian musim. Seiring berjalannya waktu, kemudian hal tersebut dijadikan sebagai dasar sebagai hari libur internasional untuk menghormati para pekerja serta gerakan buruh yang tersebar di seluruh dunia. Bahkan pada abad ke-19 (masa revolusi industri) para buruh mengadakan gerakan demonstrasi untuk memperoleh hak-haknya. Sejak saat itu tanggal 1mei diperingati sebagai hari buruh sedunia.

Berbicara persoalan Buruh, di dalam al-Qur’an tepatnya pada QS at-Thalaq: 6 Allah SWT berfirman:

 

اَسْكِنُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِّنْ وُّجْدِكُمْ وَلَا تُضَاۤرُّوْهُنَّ لِتُضَيِّقُوْا عَلَيْهِنَّۗ وَاِنْ كُنَّ اُولَاتِ حَمْلٍ فَاَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ حَتّٰى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّۚ فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۚ وَأْتَمِرُوْا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوْفٍۚ وَاِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهٗٓ اُخْرٰىۗ

 

Terjemah:

Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.

 

Berdasarkan ayat di atas, mayoritas ulama Tafsir menjelaskan bahwa perjanjian perburuhan dengan menggunakan tenaga manusia untuk melakukan suatu pekerjaan dibenarkan dalam Islam dengan kata lain, pelaksanaan pemberian upah (upah kerja) yang merupakan ijarah dalam hukum Islam. Ayat di atas juga dikuatkan lagi oleh sabda Nabi SAW:

أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

Artinya:

“Berikan upah pekerja sebelum kering keringatnya”

Bahkan hadis yang lainnya menyebutkan bahwa ketika menahan upah seseorang, maka itu termasuk perbuatan dosa, bahkan Allah pun akan memeranginya. Sebagaimana sabda Nabi saw:

 

حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ سُلَيْمٍ عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أُمَيَّةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ

Artinya :

“Telah menceritakan kepada saya Yusuf bin Muhammad berkata, telah menceritakan kepada saya Yahya bin Sulaim dari Ismail bin Umayyah dari Sa’id bin Abi Sa’id dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah Ta’ala berfirman : Ada tiga jenis orang yang aku berperang melawan mereka pada hari kiamat, seseorang yang bersumpah atas namaku lalu mengingkarinya, seseorang yang berjualan orang merdeka lalu memakan (uang dari) harganya dan seseorang yang mempekerjakan pekerja kemudian pekerja itu telah menyelesaikan pekerjaannya namun tidak dibayar upahnya”.

Meskipun tidak ada waktu yang mengatur kapan dibayarkan upah bagi pekerja, akan tetapi untuk tata cara pembayaran upah diatur berdasarkan hadis di atas, sehingga ada larangan untuk  menangguhkan upah dari hasil pekerjaan.

Hal ini juga diperkuat oleh Pasal 1 ayat 30 UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan bahwa “Upah merupakan hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan” .Bahkan pada pasal 95 ayat(2) UU No 13 Tahun 2003 dijelaskan bahwa “Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh”

Oleh karena itu, jelaslah bahwa diwajibkan kepada para pemberi kerja untuk segera memberikan upah pekerjaan setelah pekerja tersebut telah menyelesaikan pekerjaannya. Bahkan Yusuf Qardhawi mengtakan bahwa sesuangguhnya seorang pekerja hanya berhak atas upahnya jika ia telah menunaikan pekerjaannya sebagaimana mestinya, dan sesuai dengan kesepatakan atau perjanjian kerjanya. Demikian juga pada profesi yang lainnya wajib untuk membayarkan upah ketika telah selesai dari pekerjaannya. Selamat hari buruh, tetesan keringatmu akan menjadi penggugur dosa serta mengantarkan kepada kemuliaan. Wallalu ‘alam bish shawab

 

 

Ternate 1 Mei 2021

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Minggu, 25 April 2021

Syaitan Terbelenggu Tapi Peluang Maksiat Tetap Menggebu

 

Syaitan Terbelenggu Tapi Peluang Maksiat Tetap Menggebu




.........إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ

Artinya:

“ketika masuk bulan ramadhan, maka pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan syaitan-syaitan telah dibelenggu” (HR Bukhari no 1899 & Muslim no 1079).

Potongan hadis di atas tentu tidak asing lagi bagi kita, hampir setiap datangnya bulan suci ramadhan, para Khatib/penceramah mengutip hadis tersebut. Dan sebahagian masyarakatpun meyakini benar adanya bahwa pintu surga dibuka dan pintu neraka ditutup serta syaitan-syaitan tidak diberi ruang sedikitpun untuk melakukan aksi dikarenakan mereka telah terbelenggu.

Ada hal penting yang dapat kita garis bawahi, yaitu kalimat “syaitan-syaitan telah dibelenggu”. Pertanyaan yang berkembang berikutnya adalah, apakah memang benar syaitan itu terbelenggu ? sehingga maksiatpun terminimalisirkan atau bahkan nyaris tak diberitakan karena tidak adanya pelaku maksiat?. Ternyata hadis tersebut tidak bisa dipahami secara tekstual, sebab faktanya dilapangan ternyata masih banyak pelaku kriminal yang melakukan aksi. Contoh sederhana saja yang sering tejadi di masyarakat, kadang ada yang kehilangan alas kaki ketika ikut berjamaah dimasjid. Padahal ini kan bulan suci ko’ masih ada bisikan-bisikan syaitan yang telah mempengaruhi pelakunya untuk melakukan aksi pencurian tersebut.

Sebahagian ulama sebenarnya telah memberikan klarifikasi mengenai hal tersebut, bahwa hadis itu tidak bisa dipahami secara tekstual, melainkan harus dipahami secara kontekstual. Pengertian “pintu” di sini bukanlah seperti pintu yang kita lihat setiap hari, akan tetapi merupakan bahasa majaz  (kiasan) yang memiliki makna dibukanya “kesempatan” atau “peluang” sesuai dengan penggunaan kata marhaban ketika menyambut bulan suci ramadhan yang memiliki makna lapang atau luas. Artinya kita diberikan kesempatan untuk memperbanyak amal ibadah selama bulan ramadhan dan menjadikan setiap waktu luang menjadi peluang untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah swt.

Demikian halnya dengan makna terbelenggunya syaitan yang dipahami sebagai makna kiasan yang menunjukkan keterbatasan akses untuk melakukan perbuatan maksiat. Hal ini dikarenakan adanya proses pengendalian hawa nafsu selama melakukan ibadah puasa, akan tetapi hal tersebut bukan sebuah jaminan kepada seseorang untuk terhindar dari perbuatan maksiat. Bisa jadi ketika Ia fokus melakukan ibadah, maka akan berdampak kepada perilaku kesehariannya. Namun bisa jadi pula Ia mengabaikan ibadah selama bulan suci, dan  tetap melakukan maksiat sebagaimana bulan-bulan lainnya. Semuanya diserahkan kepada pribadi masing-masing apakah ia mampu membelenggu syaitannya (hawa nafsunya) atau bisa jadi ia akan diperbudak oleh syaitan (memperturutkan hawa nafsunya).

Meskipun bulan suci ramadhan dinilai sebagai ladang untuk memperoleh peluang kebaikan, akan tetapi tidak sedikit juga yang menjadikannya sebagai ladang uang. Ia hanya fokus mencari keuntungan dunia semata dan menggadaikan keuntungan akhiratnya. Padahal bulan ramadhan memberi ruang untuk menjadi seorang mujahid (pejuang). Tentu yang dimaksudkan adalah berjuang untuk mengendalikan hawa nafsu ammarah/lawwamah (labil) untuk mencapai derajat muthmainnah (stabil).

Dengan genjotan latihan yang dilakukan selama ramadhan, akan menjadikan pribadi seseorang memiliki kestabilan watak yang menjadi salah satu penentu kemenangan dalam sebuah perjuangan. Hal ini telah di sampaikan oleh Rasulullah saw dalam sebuah sabdanya ketika selesai dari perang badar. Beliau mengatakan bahwa “kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad yang besar, sahabat bertanya ? apakah yang dimaksud dengan jihad akbar (besar) itu ?, Rasulullah saw menjawab: jihad akbar itu adalah jihad melawan hawa nafsu.

Olehnya itu dengan adanya bulan suci ramadhan, kita diberikan peluang yang seluas-luasnya untuk menggarap amalan ibadah sebagai bekal menuju akhirat, dan kesempatan untuk membelenggu hawa nafsu semakin besar, sehingga pintu kemenanganpun dengan mudahnya akan kita raih. Wallahu ‘alam bish shawab.

 

Ternate, 25 April 2021          

Minggu, 18 April 2021

Ramadhan Sebagai Media Pendidikan Karakter

 

Ramadhan Sebagai Media Pendidikan Karakter

 


Ramadhan tiba, ramadhan tiba....... Marhaban ya Ramadhan Marhaban ya syahra Shiyam. Demikian sepenggal lagu yang sangat populer ketika datangnya bulan suci Ramadhan.

Dalam kamus-kamus Arab, Kata Marhaban biasanya digunakan sebagai kata seru untuk menyambut atau menghormati tamu, yang diungkapkan dengan istilah  “selamat datang” dan memiliki kemiripan arti dengan kata ahlan wa sahlan. Meskipun diklaim memiliki kemiripan makna, akan tetapi berbeda dalam segi penggunaannya.

Pada umumnya Ulama menggunakan kata Marhaban  untuk menyambut bulan suci Ramadhan yang mengandung makna bahwa kita menyambutnya dengan lapang dada, penuh kegembiraan tanpa menggerutu atau membuat keruh suasana hati kita. Berbeda halnya jika yang digunakan kata ahlan wa sahlan yang memiliki makna ungkapan selamat datang yang menyiratkan kepada tamunya bahwa mereka adalah bagian dari keluarga (tuan rumah) atau dengan kata lain anda berada di tengah keluarga sendiri dan kemanapun melangkahkan kaki maka akan dimudahkan oleh tuan rumah. Olehnya itu kata Marhaban ya Ramadhan kita ucapkan untuk menyambut bulan suci Ramadhan karena ingin mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh guna melanjutkan perjalanan menuju kepada Allah swt.

Ketika menjalankan ibadah pada bulan suci Ramadhan, tentu masyarakat berbeda dalam menyikapinya. Ada yang menganggapnya sebagai ladang pahala dan ada juga yang hanya memikirkan keuntungan duniawi semata. Ibadah ramadhanpun hampir terlewatkan seluruhnya dikarenakan hanya fokus untuk mengumpulkan harta. Meskipun demikian, masih banyak juga yang masih fokus untuk memperbanyak amal ibadah, mulai dari tadarusan, shalat sunnah tarawih hingga ibadah-ibadah lainnya tidak terlewatkan sedikitpun.

Dalam bulan suci Ramadhan pun kita dituntut untuk memperbaki diri serta meningkatkan kualitas iman. itu sebabnya Ramadhan juga disebut dengan istilah bulan tarbiyah atau bulan pendidikan. Selama ramadhan kita dituntut untuk menahan diri dari segala yang membatalkan puasa, mulai dari hal-hal yang berhubungan dengan makan dan minum, hingga hal-hal yang berhubungan dengan perkara-perkara yang dapat merusak kualitas puasa, seperti berbohong, mengumpat, ghibah, dan lain sebagainya. Sebagaimana yang disinggung oleh Nabi saw dalam sebuah hadisnya bahwa “betapa banyak orang yang berpuasa hanya sekedar menahan lapar dan dahaga” artinya ada yang berpuasa tapi tidak berkualitas dan bahkan nyaris tidak mendapatkan pahala.

Di samping itu, menjalankan ibadah puasa juga menjadi media dari proses pengaplikasian nilai-nilai pendidikan dan kemanusiaan. Dalam berpuasa tentu membutuhkan ketekunan hati ketika melakukannya. Dari ketekunan itulah akan melahirkan puasa yang berkualitas serta kehidupan yang humanis.

Meningkatkan kualitas hidup lewat puasa yang kita kerjakan, tentu tidak akan lahir dari sekedar menahan lapar dan dahaga, akan tetapi ia lahir dari konsistensi anggota tubuh untuk menghindari hal-hal yang dapat merugikan kita bahkan menjerumusukan kedalam kehinaan. Lebih jauh lagi puasa mendidik kita untuk meningkatkan kualitas  hidup melalui tarbiyah atau pendidikan, khususnya yang berhubungan dengan karakter dimana esensi pendidikan karakter terletak pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behavior), motivasi (motivation), dan keterampilan (skills).

Esensi pendidikan karakter sebenarnya sudah ada dalam praktik berpuasa. Setidaknya ada tiga nilai pokok. Pertama, adanya sikap kritis dan peduli terhadap lingkungan sosial yang ada disekitar kita. Kedua, adanya pertautan atara kesalehan individual dan kesalehan sosial. Ketiga, lahirnya jiwa keagamaan yang inovatif, kreatif, dan efisien. Ketiga nilai tersebut, akan menjadi pedoman dalam implementasi pendidikan karakter. Di samping itu, puasa juga mengajarkan kepada kita untuk bersikap lebih peka terhadap lingkungan sekitar agar melahirkan serta menumbuhkan sifat kepekaan sosial terhadap sesama.

Olehnya itu menjalani keseharian dalam bulan suci Ramadhan tentu bukan hanya sekedar memikirkan apa yang dimakan pada waktu sahur maupun pada waktu berbuka puasa, akan tetapi lebih fokus kepada hal-hal yang dapat menambah kualitas ibadah puasa yang kita lakukan seperti memperbanyak baca Qur’an, bersedekah, khususnya saling berbagi antar sesama agar pendidikan karakter yang dibangun akan lebih terasa. Demikian halnya ketika melaksanakan shalat sunnah tarawih, bukan sekedar mana yang terbanyak jumlahnya apakah 8 rakaat atau 20 rakaat dan mana yang cepat atau lambat gerakannya, akan tetapi yang terpenting dari semua itu adalah mana yang lebih khusyu’ agar mendapatkan predikat shalat yang berkualitas. Wallahu ‘alam bish shawab

 

 

Ternate, 18 April 2021

 

    

Kamis, 11 Maret 2021

Menggali Makna Tersirat Melalui Peristiwa Isra’ dan Mi’raj

 

Menggali Makna Tersirat Melalui Peristiwa Isra’ dan Mi’raj

Oleh: Muhammad Irfan Hasanuddin

 




Berbicara tentang peristiwa Isra’ maupun Mi’raj, maka kita akan tertuju pada QS al-Isra’:1 dan QS al-Najm: 13-18. Dan yang paling banyak diperbincangkan atau didiskusikan, yaitu QS al-Isra’. Dimana pada surah tersebut mengandung makna yang luar biasa.  namun pada tulisan ini, tidak akan diuraiakan secara ekplisit maupun terinci mengenai  peristiwa isra’ dan mi’raj melainkan akan diuraikan beberapa ibrah (pelajaran)  yang terkandung di dalam peristiwa tersebut.

Pertama. Peristiwa Isra & Miraj bukan hanya sebatas perjalanan spritual semata yang secara khusus diberikan kepada Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi yang lebih terpenting adalah cara Allah memberikan balasan kepada setiap hambanya yang mampu menjalani dan melalui gelombang ujian kehidupan yang dihadapi.

Apa yang dialami oleh Nabi hanyalah sebahagian kisah yang mewakili hamba-hamba yang telah diberikan kemuliaan serta keistimewaan dari Allah SWT. Dimana pada saat itu, Nabi mengalami hal yang amat menyedihkan atau lebih dikenal dengan istilah ‘amul huzni. Awal mulanya wafat  Khadijah sang istri tercinta, kemudian menyusul wafatnya sang paman terkasih yaitu Abu Thalib. Olehnya itu Allah ingin menghibur Nabi dengan cara menguatkan hatinya dan memperlihatkan secara langsung kebesaran Allah SWT. Sehingga hati Nabi semakin mantap dan teguh dalam menyebarkan Agama Allah SWT.

Hal ini memberikan pelajaran kepada kita, bahwa siapa pun yang berjuang di jalan Allah, dan menegakkan agamanya, misalnya dengan memakmurkan masjid, memakmurkan majlis ilmu, maupun dzikir, maka Allah akan memberikan kebahagiaan dan keistimewaan baginya. Kemudian yang perlu diyakini juga bahwa dibalik kesulitan maupun kesusahan yang kita hadapi, maka Allah senantiasa memberikan jalan kemudahan, sesuai dengan firman Allah QS al-Insyirah ayat 5-6.

Kedua. Adanya perintah kewajiban menjalankan shalat lima waktu bagi setiap muslim. Jika Nabi melakukan Isra’ Mi’raj dengan ruh dan jasadnya, sebagaimana yang telah disebutkan Sayyid Ja'far Ibn Husain Ibn Abdul Karim Ibn Muhammad Ibn Rasul dalam kitab Al-Barzanji, maka sudah sepantasnya bagi setiap Muslim menghadap (mi’raj) kepada Allah Swt lima kali dalam sehari yang dibarengi dengan jiwa dan hati yang khusyu’. Sesuai dengan perintah Allah أقِيْمُوْاالصَّلاةَ yang memiliki makna “mendirikan shalat” bukan إِفْعَلوْاالصَّلاةَ atau “mengerjakan shalat”, sehingga hal itu tentu tidak memiliki nilai kekhusyuan karena hanya sekedar untuk melaksanakan kewajiban semata.

Olehnya itu, dengan melakukan shalat yang khusyu’, maka diharapkan bagi setiap manusia akan merasa diawasi oleh Allah, sehingga iapun malu untuk menuruti syahwat, hawa nafsu, berkata yang tidak sepantasnya, mencaci maki orang lain, dan berkata bohong. Dan yang terpenting adalah dapat menjadikannya sebagai pribadi yang gemar dan mudah untuk melakukan banyak kebaikan. Tentunya hal tersebut bertujuan untuk mengagungkan keesaan dan kebesaran Allah, sehingga dapat menjadi makhluk Allah yang terbaik di muka bumi ini.

Ketiga. Isra’ & Miraj adalah mukjizat Nabi Muhammad Saw, dengan perjalanan beliau dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, kemudian menuju Sidratul Muntaha. Sejarah tersebut menjadi perjalanan pertama manusia di dunia menuju luar angkasa, dan kembali menuju bumi dengan selamat. Jika hal ini telah terjadi di zaman Nabi, 1400 tahun yang lalu, maka hal tersebut memberikan pelajaran bagi umat Islam agar hidup dengan mandiri, belajar, bangkit dan meningkatkan kemampuan, tidak hanya dalam masalah agama, sosial, politik, dan ekonomi, namun juga harus melek terhadap sains maupun teknologi. Sebab perjalanan menuju ke luar angkasa adalah sains dan teknologi tingkat tinggi dimana dapat menjadi salah satu tolok ukur kemajuan sebuah bangsa.

Keempat. Dalam perjalanan Isra’ & Mi’raj, terdapat penyebutan dua tempat ibadah, yaitu Masjid Haram dan Masjid Aqsha. Hal tersebut memberikan gambaran bagi kita bahwa di samping Masjid Haram, ada Masjid Aqsha sebagai bagian dari tempat suci umat Islam. Olehnya itu membela Masjidil Aqsha dan sekelilingnya sama saja dengan membela agama Islam. Dan sudah menjadi sebuah kewajiban bagi setiap muslim (sesuai dengan kemampuan masing-masing) agar berjuang dan berkorban untuk kemerdekaan dan keselamatan Masjidil Aqsha di Palestina. Baik melalui diplomasi politik, bantuan sandang pangan, maupun dengan harta.

            Kelima. Pada akhir ayat yang pertama QS al-Isra’ tersebut, ditutup dengan kalimat “innahu huwas sami’ul bashir”. Ada dua alat panca indera yang disebutkan yaitu kata “sami’u” yang berarti pendengaran dan kata “bashir” yang berarti penglihatan. Salah satu  ulama tafsir mengatakan bahwa penggunaan kata sami’u dan bashir pada ayat tersebut, memberikan sebuah pelajaran penting, bahwa ketika memberikan informasi kepada seseorang, maka dua alat panca indera ini yang paling sulit menerima pembenarannya jika tidak terlibat secara langsung. Makanya bukan sesuatu yang mengherankan jika masih banyak orang yang meragukan keautentikan peristiwa tersebut. Olehnya itu dibutuhkan kepercayaan (keimanan) sebagai faktor utama dalam menerima sebuah informasi termasuk peristiwa Isra’ dan Mi’raj.

Demikian beberapa ibrah dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj semoga kita dapat menjadi pribadi yang lebih bertakwa kepada Allah swt.

 

والله أعلم بالصواب

Ternate, 12 Maret 2021

asasas

 sasasasas