sasasasas
koleksi Irfan
Sabtu, 23 September 2023
Minggu, 02 Mei 2021
Jalan Untuk Menggapai Lailatul Qadar
Jalan Untuk Menggapai Lailatul Qadar
Oleh :
Muhammad Irfan Hasanuddin
Salah satu keistimewaan bulan suci Ramadhan yaitu adanya lailatul
Qadar. Malam tersebut diyakini sebagai malam yang sakral sebab berbagai
urusan akan ditetapkan, do’a-do’a akan diijabah dan bahkan ketika melakukan
ibadah maka akan dilipat gandakan pahalanya hingga seribu kali lipat. Sebagaimana
firman Allah dalam QS al-Qadar:
اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْر(1) وَمَآ اَدْرٰىكَ
مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِۗ(٢) لَيْلَةُ الْقَدْرِ ەۙ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍۗ (٣) تَنَزَّلُ
الْمَلٰۤىِٕكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِاِذْنِ رَبِّهِمْۚ مِنْ كُلِّ اَمْرٍ (٤) سَلٰمٌ ۛهِيَ
حَتّٰى مَطْلَعِ الْفَجْرِ ࣖ (٥)
Terjemah:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam
qadar. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam
kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada
malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk
mengatur semua urusan. Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar”.
Ayat di
atas yang mayoritas ulama menjadikannya sebagai dasar tentang adanya lailatul
Qadar, namun mengenai kapan dan malam keberapa turunnya masih menjadi sebuah
misteri. Ketika mencermati ayat di atas, maka kita akan mendapati term anzalnahu
yang dipahami sebagai sesuatu yang turun atau berpindah dari tempat yang tinggi
ke tempat yang rendah baik secara material maupun immaterial. Lebih jauh ulama
tafsir memberikan penjelasan bahwa pengunaan kata anzalnahu yang
terambil dari kata anzala sangat jauh berbeda dengan penggunaan kata nazzala
meskipun dari segi akar kata memiliki kemiripan.
Kata anzala
pada umumnya digunakan untuk menunjukkan turunnya sesuatu secara utuh atau
sekaligus, sedangkan kata nazzala digunakan untuk turunnya sesuatu sedikit
demi sedikit atau secara berangsur-angsur. Dari dasar kata inilah ulama tafsir memahami
turunnya al-Qur’an dengan dua proses, yaitu turun secara sekaligus kemudian
setelah itu turun lagi secara berangsur-angsur. Yang dimaksud dengan turun secara
sekaligus, yaitu dari lauhil mahfudz ke langit dunia, dan setelah itu
turun secara berangsur-angsur dari langit dunia sampai kepada Nabi Muhammad SAW
melalui malaikat jibril selama kurang lebih 23 tahun.
Kemudian
ayat di atas menerangkan tentang lailatul Qadar yang diyakini sebagai
malam kemuliaan. Mulia dikarenakan pada malam tersebut ditentukan berbagai
urusan makhluk sesuai dengan makna ayat min kulli amrin, dan akan terbebaskan
dari segala macam kekurangan baik secara lahiriah maupun batiniyah sehingga
seseorang yang hidup dalam salam akan terbebaskan dari penyakit,
kemiskinan, kebodohan, dan lain sebagainya.
Kemulian
lailatul Qadar yang diuraikan pada ayat di atas, hingga saat ini manusia
belum mampu mengetahui dan menjangkau secara keseluruhan betapa hebat dan
mulianya malam tersebut. Kata-kata yang digunakan oleh manusia sangat terbatas,
dan akhirnya sulit melukiskan, serta nalarnya sukar untuk menjangkaunya. Bahkan
hanya bisa menggambarkannnya dengan istilah malam itu lebih baik dari seribu
bulan. Meskipun demikian, beberapa hadis Nabi menunjukkan tanda-tanda
diturunkannya al-Qadar tersebut. Antara lain hadis yang diriwayatkan
oleh Ibnu Abbas ra, Nabi saw bersabda: “lailatul Qadar adalah malam tentram
dan tenang, tidak terlalu panas dan tidak pula terlalu dingin, dan keesokan
paginya sang surya terbit dengan sinar lemah berwarna merah.” Beberapa riwayat
yang lainnya juga mengungkapkan bahwa carilah Lailatul Qadar itu pada 10
akhir ramadhan utamanya pada malam-malam ganjil.
Ada hal
yang unik ketika beberapa riwayat menyebutkan untuk mencari lailatul qadar pada
malam-malam ganjil saja khususnya sepuluh akhir ramadhan. Yang perlu juga kita
yakini adalah turunnya malam kemuliaan tersebut akan terus ada hingga kiamat
tiba sesuai dengan penggunaan kata tanazzalul malaikatu (turunnya
malaikat), dimana kata tanazzalu adalah bentuk fi’il mudhari’ yang
digunakan untuk waktu sekarang, sementara berlangsung atau yang akan datang.
Jika melihat
kebiasaan masyarakat khususnya yang ada di Indonesia, pada sepuluh akhir
ramadhan masjid-masjid sudah mulai sepi dan sebaliknya tempat-tempat
perbelanjaan, mall dan sejenisnya mulai ramai bahkan lebih padat dibandingkan
pada awal ramadhan, inilah salah satu hikmah mengapa Nabi mengatakan “carilah lailatul
qadar pada sepuluh akhir ramadhan”. Olehnya itu dugaan sementara bagi penulis
bahwa dengan adanya hadis-hadis yang mengajurkan untuk mencari lailatul
qadar pada sepuluh akhir ramadhan, dapat memberikan sprit keagamaan yang
mulai kendor. ganjaran pahala yang berlipat gandapun menjadi balasan bagi
mereka yang istiqamah hingga akhir ramadhan.
Selama
pencaharian lailatul qadar, dianjurkan untuk memperbanyak ibadah baik itu yang
berkaitan dengan sholat sunnah, i’tiqaf di masjid, tadarusan, memperbanyak zikir,
hingga ibadah-ibadah lainnya. Pertanyaannya kemudian adalah apakah lailatul
qadar itu hanya milik orang yang beribadah mahdah saja?, tentu tidak demikian. Sebab
inti dari menggapai lailatul qadar adalah berbuat kebaikan baik itu
bentuknya dengan beribadah kepada Allah swt mapun membatu sesama. Misalnya saja
di masa pademi seperti saat sekarang ini, bisa jadi para tenaga kesehatan yang
menangani pasien covid-19 juga menginginkan beribadah tiap malamnya, namun apa
hendak dikata daya pun tak sampai dikarenakan harus merawat pasien yang
terjangkit virus.
Contoh seperti inilah yang menggambarkan bahwa menggapai lailatul
qadar itu bukan hanya terbatas dengan melakukan ibadah mahdah semata, namun
masih banyak kebaikan lainnya yang biasa kita lakukan termasuklah para tenaga
kesehatan yang berada pada garda terdepan untuk memberikan jaminan kesehatan kepada
para pasiennya.
Olehnya
itu, menggapai laitul qadar mestinya dicari lebih awal bukan hanya sekedar
memaksimalkan sepuluh akhir ramadhan saja dengan memaksimalkan segala ibadah
yang dilakukan. Dan yang terpenting lagi adalah mencari jalan kebaikan serta
tidak membatasinya hanya dengan ibadah mahdah semata, melainkan juga dapat mengerjakan
beberapa ibadah yang lain seperti merawat atau mengobati pasien covid-19,
menjaga kemanan negara, dan lain sebagainya. Kemudian yang perlu juga dipahami
serta diyakini bahwa malam kemuliaan itu akan terus ada sepanjang tahun hingga
kiamat tiba, maka dari itu persiapkan diri serta pantaskan diri untuk menggapai
malam yang lebih baik dari seribu bulan.
Wallahu ‘alam
bish Shawab
Ternate, 3
Mei 2021
Jumat, 30 April 2021
Tetesan Keringat Kaum Buruh
Tetesan Keringat
Kaum Buruh
Oleh:
Muhammad Irfan Hasanuddin
Ketika
membuka lembaran sejarah, maka kita akan mendapati bahwa cikal bakal lahirnya
peringatan hari buruh berdasarkan dari perayaan oleh orang-orang Yunani dan
Romawi kuno sebagai ritual praktik pertanian yang dimaksudkan untuk menyambut
pergantian musim. Seiring berjalannya waktu, kemudian hal tersebut dijadikan sebagai
dasar sebagai hari libur internasional untuk menghormati para pekerja serta
gerakan buruh yang tersebar di seluruh dunia. Bahkan pada abad ke-19 (masa
revolusi industri) para buruh mengadakan gerakan demonstrasi untuk memperoleh hak-haknya.
Sejak saat itu tanggal 1mei diperingati sebagai hari buruh sedunia.
Berbicara
persoalan Buruh, di dalam al-Qur’an tepatnya pada QS at-Thalaq: 6 Allah SWT
berfirman:
اَسْكِنُوْهُنَّ
مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِّنْ وُّجْدِكُمْ وَلَا تُضَاۤرُّوْهُنَّ لِتُضَيِّقُوْا
عَلَيْهِنَّۗ وَاِنْ كُنَّ اُولَاتِ حَمْلٍ فَاَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ حَتّٰى
يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّۚ فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۚ
وَأْتَمِرُوْا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوْفٍۚ وَاِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهٗٓ
اُخْرٰىۗ
Terjemah:
“Tempatkanlah mereka (para
istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu
menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka
(istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada
mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan, kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka; dan musyawarahkanlah di
antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka
perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”.
Berdasarkan ayat di atas, mayoritas ulama Tafsir
menjelaskan bahwa perjanjian perburuhan dengan menggunakan tenaga manusia untuk
melakukan suatu pekerjaan dibenarkan dalam Islam dengan kata lain, pelaksanaan
pemberian upah (upah kerja) yang merupakan ijarah dalam hukum Islam. Ayat
di atas juga dikuatkan lagi oleh sabda Nabi SAW:
أَعْطُوا
الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
Artinya:
“Berikan upah
pekerja sebelum kering keringatnya”
Bahkan hadis yang
lainnya menyebutkan bahwa ketika menahan upah seseorang, maka itu termasuk
perbuatan dosa, bahkan Allah pun akan memeranginya. Sebagaimana sabda Nabi saw:
حَدَّثَنَا
يُوسُفُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ سُلَيْمٍ عَنْ إِسْمَاعِيلَ
بْنِ أُمَيَّةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ
اللَّهُ تَعَالَى ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى
بِي ثُمَّ غَدَرَ وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ
أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ
Artinya :
“Telah menceritakan kepada saya Yusuf bin Muhammad berkata,
telah menceritakan kepada saya Yahya bin Sulaim dari Ismail bin Umayyah dari
Sa’id bin Abi Sa’id dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Allah Ta’ala berfirman : Ada tiga jenis orang yang
aku berperang melawan mereka pada hari kiamat, seseorang yang bersumpah atas
namaku lalu mengingkarinya, seseorang yang berjualan orang merdeka lalu memakan
(uang dari) harganya dan seseorang yang mempekerjakan pekerja kemudian pekerja
itu telah menyelesaikan pekerjaannya namun tidak dibayar upahnya”.
Meskipun tidak ada waktu yang mengatur
kapan dibayarkan upah bagi pekerja, akan tetapi untuk tata cara pembayaran upah
diatur berdasarkan hadis di atas, sehingga ada larangan untuk menangguhkan upah dari hasil pekerjaan.
Hal ini juga diperkuat oleh Pasal 1 ayat 30
UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan bahwa “Upah merupakan hak
pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan
dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan
dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan,
termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan
dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan” .Bahkan pada pasal 95 ayat(2)
UU No 13 Tahun 2003 dijelaskan bahwa “Pengusaha yang karena kesengajaan atau
kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda
sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh”
Oleh karena itu, jelaslah bahwa
diwajibkan kepada para pemberi kerja untuk segera memberikan upah pekerjaan setelah
pekerja tersebut telah menyelesaikan pekerjaannya. Bahkan Yusuf Qardhawi
mengtakan bahwa sesuangguhnya seorang pekerja hanya berhak atas upahnya jika ia
telah menunaikan pekerjaannya sebagaimana mestinya, dan sesuai dengan
kesepatakan atau perjanjian kerjanya. Demikian juga pada profesi yang lainnya
wajib untuk membayarkan upah ketika telah selesai dari pekerjaannya. Selamat hari
buruh, tetesan keringatmu akan menjadi penggugur dosa serta mengantarkan kepada
kemuliaan. Wallalu ‘alam bish shawab
Ternate 1 Mei 2021
Minggu, 25 April 2021
Syaitan Terbelenggu Tapi Peluang Maksiat Tetap Menggebu
Syaitan Terbelenggu
Tapi Peluang Maksiat Tetap Menggebu
.........إِذَا جَاءَ
رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ
وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ
Artinya:
“ketika masuk bulan ramadhan, maka pintu-pintu surga
dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan syaitan-syaitan telah dibelenggu” (HR
Bukhari no 1899 & Muslim no 1079).
Potongan hadis di atas tentu tidak asing lagi bagi kita,
hampir setiap datangnya bulan suci ramadhan, para Khatib/penceramah mengutip
hadis tersebut. Dan sebahagian masyarakatpun meyakini benar adanya bahwa pintu
surga dibuka dan pintu neraka ditutup serta syaitan-syaitan tidak diberi ruang
sedikitpun untuk melakukan aksi dikarenakan mereka telah terbelenggu.
Ada hal penting yang dapat kita garis bawahi, yaitu kalimat
“syaitan-syaitan telah dibelenggu”. Pertanyaan yang berkembang
berikutnya adalah, apakah memang benar syaitan itu terbelenggu ? sehingga
maksiatpun terminimalisirkan atau bahkan nyaris tak diberitakan karena tidak
adanya pelaku maksiat?. Ternyata hadis tersebut tidak bisa dipahami secara
tekstual, sebab faktanya dilapangan ternyata masih banyak pelaku kriminal yang
melakukan aksi. Contoh sederhana saja yang sering tejadi di masyarakat, kadang ada
yang kehilangan alas kaki ketika ikut berjamaah dimasjid. Padahal ini kan bulan
suci ko’ masih ada bisikan-bisikan syaitan yang telah mempengaruhi pelakunya
untuk melakukan aksi pencurian tersebut.
Sebahagian ulama sebenarnya telah memberikan klarifikasi
mengenai hal tersebut, bahwa hadis itu tidak bisa dipahami secara tekstual,
melainkan harus dipahami secara kontekstual. Pengertian “pintu” di sini
bukanlah seperti pintu yang kita lihat setiap hari, akan tetapi merupakan
bahasa majaz (kiasan) yang memiliki
makna dibukanya “kesempatan” atau “peluang” sesuai dengan penggunaan kata marhaban
ketika menyambut bulan suci ramadhan yang memiliki makna lapang atau
luas. Artinya kita diberikan kesempatan untuk memperbanyak amal ibadah selama
bulan ramadhan dan menjadikan setiap waktu luang menjadi peluang untuk lebih
mendekatkan diri kepada Allah swt.
Demikian halnya dengan makna terbelenggunya syaitan yang
dipahami sebagai makna kiasan yang menunjukkan keterbatasan akses untuk
melakukan perbuatan maksiat. Hal ini dikarenakan adanya proses pengendalian
hawa nafsu selama melakukan ibadah puasa, akan tetapi hal tersebut bukan sebuah
jaminan kepada seseorang untuk terhindar dari perbuatan maksiat. Bisa jadi ketika
Ia fokus melakukan ibadah, maka akan berdampak kepada perilaku kesehariannya.
Namun bisa jadi pula Ia mengabaikan ibadah selama bulan suci, dan tetap melakukan maksiat sebagaimana
bulan-bulan lainnya. Semuanya diserahkan kepada pribadi masing-masing apakah ia
mampu membelenggu syaitannya (hawa nafsunya) atau bisa jadi ia akan diperbudak
oleh syaitan (memperturutkan hawa nafsunya).
Meskipun bulan suci ramadhan dinilai sebagai ladang untuk
memperoleh peluang kebaikan, akan tetapi tidak sedikit juga yang menjadikannya
sebagai ladang uang. Ia hanya fokus mencari keuntungan dunia semata dan
menggadaikan keuntungan akhiratnya. Padahal bulan ramadhan memberi ruang untuk
menjadi seorang mujahid (pejuang). Tentu yang dimaksudkan adalah
berjuang untuk mengendalikan hawa nafsu ammarah/lawwamah (labil) untuk
mencapai derajat muthmainnah (stabil).
Dengan genjotan latihan yang dilakukan selama ramadhan,
akan menjadikan pribadi seseorang memiliki kestabilan watak yang menjadi salah
satu penentu kemenangan dalam sebuah perjuangan. Hal ini telah di sampaikan
oleh Rasulullah saw dalam sebuah sabdanya ketika selesai dari perang badar. Beliau
mengatakan bahwa “kita telah kembali dari jihad kecil menuju jihad yang
besar, sahabat bertanya ? apakah yang dimaksud dengan jihad akbar (besar) itu
?, Rasulullah saw menjawab: jihad akbar itu adalah jihad melawan hawa nafsu.
Olehnya itu dengan adanya bulan
suci ramadhan, kita diberikan peluang yang seluas-luasnya untuk menggarap
amalan ibadah sebagai bekal menuju akhirat, dan kesempatan untuk membelenggu
hawa nafsu semakin besar, sehingga pintu kemenanganpun dengan mudahnya akan
kita raih. Wallahu ‘alam bish shawab.
Ternate, 25 April 2021
Minggu, 18 April 2021
Ramadhan Sebagai Media Pendidikan Karakter
Ramadhan
Sebagai Media Pendidikan Karakter
Ramadhan
tiba, ramadhan tiba....... Marhaban ya Ramadhan Marhaban ya syahra Shiyam.
Demikian sepenggal lagu yang sangat populer ketika datangnya bulan suci
Ramadhan.
Dalam
kamus-kamus Arab, Kata Marhaban biasanya digunakan sebagai kata seru
untuk menyambut atau menghormati tamu, yang diungkapkan dengan istilah “selamat datang” dan memiliki kemiripan arti
dengan kata ahlan wa sahlan. Meskipun diklaim memiliki kemiripan makna,
akan tetapi berbeda dalam segi penggunaannya.
Pada
umumnya Ulama menggunakan kata Marhaban untuk menyambut bulan suci Ramadhan yang
mengandung makna bahwa kita menyambutnya dengan lapang dada, penuh kegembiraan tanpa
menggerutu atau membuat keruh suasana hati kita. Berbeda halnya jika yang
digunakan kata ahlan wa sahlan yang memiliki makna ungkapan selamat
datang yang menyiratkan kepada tamunya bahwa mereka adalah bagian dari keluarga
(tuan rumah) atau dengan kata lain anda berada di tengah keluarga sendiri dan
kemanapun melangkahkan kaki maka akan dimudahkan oleh tuan rumah. Olehnya itu
kata Marhaban ya Ramadhan kita ucapkan untuk menyambut bulan suci
Ramadhan karena ingin mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh guna
melanjutkan perjalanan menuju kepada Allah swt.
Ketika
menjalankan ibadah pada bulan suci Ramadhan, tentu masyarakat berbeda dalam
menyikapinya. Ada yang menganggapnya sebagai ladang pahala dan ada juga yang
hanya memikirkan keuntungan duniawi semata. Ibadah ramadhanpun hampir
terlewatkan seluruhnya dikarenakan hanya fokus untuk mengumpulkan harta.
Meskipun demikian, masih banyak juga yang masih fokus untuk memperbanyak amal
ibadah, mulai dari tadarusan, shalat sunnah tarawih hingga ibadah-ibadah
lainnya tidak terlewatkan sedikitpun.
Dalam
bulan suci Ramadhan pun kita dituntut untuk memperbaki diri serta meningkatkan
kualitas iman. itu sebabnya Ramadhan juga disebut dengan istilah bulan tarbiyah
atau bulan pendidikan. Selama ramadhan kita dituntut untuk menahan diri dari
segala yang membatalkan puasa, mulai dari hal-hal yang berhubungan dengan makan
dan minum, hingga hal-hal yang berhubungan dengan perkara-perkara yang dapat
merusak kualitas puasa, seperti berbohong, mengumpat, ghibah, dan lain
sebagainya. Sebagaimana yang disinggung oleh Nabi saw dalam sebuah hadisnya
bahwa “betapa banyak orang yang berpuasa hanya sekedar menahan lapar dan
dahaga” artinya ada yang berpuasa tapi tidak berkualitas dan bahkan nyaris
tidak mendapatkan pahala.
Di
samping itu, menjalankan ibadah puasa juga menjadi media dari proses
pengaplikasian nilai-nilai pendidikan dan kemanusiaan. Dalam berpuasa tentu membutuhkan
ketekunan hati ketika melakukannya. Dari ketekunan itulah akan melahirkan puasa
yang berkualitas serta kehidupan yang humanis.
Meningkatkan
kualitas hidup lewat puasa yang kita kerjakan, tentu tidak akan lahir dari
sekedar menahan lapar dan dahaga, akan tetapi ia lahir dari konsistensi anggota
tubuh untuk menghindari hal-hal yang dapat merugikan kita bahkan menjerumusukan
kedalam kehinaan. Lebih jauh lagi puasa mendidik kita untuk meningkatkan
kualitas hidup melalui tarbiyah atau
pendidikan, khususnya yang berhubungan dengan karakter dimana esensi pendidikan
karakter terletak pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behavior),
motivasi (motivation), dan keterampilan (skills).
Esensi
pendidikan karakter sebenarnya sudah ada dalam praktik berpuasa. Setidaknya ada
tiga nilai pokok. Pertama, adanya sikap kritis dan peduli terhadap
lingkungan sosial yang ada disekitar kita. Kedua, adanya pertautan atara
kesalehan individual dan kesalehan sosial. Ketiga, lahirnya jiwa
keagamaan yang inovatif, kreatif, dan efisien. Ketiga nilai tersebut, akan
menjadi pedoman dalam implementasi pendidikan karakter. Di samping itu,
puasa juga mengajarkan kepada kita untuk bersikap lebih peka terhadap
lingkungan sekitar agar melahirkan serta menumbuhkan sifat kepekaan sosial
terhadap sesama.
Olehnya
itu menjalani keseharian dalam bulan suci Ramadhan tentu bukan hanya sekedar
memikirkan apa yang dimakan pada waktu sahur maupun pada waktu berbuka puasa,
akan tetapi lebih fokus kepada hal-hal yang dapat menambah kualitas ibadah
puasa yang kita lakukan seperti memperbanyak baca Qur’an, bersedekah, khususnya
saling berbagi antar sesama agar pendidikan karakter yang dibangun akan lebih
terasa. Demikian halnya ketika melaksanakan shalat sunnah tarawih, bukan
sekedar mana yang terbanyak jumlahnya apakah 8 rakaat atau 20 rakaat dan mana
yang cepat atau lambat gerakannya, akan tetapi yang terpenting dari semua itu adalah
mana yang lebih khusyu’ agar mendapatkan predikat shalat yang berkualitas. Wallahu
‘alam bish shawab
Ternate, 18 April 2021
Kamis, 11 Maret 2021
Menggali Makna Tersirat Melalui Peristiwa Isra’ dan Mi’raj
Menggali
Makna Tersirat Melalui Peristiwa Isra’ dan Mi’raj
Oleh:
Muhammad Irfan Hasanuddin
Berbicara tentang peristiwa Isra’
maupun Mi’raj, maka kita akan tertuju pada QS al-Isra’:1 dan QS al-Najm: 13-18. Dan yang paling banyak
diperbincangkan atau didiskusikan, yaitu QS al-Isra’. Dimana pada surah
tersebut mengandung makna yang luar biasa.
namun pada tulisan ini, tidak akan diuraiakan secara ekplisit maupun
terinci mengenai peristiwa isra’ dan
mi’raj melainkan akan diuraikan beberapa ibrah (pelajaran) yang terkandung di dalam peristiwa tersebut.
Pertama. Peristiwa Isra’ & Mi’raj bukan hanya sebatas perjalanan spritual
semata yang secara khusus diberikan kepada Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi yang
lebih terpenting adalah cara Allah memberikan balasan kepada setiap hambanya
yang mampu menjalani dan melalui gelombang ujian kehidupan yang dihadapi.
Apa yang
dialami oleh Nabi hanyalah sebahagian kisah yang mewakili hamba-hamba yang
telah diberikan kemuliaan serta keistimewaan dari Allah SWT. Dimana pada saat itu, Nabi mengalami hal yang amat menyedihkan atau lebih dikenal dengan istilah ‘amul
huzni. Awal mulanya wafat Khadijah sang istri tercinta, kemudian menyusul wafatnya sang paman terkasih yaitu Abu Thalib. Olehnya itu Allah ingin menghibur Nabi dengan cara menguatkan hatinya dan memperlihatkan secara langsung kebesaran Allah SWT. Sehingga hati Nabi semakin mantap
dan teguh dalam menyebarkan Agama Allah SWT.
Hal ini memberikan pelajaran kepada kita, bahwa siapa pun yang
berjuang di jalan Allah, dan menegakkan agamanya, misalnya dengan memakmurkan masjid,
memakmurkan majlis ilmu, maupun dzikir, maka Allah akan memberikan kebahagiaan dan keistimewaan baginya. Kemudian yang perlu diyakini juga bahwa dibalik
kesulitan maupun kesusahan yang kita hadapi, maka Allah senantiasa memberikan
jalan kemudahan, sesuai dengan firman Allah QS al-Insyirah ayat 5-6.
Kedua. Adanya perintah kewajiban
menjalankan shalat lima waktu bagi setiap muslim. Jika Nabi melakukan Isra’ Mi’raj dengan ruh dan jasadnya, sebagaimana yang telah disebutkan Sayyid Ja'far Ibn
Husain Ibn Abdul Karim Ibn Muhammad Ibn Rasul dalam kitab Al-Barzanji,
maka sudah sepantasnya bagi setiap Muslim menghadap (mi’raj)
kepada Allah Swt lima kali dalam sehari yang
dibarengi dengan jiwa dan hati yang
khusyu’. Sesuai
dengan perintah Allah أقِيْمُوْاالصَّلاةَ yang
memiliki makna “mendirikan shalat” bukan إِفْعَلوْاالصَّلاةَ atau
“mengerjakan shalat”, sehingga hal itu tentu tidak memiliki nilai kekhusyuan
karena hanya sekedar untuk melaksanakan kewajiban semata.
Olehnya itu,
dengan melakukan shalat yang khusyu’, maka
diharapkan bagi setiap manusia akan merasa diawasi oleh Allah,
sehingga iapun malu untuk menuruti syahwat, hawa nafsu, berkata yang tidak sepantasnya, mencaci maki orang lain, dan berkata bohong. Dan yang
terpenting adalah dapat menjadikannya sebagai pribadi yang gemar dan mudah untuk melakukan banyak kebaikan. Tentunya hal tersebut bertujuan untuk mengagungkan keesaan dan kebesaran Allah, sehingga dapat menjadi
makhluk Allah yang terbaik di muka bumi ini.
Ketiga. Isra’ & Mi’raj adalah mukjizat Nabi Muhammad Saw, dengan perjalanan beliau
dari Masjidil Haram ke
Masjidil Aqsha, kemudian menuju Sidratul Muntaha. Sejarah tersebut
menjadi perjalanan pertama manusia di
dunia menuju luar angkasa, dan kembali menuju bumi dengan selamat. Jika hal ini telah terjadi di
zaman Nabi, 1400 tahun yang lalu, maka hal tersebut memberikan pelajaran bagi umat Islam agar hidup dengan mandiri, belajar, bangkit dan
meningkatkan kemampuan, tidak hanya dalam masalah agama, sosial, politik, dan
ekonomi, namun juga harus melek terhadap sains maupun teknologi. Sebab perjalanan menuju ke luar angkasa
adalah sains dan teknologi tingkat tinggi dimana dapat menjadi salah satu tolok
ukur kemajuan sebuah bangsa.
Keempat. Dalam perjalanan Isra’ & Mi’raj, terdapat penyebutan dua tempat ibadah, yaitu Masjid Haram dan Masjid Aqsha. Hal tersebut memberikan gambaran bagi kita bahwa di samping Masjid Haram, ada Masjid Aqsha sebagai bagian dari tempat suci umat Islam. Olehnya itu membela Masjidil Aqsha dan sekelilingnya sama saja dengan membela
agama Islam. Dan sudah menjadi sebuah kewajiban bagi setiap muslim (sesuai dengan kemampuan
masing-masing) agar berjuang dan berkorban untuk kemerdekaan dan keselamatan
Masjidil Aqsha di Palestina. Baik melalui diplomasi politik, bantuan sandang pangan, maupun dengan harta.
Kelima.
Pada akhir
ayat yang pertama QS al-Isra’ tersebut, ditutup dengan kalimat “innahu huwas
sami’ul bashir”. Ada dua alat panca indera yang disebutkan yaitu kata “sami’u”
yang berarti pendengaran dan kata “bashir” yang berarti penglihatan.
Salah satu ulama tafsir mengatakan bahwa
penggunaan kata sami’u dan bashir pada ayat tersebut, memberikan sebuah
pelajaran penting, bahwa ketika memberikan informasi kepada seseorang, maka dua
alat panca indera ini yang paling sulit menerima pembenarannya jika tidak
terlibat secara langsung. Makanya bukan sesuatu yang mengherankan jika masih
banyak orang yang meragukan keautentikan peristiwa tersebut. Olehnya itu
dibutuhkan kepercayaan (keimanan) sebagai faktor utama dalam menerima sebuah
informasi termasuk peristiwa Isra’ dan Mi’raj.
Demikian
beberapa ibrah dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj semoga kita dapat menjadi
pribadi yang lebih bertakwa kepada Allah swt.
والله أعلم بالصواب
Ternate, 12
Maret 2021
asasas
sasasasas
-
Tradisi Yang Terlupakan (Peca’ Sura’) Oleh : Muhammad Irfan Hasanuddin Hari Asyura’ adalah hari kesepuluh dalam bulan Muharram pad...
-
Keajaiban Sabar dan Shalat (3) (Kemudahan Menjemput Sang Pujaan Hati) Oleh: Muhammad Irfan Hasanuddin Masalah jodoh bukanlah tentang...
-
Menggugat Tradisi (Makna Filosofi Onde-Onde) Oleh: Muhammad Irfan Hasanuddin Akhir-akhir ini tersebar sebuah berita bahwa onde-onde ...