Senin, 16 November 2020

Hari Ayah Nasional (antara peringatan dan penghargaan)

 Hari Ayah Nasional (antara peringatan dan penghargaan)

Oleh: Muhammad Irfan Hasanuddin



Selamat hari Ayah, ........! statemen ini spontan viral di media sosial untuk memperingati hari Ayah nasional yang jatuh pada setiap tanggal 12 November. Entah dari mana awal mulanya, siapa yang memprakarsai, dan tujuannya apa hingga hari ini masih menimbulkan segudang pertanyaan.  Ada yang mengatakan bahwa peringatan hari Ayah nasional pertama kali di deklarasikan oleh anggota tim paguyuban satu hati, lintas agama dan budaya yang populer dengan nama PPIP (Perkumpulan Putra Ibu Pertiwi).

Pada peringatan hari Ibu di Solo, tepatnya tahun 2014, PPIP mengadakan sayembara yang diikuti oleh kalangan pelajar mulai dari tingkat SD, hingga tingkat Mahasiswa. Adapun  tema yang diangkat yaitu menulis surat untuk Ibu. Acaranya sangat meriah dan mendapatkan sambutan yang hangat dari para peserta yang hadir pada saat itu. Dari hasil sayembara tersebut, dipilih sekitar 70 surat yang terbaik kemudian dibukukan. Setelah kegiatan tersebut berakhir, panitia mendapatkan masukan dari beberapa peserta yang menanyakan kapan sayembara menulis surat untuk Ayah diadakan ?. anggota panitia pada saat itu belum bisa memberikan jawaban karena belum ada hari yang ditetapkan oleh pemerintah khususnya untuk memperingati hari Ayah. Namun setelah melalui kajian yang panjang, akhirnya mereka kembali mendeklarasikan hari Ayah nasional yang jatuh pada setiap tanggal 12 November.  

Dihari yang sama juga dilaksanakan deklarasi hari Ayah nasional di Maumere, Flores Nusa Tenggara Timur. Dan diluncurkan sebuah buku yang berjudul “Kenangan untuk Ayah”  berisikan 100 surat terbaik dari seluruh Indonesia, tentunya telah melalui seleksi yang ketat. Setelah deklarasi, mereka mengirimkan buku tersebut kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) serta keempat Bupati yaitu daerah sabang, merauke, sangir Talaud dan Pulau Rote. Kemudian selanjutnya setiap tahun diperingatilah hari Ayah nasional. Seperti halnya negara-negara lain yang telah lebih dulu memperingatinya. Bahkan tercatat lebih dari 75 negara yang telah memperingati father’s Day atau hari Ayah yang jatuh pada pekan ketiga di bulan juni atau tepatnya setiap tanggal 21 Juni.

Peran ayah dalam proses pengasuhan anak secara langsung memang hanya sekitar 27,9%, akan tetapi perannya cukup sentral dalam keluarga. Karena dia adalah ujung tombak keberlangsungan hidup keluarga. Dalam al-Qur’an sendiri perintah menghormati orangtua tidak pernah terpisahkan antara Ibu dan Ayah. Seperti Halnya yang tergambar dari penggunaan  kata الوالد ين  pada QS al-Isra’ ayat 23 :

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ ٱلْكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

Terjemah:

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.

 

Pada ayat di atas, berbuat baik kepada orangtua menggunakan huruf sambung Bi dan bukan huruf ila. Menurut pakar bahasa arab, kata sambung Bi pada ayat di atas, mengandung makna al-Ilsha>q ( الإلصاق ) yaitu sesuatu yang menunjukkan hubungan yang erat serta dekat antara dua hal atau lebih. Hal yang berbeda ketika digunakan huruf ila  yang mengandung makna jarak, misalnya kita menuju ke Amerika dari Indonesia. Dengan demikian, dari makna bahasa saja kita sudah mendapatkan pemahaman bahwa Allah tidak menghendaki adanya jarak meskipun sedikit. Utamanya hal-hal yang berkaitan dengan berbakti kepada kedua orangtua.

Antara anak dan orangtua harus memiliki hubungan yag erat, dekat, bahkan lekat baik dari segi fisik, emosional, maupun spiritual. Olehnya itu dengan adanya peringatan hari Ibu maupun hari Ayah nasional,  diharapkan bagi seorang anak dapat meningkatkan kesadaran diri untuk menghormati serta menghargai orangtuanya bukan hanya sekedar perayaan simbolis semata.

 

Wallahu ‘alam bish shawa>b

 

 

Ternate 17 November 2020

Senin, 02 November 2020

Menghadirkan Dzauq Dalam Setiap Aktivitas Literasi

 Menghadirkan Dzauq Dalam Setiap Aktivitas Literasi

Oleh : Muhammad Irfan Hasanuddin

 


Terinspirasi dari materi yang telah dibawakan oleh Dr Muhsin Kalida (Dosen UIN Sunan Kalijaga Jogyakarta) pada acara Jagongan Literasi Seri 2 yang kali ini mengangkat tema PSYCHOWRITING. Ada banyak hal yang beliau sampaikan dalam materinya tersebut, antara lain, tentang pentingnya menumbuhkan rasa ketika menulis. Tentu hal tersebut terbilang sulit. Olehnya itu dibutuhkan sebuah dorongan dari dalam diri untuk menumbuhkannya. Salah satu solusi yang beliau berikan adalah menjadikan kegiatan menulis sebagai kebutuhan. Ketika mampu memasukkan sugesti  kalimat tersebut dalam diri kita, maka dengan sendirinya akan memperoleh sebuah dorongan untuk memulai aktivitas menulis.

Menganggap kegiatan menulis sebagai kebutuhan sebenarnya merupakan tingkatan yang paling sulit bagi seorang pemula. Diibaratkan dengan shalat, maka kita akan mendapati tingkatan orang-orang yang melakukannya. Antara lain ada menganggap bahwa shalat itu adalah sebuah kewajiban, keterpaksaan maupun kebutuhan.

Jika mereka menganggap shalat itu  sebagai kewajiban, maka ketika melakukannya, mereka hanya punya motif  ingin sekedar terbebas dari siksa neraka sebab mereka memahami sesuai dengan teks atau dalil-dalil yang mengarah kepada ancaman terhadap orang-orang yang tidak mau melakukan sholat. Artinya merasa berdosa ketika tidak melaksanakannya.

Demikian halnya dengan orang yang menganggap bahwa shalat itu sebagai keterpaksaan. Bisa jadi ketika melakukannya, dia tidak akan konsisten bahkan tidak merasa berdosa ketika meninggalkan shalat. Sebab tipe orang seprti ini, hanya mau melakukannya ketika ada tekanan atau dalam suasana keterpaksaan, baik itu perintah orang tua, guru, dan yang lainnya.

Namun hal yang berbeda ditunjukkan oleh orang-orang yang menjadikan shalat sebagai kebutuhan. Dengan penuh kesadaran diri tanpa ada tekanan dan beban apapun, Ia akan melaksanakan shalat dengan penuh keikhlasan. Dan bahkan ketika tiba waktu shalat, maka secara otomatis hatinya akan tergerak untuk segera melaksanakannya.

Muhsin Kalida menambahkan bahwa Imam al-Ghazali beserta karya monumentalnya Ihya ‘Ulm al-Din telah banyak memberikan inspirasi tentang arti pentingnya sebuah karya literasi. Namun lagi-lagi menumbuhkan mood untuk menulis tidak semudah yang dibayangkan. Jika dalam dunia tasawwuf terdapat pembahasan tentang dzauq (rasa), demikian pula dalam persoalan literasi baik itu kegiatan membaca maupun menulis.

Menurut al-Ghazali, istilah dzauq merupakan sebuah kegiatan untuk menghadirkan hati (hudhur al-Qalb) ketika berzikir kepada Allah secara kontinyu (istiqamah). Dzauq yang dirasakan oleh seorang salik (orang yang menjalani disiplin spritual dalam menempuh jalan sufisme Islam), adalah bahagian awal dari kondisi spritual pada proses pengungkapan diri kepada Allah (tajalli).

Kondisi spritual seperti ini sangat mirip dengan kondisi yang dirasakan oleh seorang penulis ketika ingin memulai karya tulisnya. Dalam memulai aktivitas menulis hal pertama yang perlu menjadi perhatian adalah bagimana kita bisa menghadirkan rasa butuh terhadap kegiatan menulis layaknya sebuah perjalanan spiritual tentu butuh pembiasaan hingga keistiqamahan dalam mengubah sebuah kebiasaan atau melawan rasa malas. Setelah berhasil menghadirkan ruang (rasa butuh) untuk menulis, maka secara otomatis akan membuka peluang atau kesempatan dalam merangkai kata demi kata hingga menjadi sebuah kalimat.

Dr Ngainun Naim (ketua  LP2M  IAIN tulungagung) yang bertindak sebagai pendamping narasumber, ikut memberikan nasehat bahwa ketika ingin menjadi seorang penulis, maka jangan tunggu mood baru mau menulis, akan tetapi mood itu seharusnya diciptakan sendiri. Merangkai kalimat sebanyak 5 paragraf setiap hari juga termasuk sarana untuk melatih suasana hati dalam proses menulis. Dan bahkan merasa berdosa ketika tidak menulis bisa dijadikan sebagai sugesti untuk menambah semangat dalam berliterasi. Disamping itu, membangun relasi kepada orang-orang yang kita yakini mampu memberikan dampak positif untuk membangun budaya literasi, juga menjadi salah satu jalan untuk menumbuhkan dzauq literasi.

Olehnya itu, dzauq bukan hanya dirasakan oleh para salik yang menempuh jalan spritual saja, akan tetapi  orang-orang yang bergelut di dunia literasipun dapat merasakan hal yang sama ketika menjalani aktivitasnya.

 

Wallahu ‘alam bis shawab

Ternate 3 November 2020

asasas

 sasasasas