Menggali
Makna Tersirat Melalui Peristiwa Isra’ dan Mi’raj
Oleh:
Muhammad Irfan Hasanuddin
Berbicara tentang peristiwa Isra’
maupun Mi’raj, maka kita akan tertuju pada QS al-Isra’:1 dan QS al-Najm: 13-18. Dan yang paling banyak
diperbincangkan atau didiskusikan, yaitu QS al-Isra’. Dimana pada surah
tersebut mengandung makna yang luar biasa.
namun pada tulisan ini, tidak akan diuraiakan secara ekplisit maupun
terinci mengenai peristiwa isra’ dan
mi’raj melainkan akan diuraikan beberapa ibrah (pelajaran) yang terkandung di dalam peristiwa tersebut.
Pertama. Peristiwa Isra’ & Mi’raj bukan hanya sebatas perjalanan spritual
semata yang secara khusus diberikan kepada Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi yang
lebih terpenting adalah cara Allah memberikan balasan kepada setiap hambanya
yang mampu menjalani dan melalui gelombang ujian kehidupan yang dihadapi.
Apa yang
dialami oleh Nabi hanyalah sebahagian kisah yang mewakili hamba-hamba yang
telah diberikan kemuliaan serta keistimewaan dari Allah SWT. Dimana pada saat itu, Nabi mengalami hal yang amat menyedihkan atau lebih dikenal dengan istilah ‘amul
huzni. Awal mulanya wafat Khadijah sang istri tercinta, kemudian menyusul wafatnya sang paman terkasih yaitu Abu Thalib. Olehnya itu Allah ingin menghibur Nabi dengan cara menguatkan hatinya dan memperlihatkan secara langsung kebesaran Allah SWT. Sehingga hati Nabi semakin mantap
dan teguh dalam menyebarkan Agama Allah SWT.
Hal ini memberikan pelajaran kepada kita, bahwa siapa pun yang
berjuang di jalan Allah, dan menegakkan agamanya, misalnya dengan memakmurkan masjid,
memakmurkan majlis ilmu, maupun dzikir, maka Allah akan memberikan kebahagiaan dan keistimewaan baginya. Kemudian yang perlu diyakini juga bahwa dibalik
kesulitan maupun kesusahan yang kita hadapi, maka Allah senantiasa memberikan
jalan kemudahan, sesuai dengan firman Allah QS al-Insyirah ayat 5-6.
Kedua. Adanya perintah kewajiban
menjalankan shalat lima waktu bagi setiap muslim. Jika Nabi melakukan Isra’ Mi’raj dengan ruh dan jasadnya, sebagaimana yang telah disebutkan Sayyid Ja'far Ibn
Husain Ibn Abdul Karim Ibn Muhammad Ibn Rasul dalam kitab Al-Barzanji,
maka sudah sepantasnya bagi setiap Muslim menghadap (mi’raj)
kepada Allah Swt lima kali dalam sehari yang
dibarengi dengan jiwa dan hati yang
khusyu’. Sesuai
dengan perintah Allah أقِيْمُوْاالصَّلاةَ yang
memiliki makna “mendirikan shalat” bukan إِفْعَلوْاالصَّلاةَ atau
“mengerjakan shalat”, sehingga hal itu tentu tidak memiliki nilai kekhusyuan
karena hanya sekedar untuk melaksanakan kewajiban semata.
Olehnya itu,
dengan melakukan shalat yang khusyu’, maka
diharapkan bagi setiap manusia akan merasa diawasi oleh Allah,
sehingga iapun malu untuk menuruti syahwat, hawa nafsu, berkata yang tidak sepantasnya, mencaci maki orang lain, dan berkata bohong. Dan yang
terpenting adalah dapat menjadikannya sebagai pribadi yang gemar dan mudah untuk melakukan banyak kebaikan. Tentunya hal tersebut bertujuan untuk mengagungkan keesaan dan kebesaran Allah, sehingga dapat menjadi
makhluk Allah yang terbaik di muka bumi ini.
Ketiga. Isra’ & Mi’raj adalah mukjizat Nabi Muhammad Saw, dengan perjalanan beliau
dari Masjidil Haram ke
Masjidil Aqsha, kemudian menuju Sidratul Muntaha. Sejarah tersebut
menjadi perjalanan pertama manusia di
dunia menuju luar angkasa, dan kembali menuju bumi dengan selamat. Jika hal ini telah terjadi di
zaman Nabi, 1400 tahun yang lalu, maka hal tersebut memberikan pelajaran bagi umat Islam agar hidup dengan mandiri, belajar, bangkit dan
meningkatkan kemampuan, tidak hanya dalam masalah agama, sosial, politik, dan
ekonomi, namun juga harus melek terhadap sains maupun teknologi. Sebab perjalanan menuju ke luar angkasa
adalah sains dan teknologi tingkat tinggi dimana dapat menjadi salah satu tolok
ukur kemajuan sebuah bangsa.
Keempat. Dalam perjalanan Isra’ & Mi’raj, terdapat penyebutan dua tempat ibadah, yaitu Masjid Haram dan Masjid Aqsha. Hal tersebut memberikan gambaran bagi kita bahwa di samping Masjid Haram, ada Masjid Aqsha sebagai bagian dari tempat suci umat Islam. Olehnya itu membela Masjidil Aqsha dan sekelilingnya sama saja dengan membela
agama Islam. Dan sudah menjadi sebuah kewajiban bagi setiap muslim (sesuai dengan kemampuan
masing-masing) agar berjuang dan berkorban untuk kemerdekaan dan keselamatan
Masjidil Aqsha di Palestina. Baik melalui diplomasi politik, bantuan sandang pangan, maupun dengan harta.
Kelima.
Pada akhir
ayat yang pertama QS al-Isra’ tersebut, ditutup dengan kalimat “innahu huwas
sami’ul bashir”. Ada dua alat panca indera yang disebutkan yaitu kata “sami’u”
yang berarti pendengaran dan kata “bashir” yang berarti penglihatan.
Salah satu ulama tafsir mengatakan bahwa
penggunaan kata sami’u dan bashir pada ayat tersebut, memberikan sebuah
pelajaran penting, bahwa ketika memberikan informasi kepada seseorang, maka dua
alat panca indera ini yang paling sulit menerima pembenarannya jika tidak
terlibat secara langsung. Makanya bukan sesuatu yang mengherankan jika masih
banyak orang yang meragukan keautentikan peristiwa tersebut. Olehnya itu
dibutuhkan kepercayaan (keimanan) sebagai faktor utama dalam menerima sebuah
informasi termasuk peristiwa Isra’ dan Mi’raj.
Demikian
beberapa ibrah dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj semoga kita dapat menjadi
pribadi yang lebih bertakwa kepada Allah swt.
والله أعلم بالصواب
Ternate, 12
Maret 2021