Yang Hilang Dari Kita (4) Memudarnya sikap al-Hilm
اللهم أغنني بالعلم وزيني بالحلم وأكرمني بالتقوى وجملني بالعافية
“allahumma agnini bil ‘ilmi wazayyini
bil hilmi wa akrimni bit taqwa wajammilni bil ‘afiyah”
Artinya:
“Ya
Allah anugerahilah aku dengan ilmu, dan hiasilah aku dengan sifat al-hilm, dan
muliakanlah aku dengan ketaqwaan, serta percantiklah diriku dengan kesehatan”
Do’a
ini sangat populer dikalangan pesantren. Meskipun beberapa ulama menganggap
do’a ini bersumber dari hadis dha’if, namun ada point tersendiri dari do’a
tersebut yaitu sebuah permohonan agar dianugerahi sifat “al-Hilm”.
Term
al-Hilm terkadang diartikan sebagai sifat yang lemah lembut, namun ahli
bahasa mengemukakan makna lain yang dianggap lebih tepat yaitu kebijaksanaan.
Dengan kata lain al-hilm adalah sikap tenang, tidak tergesa-gesa, dapat
mengendalikan, serta penuh pertimbangan dalam memutuskan sebuah perkara.
Al-Hilm
atau response ability inilah
yang membedakan orang dewasa dengan anak-anak. Misalnya ketika seorang anak
lapar atau sakit, maka sang anak akan langsung menangis tanpa banyak berfikir,
berbeda halnya dengan orang dewasa yang terlebih dahulu merespon setiap situasi
yang ia rasakan. Jika al-‘ilm (ilmu) dapat diperoleh dengan belajar atau
menempuh pendidikan, maka al-hilm dapat diraih melalui proses latihan
yang sungguh-sungguh melalui pengalaman hidup, serta mampu mengambil hikmah
dari setiap problematika kehidupan yang dihadapinya.
Term
al-hilm juga memiliki kesamaan makna dari term al-anah (
الأناة ), dan al-rifq (الرفق ). Al-hilm
menuntun kepada pemiliknya untuk
memiliki penguasaan diri ketika dalam keadaan marah atau tidak terburu-buru
merespon dalam memberikan balasan. Adapun al-anah, memiliki makna
berhati-hati dalam menghadapi permasalahan serta tidak tergesa-gesa dalam
artian seseorang tidak melihat sebuah permasalahan dari segi lahiriahnya saja,
melainkan menelitinya terlebih dahulu yang dalam bahasa agama disebut dengan
istilah bertabayyun.
Sedangkan
al-Rifq memiliki makna lemah lembut, dimana ketika berinteraksi kepada
sesama manusia, ia memperlakukannya dengan penuh kelembutan, bahkan ketika
orang tersebut memiliki hak untuk mengeksekusi seseorang atau memberikan
hukuman, ia melakukannya dengan lemah lembut.
Mengenai
sifat al-hilm, Rasulullah saw pernah memberikan contoh ketika seorang
yahudi mendatanginya untuk menagih utang. Sikapnya yang kasar diiringi dengan
kata-kata yang menyakitkan pun terlontar dari mulut sang yahudi. Hal tersebut
membuat Umar yang ketika itu berada disamping Rasulullah menjadi geram dan naik
pitam hingga ia pun menarik kerah bajunya.
Melihat
reaksi Umar tersebut, Rasulullah berusaha menenangkannya serta menasehati agar
tetap bersikap lemah lembut kepada sang Yahudi tersebut. Pada riwayat yang lain
diterangkan bahwa konon si Yahudi tersebut duduk berjam-jam menunggu sambil
mengintimidasi, namun reaksi Rasulullah tetap berlemah lembut kepadanya.
Dengan
sikap yang ditunjukkan oleh Rasulullah tersebut, akhirnya sang Yahudi merasa tersentuh
hatinya dan menyatakan diri masuk ke dalam agama Islam. Sang Yahudi pun mengaku
bahwa maksud kedatangannya tersebut bukan sekedar menagih utang, melainkan
ingin menguji kenabian Muhammad. Sebab ia mendapatkan keterangan di dalam kitab
sucinya bahwa Muhammad punya tanda-tanda kenabian, dan ia telah melihat
keseluruhannya kecuali satu yaitu al-hilm.
Kisah
di atas adalah salah satu teladan yang diajarkan oleh nabi untuk merespon
setiap persoalan. Dengan sikap al-hilm tersebut, Rasulullah saw
berhasil mengubah tabiat orang Quraisy dari tradisi padang pasir yang terkenal
dengan sifat kerasnya menjadi penuh kasih sayang, dari sikap reaktif serta suka
perang menjadi lebih bijak dan mengedepankan musyawarah.
Namun
umat Islam di Indonesia yang secara budaya telah dikenal dengan keramahannya,
kelihatannya sudah mulai kehilangan ruh al-hilmnya. Hal ini bisa kita
saksikan statement maupun status diberbagai media sosial seperti di facebook,
twitter, instagram, hingga whatsapp yang cenderung mengarah kepada ujaran
kebencian. Bukan hanya itu, berita penuh dengan fitnah bertebaran dimana-mana, serta
menshare informasi dari sumber yang tidak jelas. Dan celakanya lagi, kadang dijadikan
sebagai bahan referensi dalam memutuskan sebuah perkara, tanpa memikirkan
dampaknya.
Olehnya
itu Rasulullah mengajarkan do’a kepada kita agar senantiasa dianugerahi dengan
ilmu, dihiasi dengan sifat al-hilm, dimuliakan dengan ketaqwaan, serta
dipercantik/diperindah dengan kesehatan.
Wallahu ‘Alam Bish Shawab.
Ternate 29 Desember 2020